JAKARTA (Lenteratoday) – Langkah negara Malaysia yang akan melakukan klaim atas kesenian Reog sebagai warisan kebudayaan negara Malaysia pada UNESCO, diakhiri dengan pernyataan dari Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy.
Muhadjir menyatakan kesenian Reog Ponorogo sudah diajukan pemerintah ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda milik Indonesia pada tanggal 18 Februari 2022 lalu.
“Mudah-mudahan tidak ada kendala karena dalam persyaratan yang ditetapkan oleh UNESCO sudah sangat dipenuhi (kriterianya) oleh Reog,” lanjut Muhadjir dalam keterangan resminya yang diterbitkan Kemenko PMK, Kamis (7/4/2022).
Muhadjir menjelaskan bahwa kesenian Reog Ponorogo di Indonesia sudah lama diakui sebagai warisan budaya tak benda sejak tahun 2013. Selama kurun waktu 4 tahun berjalan, pemerintah sudah melengkapi dan menyempurnakan persyaratan untuk diusulkan ke UNESCO.
Mengenai proses pengajuan yang cukup panjang, lanjut Muhadjir, dikarenakan banyaknya jumlah budaya Indonesia yang diusulkan ke UNESCO. Di sisi lain, pihak UNESCO membatasi hal tersebut.
“Tidak boleh banyak-banyak karena diprotes oleh negara lain. UNESCO juga kerepotan sekali menerima pengajuan dari Indonesia yang begitu banyak,” kata dia.
Sementara itu, Muhadjir mengklaim belum mengecek lebih jauh soal klaim Malaysia atas Reog Ponorogo. Baginya, mengklaim suatu budaya sebetulnya tidak salah dan masing-masing negara boleh mengajukan.
Ia menilai suatu budaya tidak harus konfrontatif. Baginya, bisa saja suatu kesenian diklaim oleh beberapa negara bila budaya itu sudah menyebar imbas perpindahan penduduk.
“Misalnya Kolintang, itu kita harus berurusan dengan Filipina karena dua-duanya mengusulkan ke UNESCO dan tidak harus kok budaya tak benda hanya diklaim oleh satu negara,” kata dia.
Meski demikian, Muhadjir menegaskan bahwa kesenian Reog memiliki bukti sejarah dan tradisi yang sudah mengakar di Indonesia. Hal itu sebagai bukti konkrit bahwa Reog adalah seni yang berasal dari wilayah Ponorogo Jawa Timur.
Reporter : Ashar, rls | Editor : Endang Pergiwati