JAKARTA (Lenteratoday)-Zonasi sekolah yang dimulai sejak era Muhadjir Effendy mendapat kritis cukup luas. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa zonasi sekolah masih terus dikaji untuk mendapatkan lebih banyak perspektif.
”Saya banyak mendapat keluhan soal zonasi. Tapi saya perlu menjelaskan dasar filosofinya,” kata Mu’ti dalam pengajian Hari Bermuhammadiyah yang diselenggarakan PWM DKI Jakarta di Gedung FKIP Universitas Prof Dr Hamka (Uhamka), Minggu (3/11/2024).
Menurut Mu’ti kebijakan zonasi lahir sebagai respons atas fakta bahwa terjadi polarisasi antara sekolah yang dipandang ”elit” dengan yang “alit”.
”Polarisasi yang tajam itu secara tidak sadar telah membuat segregasi psikologis, yang pada gilirannya akan membentuk segregasi sosial karena sekolah tidak bisa menjadi meeting point. Bisa kita bayangkan betapa bahanya untuk masa depan, perpecahan potensial terjadi,” ujar Sekretaris Umum PP Muhammadiyah ini.
Berdasarkan pemikiran ini, kebijakan zonasi sekolah ditelurkan untuk menjamin pemerataan akses pendidikan. Dengan membatasi siswa bersekolah di wilayah tinggal mereka, kebijakan ini bertujuan untuk membuat pemeriataan kualitas sekolah secara alami. Tidak ada lagi stigma antara sekolah unggulan dan sekolah pinggiran. Pun dengan zonasi, siswa bisa menghemat biaya transportasi.
Sebagian orang tua merespons baik kebijakan zonasi karena memberikan kesempatan anak mereka bisa belajar di sekolah favorit. Tapi sebagian sebaliknya kebijakan ini menutup kesempatan anak mereka di sekolah favorit. Siswa yang terpaksa masuk ke sekolah terdekat juga kurang termotivasi belajar karena tidak dapat memilih sekolah yang mereka inginkan, terutama mereka yang merasa berprestasi.
Yang menarik kebijakan zonasi direspons banyak siswa atau orang tua dengan pindah tempat tinggal hanya demi mendapatkan sekolah yang mereka incar.
Reporter/Editor: M. Kamali