MALANG (Lenteratoday) – Pengadilan Agama (PA) kota Malang memberikan dispensasi nikah dini usia atau di bawah 19 tahun kepada 112 pasangan per Agustus 2022. Dispensasi pernikahan diberikan sebagai payung untuk melindungi anak-anak terlebih perempuan yang terpaksa harus menikah dikarenakan hal yang tidak diinginkan atau sangat mendesak seperti hamil di luar nikah.
Panitera Pengadilan Agama (PA) kota Malang, Chafidz Syafiuddin, mengatakan dengan adanya 112 perkara dispensasi nikah usia kurang dari 19 tahun tahu pernikahan dini usia ini masih banyak terjadi di kota Malang.
“Terkait dengan Undang Undang (UU) Dispensasi Kawin bukan dijadikan untuk melegalkan perkawinan dini, namun menjadi emergency exit ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Negara hadir untuk melindungi mereka yang sudah terlanjur hamil dan lain sebagainya. Ini diperbolehkan menikah dengan syarat mengajukan permohonan dispensasi,” ujar Dr. Erfaniah Zuhriah, S.Ag, M.H., dosen Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang sekaligus ahli di bidang psikologi anak korban pernikahan dini saat ditemui di ruangannya, ruang Wakil Dekan II, Fak. Syariah, Rabu (28/9/2022).
Erfa selanjutnya mengatakan apabila negara tidak hadir dalam memberikan perlindungan seperti yang tertulis pada Pasal 7 ayat 2 UU No. 16 Tahun 2019 tentang pemberian dispensasi kawin maka akan sulit bagi seorang yang mengalami MBA (Married By Accident).
“Jika tidak ada perlindungan negara, bagaimana nasib janin yang dikandung dan tanpa dosa tersebut. Oleh karena itulah, menurut UU diperbolehkan dengan alasan yang sangat mendesak dan bukti-bukti yang cukup,” cetusnya.
Kembali menelik adanya UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan, dimana menyatakan usia minimal seseorang untuk bisa menikah yakni 19 tahun. Dispensasi kawin, dikatakan oleh Erfa seolah menjadikan hakim PA sebagai orang yang paling disalahkan sebab mengabulkan terjadinya pernikahan dini.
“Selama ini hakim yang memimpin sidang dispensasi kawin sering disalahkan terkait pernikahan dini. Dinilainya hakim ini seolah menyetujui adanya pernikahan dini. Padahal sebetulnya tidak, sebab orang yang mengajukan dispensasi itu banyak faktornya dan yang paling sering adalah karena MBA atau hamil di luar nikah,” paparnya.
Pada kenyataannya, dilanjutkan Erfa bahwa hakim juga sering tidak mengabulkan permohonan dispensasi kawin apabila dalam proses peradilan ditemui alasan yang tidak signifikan. Dalam artian alasan atau bukti permohonan masih bisa ditolerir dan ditunda untuk tidak menikah dalam usia dini.
“Dalam persidangan dispensasi kawin harus disertai alat bukti, orang tua wali pasangan harus hadir, serta kesiapan anak yang ingin menikah juga akan betul-betul ditanyakan oleh hakim terlebih dahulu,”
Lebih mirisnya, disampaikan oleh dosen yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Studi Gender pada tahun 2017 tersebut bahwa dari pernikahan dini akan berdampak kepada perceraian meskipun persentasenya dikatakan tidak signifikan.
“Tentunya berdampak tidak baik ke mental, walaupun tidak bisa menggenalisir bahwa yang melakukan perkawinan di usia muda selalu tidak harmonis. Tapi karena kelabilan jiwa yang dimiliki oleh pasangan yang masih anak-anak, tidak menutup kemungkinan akan adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangganya. Yang nanti ujung permasalahan akan berlari ke perceraian,” tuturnya.
Wakil Dekan bidang administrasi dan keuangan Fakultas Syariah tersebut kemudian mengungkap adanya tren bulan. Dalam tren bulan tersebut pasangan anak-anak banyak mengajukan dispensasi kawin yakni sekitar Februari hingga Maret atau setelah tahun baru dan perayaan valentine. Hampir 70% data menunjukkan pasangan yang mengajukan dispensasi dikarenakan MBA. Hal tersebut didapatkannya ketika melakukan penelitian di tahun 2014 silam pada salah satu kecamatan di perbatasan kota dan kabupaten Malang.
Lebih lanjut, ketika disinggung apakah ada cara untuk meminimalisir terjadinya perkawinan dini sehingga peraturan dispensasi kawin tidak disalahgunakan. Erfa menyebutkan peran orangtua kepada anak serta pemberian pendidikan agama yang kuat adalah menjadi benteng di lingkungan keluarga.
“Kalau anak diberi kepercayaan dan pendidikan agamanya dikuatkan, saya kira tidak akan terjadi pergaulan bebas hingga mengakibatkan MBA atau hamil diluar nikah,”
Selain dari keluarga, menurutnya banyak sekali langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan perguruan tinggi. Yang pertama yakni sosialisasi tentang usia minimal untuk bisa mendaftarkan perkawinan sebab menurutnya belum semua masyarakat mengetahui hal tersebut.
“Kedua yakni sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi yang harus diberikan pada anak anak. Jadi, mereka paham ketika menyalahi maka akan berdampak pada apa, harus terus secara masif dilakukan,” kata Erfa.
Terakhir, ditegaskannya bahwa memang harus ada kerjasama lintas sektor, mulai dari Pemerintah, NGO (Non Governmental Organization), perguruan tinggi, dan tokoh masyarakat yang perlu ditingkatkan untuk mensosialisasikan terkait pendewasaan usia nikah, Bimbingan Perkawinan (Bimwin) pra nikah, dan kesehatan sistem reproduksi.
“Sosialisasi bisa dari dinas pemberdayaan perempuan, dispendukcapil, dinas kesehatan, BKKBN, dan dari perguruan tinggi. Kita harus secara luas menyebarkan hal-hal tersebut agar nantinya dapat mengurangi atau memberhentikan terjadinya pernikahan dini karena MBA,” pungkasnya. (*)
Reporter: Santi Wahyu | Editor : Lutfiyu Handi