JAKARTA (Lenteratoday)-Salah satu yang dibahas saat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 WTO di Abu Dhabi adalah tentang subsidi perikanan bagi nelayan kecil dan tradisional. Salah satu ancaman dari hasil pertemuan itu adalah pemerintah tidak boleh cawe-cawe lagi soal bahan bakar minyak (BBM).
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik, menjelaskan dalam isu subsidi perikanan yang dibahas di KTM WTO tersebut, terdapat tiga pilar yang menjadi sentral pembahasan. Pilar pertama adalah tentang IUU Fishing (Illegal Unreported Unregulated Fishing). Pilar kedua tentang Overfishstock, dan pilar ketiga tentang Over Capacity dan Over Fishing (OCOF).
Untuk pilar pertama dan kedua tersebut sudah disepakati pada Konferensi Tingkat Menteri ke-12 WTO di Jenewa, Swiss 2022 lalu. Sedangkan yang dibahas di KTM ke-13 di Abu Dhabi adalah pilar ketiga tentang OCOF.
“Hari ini tanggal 2 Maret pukul 12 waktu Abu Dhabi telah ada konfirmasi, kabar, bahwa perundingan pembahasan soal isu subsidi perikanan tidak menghasilkan kesimpulan apa pun,” kata Rahmat, Sabtu (2/3/2024). Diketahui, Konferensi tersebut digelar pada 26 sampai 29 Februari 2024.
Bila tidak ada kejelasan, Rahmat khawatir terdapat 8 jenis subsidi perikanan bagi nelayan kecil dan tradisional yang akan dilarang bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Salah satunya subsidi BBM, asuransi nelayan, dan biaya pegawai, dan termasuk subsidi peningkatan kapasitas kapal bagi nelayan kecil dan tradisional,” ujar Rahmat.
Padahal, aturan subsidi nelayan di Indonesia sudah diatur di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam.
“Kalau ini dihapus maka pemerintah tidak punya hak lagi memberikan subsidi kepada nelayan-nelayan kecil. Ini sangat berbahaya,” tegas Rahmat.
Untuk itu, Rahmat menegaskan proses perundingan subsidi nelayan di WTO ini perlu dikawal dan diadvokasi bersama agar hak nelayan tradisional dan kecil di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia tetap bisa diberikan dan dipertahankan subsidinya.
Salah satu subsidi nelayan yang berpotensi dilarang adalah subsidi bahan bakar dan asuransi. Kata Rahmat, kalau jenis subsidi ini dilarang oleh WTO tanpa adanya pengecualian yang jelas bagi nelayan kecil, maka otomatis nelayan kecil di negara berkembang dilarang mendapatkan subsidi lagi.
Kemudian, WTO juga melarang subsidi yang secara spesifik diberikan pada nelayan kecil. Rahmat menyebut WTO beralasan karena subsidi itu mendistorsi perdagangan. Sehingga WTO ingin subsidi diberikan secara umum, seperti misalnya subsidi untuk asuransi, tanpa harus menyebut untuk nelayan.
“Kalau demikian, jika perjanjian WTO disahkan dan Indonesia ikut ratifikasi, maka berpotensi mengubah UU Indonesia khususnya UU Nomor 7 tahun 2016 karena di dalamnya menyebut pemberian subsidi langsung bagi nelayan. Otomatis WTO melakukan intervensi kebijakan pada hukum nasional kita,” kata Rahmat.
Untuk itu, lanjutnya, IGJ menentang hal yang demikian dan disuarakan saat pertemuan dengan Delegasi Indonesia di Abu Dhabi. IGJ berharap nelayan kecil tetap dapat mempertahankan untuk mendapat subsidi, ketika negosiasi di WTO bakal membatasi bahkan melarang subsidi tersebut.
Sementara itu, Rahmat menuturkan bagi industri perikanan besar dan negara-negara maju yang selama ini memberikan subsidi perikanan yang besar, masih dapat mempertahankan subsidi asalkan mereka dapat menunjukkan langkah pengelolaan perikanan yang berkelanjutan.
“Ini enggak adil bagi negara berkembang yang pengelolaan perikanannya masih belum canggih dan belum siap,” tutur Rahmat.
Reporter: dya,rls/ Editor: widyawati