JAKARTA (Lenteratoday) – Wakil Ketua Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah mengatakan bahwa peran akademisi dalam politik nasional sangat dibutuhkan pada tataran teori, bukan kemudian terjun langsung ke dunia politik praktis.
Pasalnya, jika akademisi masuk dalam perpolitikan nasional maka akan kehilangan panduan moral. Berbeda misalnya jika akademisi bersangkutan menanggalkan bajunya terlebih dahulu, selanjutnya masuk ke dunia politik.
“Sebaiknya, akademisi tidak terjun langsung ke gelanggang politik praktis. Akademisi itu sangat dibutuhkan pada tataran teorinya. Tapi kalau memang mau, harus ganti baju dulu,” kata Fahri, Senin(6/5/2024).
Disebutkannya akademisi lebih menekankan politik yang ideal, nilai-nilai politik serta bagaimana politik dalam teori yang seharusnya dengan objektivitas politik yang sesungguhnya.
Tentunya dengan menganut prinsip-prinsip keadilan, kesamaan, keterbukaan dan kesetaraan serta menjunjung tinggi nilai-nilai akademik, khususnya juga nilai agama.
“Itu tugas akademisi. Jika akademisi turun ke lapangan atau masuk gelanggang politik praktis, maka harus berbesar hati untuk siap ikut pertarungan yang hasil akhirnya kalah dan menang,” ucap Fahri.
“Tetapi begitu kita bertarung, nah itu menjadi berbeda. Pertarungan itu bukan tentang salah benar, tapi tentang kalah menang,” sambung Wakil Ketua DPR RI 2014-2019 itu.
Menurutnya, pikiran politisi dengan akademisi harus dibedakan. Sebab politisi memikirkan cara untuk memenangkan sebuah pertarungan. Sedangkan akademisi, berpikir soal etik dan nilai politik sebagai panduannya.
Ditekankan pula bahwa dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), aturan mengenai hal ini masih terlalu longgar, dimana semua orang bisa turun ke lapangan.
“Semua penonton ikut tendang bola, wasit pun ikut tendang bola. Sehingga terjadilah kekacauan di dalam Pemilu, karena pembagian tugas tidak kita lakukan dengan baik,” sebutnya.
Reporter:Sumitro/Editor:Ais
