“Saya kena covid, itu sakit sekali. Maka satu-satunya yang kita punya adalah harapan” ujar Latief Siregar, jurnalis senior yang juga penyintas Covid-19. Berikut cerita yang dibagi dan diharapkan membuat semua pihak disiplin protokol kesehatan.
Oleh: P.Juliatmoko-Jurnalis LenteraToday Jember
Latief Siregar sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto pada 25 Agustus 2020 hingga diizinkan pulang pada 2 September 2020 setelah dua kali tes swab mengonfirmasi negatif Covid-19. Latief menceritakan pengalamannya saat terpapar virus covid19 pada dalam Sosialisasi Media via zoom dengan peserta Fellowship Jurnalis Perubahan Perilaku (FJPP) bertajuk Vaksinasi Untuk Negeri kerjasama Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) dan Kominfo.
“Saya kena covid, itu sakit sekali. Maka satu-satunya yang kita punya adalah harapan. Kita sandarkan harapan ini pada segera adanya vaksin covid. Ketika sakit, saya sudah coba semua obat, ada herbal ada obat lainnya juga. Jadi saya sarakan kalau kena covid, ya pergi ke dokter agar lekas sembuh,” ujar Latief Siregar, Sabtu (31/10/2020).
Dia juga menceritakan, banyak orang yang menyampaikan kalau dirinya terpapar covid setelah singgal di Kantor Kominfo di Jakarta. “Tapi saya merasa, saya tidak bisa menjawab saya kena dimana. Beberapa hari kemudian, teman saya usai rapat di kominfo kabarnya juga positif covid, tapi kenanya saya juga tidak tahu. Yang jelas tidak perlu kenanya covid dimana, karena ternyata yang jelas kita bisa kena covid dimana saja,” ujarnya.
Padahal selama belum ada apandemi covid19, Latief termasuk seseorang yang sangat menjalankan hidup sehat dan patuh disiplin protokol kesehatan. “Bisa dibayangkan, patuh protokol kesehatan saja bisa kena, apalagi yang tidak mau menjalankan protokol kesehatan. Bagaimanapun, kami tetap saja jalankan protkes dan sambil menunggu vaksin,” tuturnya. Latief yang merupakan mantan jurnalis televisi ini menambahkan, dia terpapar positif covid sekitar bulan Agustus dan menjalani isolasi di rumah. “Kemudian saya sakit parah dan masuk rumah sakit awal sekitar 2 minggu. Test dua kali, praktis saya butuh 2 bulan setengah pasca kena covid. Perasaan terpenjara dan takut menulari orang lain, itu benar-benar mengganggu saya,” ujarnya.
Kemudian, setelah dia sembuh juga masih merasa ada sisa penyakit covid dalam dirinya. “Padahal saya ini sehat, biasanya lari dan joging. Jadi, saat kena covid, saya jalan saja 8 meter ke kamar mandi rasanya sakit sekali. Saya imbau kawan jurnalis, berIkan contoh pada pulik, siapapun bisa kena covid. Ada candaan dokter saya saat di rumah sakit, bapak Latief kawal saturasi oksigen, kalau saturasi turun bisa anda turun juga ke lantai 3, kalau turun lagi bisa ke lantai 2. Di lantai situ ada apa saja, disana pakai ICU, kalau turun lagi bisa ke kamar jenazah. Jadi, ngeri sekali, kena covid itu seperti antara hidup dan mati,” tuturnya.
Latief juga melihat sampai saat ini masih melihat ada kelonggaran di masyarakat, bahwa ternyata akan ada vaksin yang bisa menyembuhkan covid. “Tapi jangan sampai justru akan ada vaksin, maka kita melonggarkan pada kedispiinan protokol kesehatan. Yang jelas, kena covid, kita sangat kesakitan, kena ketakutan dan hilang produktifikas. Vaksin akan menjadi penangkal dan berkativitas seperti biasa. Jadi, kedepan harus optimis vaksin jadi penangkal,” ujarnya.
Dia juga berpesan para kawan jurnalis kedepan harus bisa menjadi media komunikasi yang baik. “Beritakan hal yang positif bahwa vaksin ini bisa menjadi jalan penyembuh atas wabah covid. Pihak pemerintah dan medua harus konstruktif, media harus bagus dalam hal ini sebagai upaya bisa mencegah covid. Mari para ahli memberikan informasi yang baik lewat konstruksi pemberitaan yang positif dalam upaya pencegahan dan penyembhan dari wabah covid,” ujarnya. Soal vaksin, dia berharap semua warga bisa mendapatkan vaksin karena ini jalan untuk menangkal covid.
“Kalaupun diluar ada pernak-pernik, maka langkah pemerintah harus memastikan bahwa vaksin ini bisa menyehatkan dan tidak justru menjadi masalah dan sakit. Ingat sistem pentahelix, semua pihak harus ikut kegunaan dan manfaat dari vaksin, pemerintah, media, tokoh agama dan medis juga harus berperan secara kebersamaan mendukung program ini, bahwa vaksin penangkal covid ini sangat penting,” katanya.
Dalam diskusi via zoom juga menghadirkan Prof Dr Sri Rezeki S Hadinegoro yang juga Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Niken Wdiastuti etua Komunikasi Publik KPCPEN dan dipandu oleh Rizky Ika Syafitri Specialis Komunikasi Perubahan Perilaku dari Unicef. “Menurut kami, kuncinya tetap yakni 3M, mencuci tangan, memakai masker dan mencuci tangan. Karena penularan bisa lewat mana saja, bisa lewat udara maupun handel pintu maupun lift, mari bersama-sama dalam mengatasi pandemi ini, dimulai dari rumah dan teman sekantor, berikan informasi bagi jurnalis yang benar-benar resmi dan valid,” kata
Prof Dr Sri Rezeki. Selain itu, konfirmasi atau edukasi kepada masyarakat, bahwa alatnya itu mungkin hanya media, karena kata dia hanya media massa bisa 24 jam yang mampu mengedukasi masyarakat secara luas tentang pencegahan covid-19. (*)