Harga Beras Disebut BPS Turun, Tapi Masih Mahal

JAKARTA (Lenteratoday)- Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perkembangan harga gabah dan beras. Secara bulanan terlihat ada penurunan, tetapi harga kebutuhan pokok ini masih bertahan di level tinggi.

“Perlu saya informasikan kembali, bahwa harga beras yang kami sampaikan ini merupakan rata-rata harga beras yang mencakup berbagai jenis kualitas dan juga mencakup rata-rata harga dari seluruh wilayah di Indonesia,” kata Amalia Adininggar Widyasanti, Plt Kepala BPS, dalam jumpa pers di kantornya, Jakarta, Kamis (2/5/2024).

Di tingkat petani, harga Gabah Kering Panen (GKP) pada April adalah Rp 5,686/kg. Turun 15,58% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) tetapi masih naik 5,29% dari April tahun lalu (year-on-year/yoy).

Masih tingkat petani, harga Gabah Kering Giling (GKG) pada April rata-rata Rp 6.958/kg. Turun 13,43% mtm, tetapi masih lebih mahal 13,96% dari April 2023.

Kemudian di penggilingan, rata-rata harga beras adalah Rp 13.012/kg. Turun 8,04% mtm, tetapi masih naik 14,07% yoy.

Di tingkat grosir, rerata harga beras pada April adalah Rp 13.835/kg. Berkurang 4,77% yoy, tetapi naik 14,07% yoy.

Terakhir, rata-rata harga beras di tingkat eceran atau konsumen adalah Rp 15.109/kg. Turun 2,72% mtm, tetapi masih melonjak 15,9% yoy.

Tak Turun di 8 Provinsi

Penurunan beras terjadi di 28 provinsi dan memberikan andil deflasi hingga 0,12% selama bulan April ini. Sayangnya, ada 8 provinsi yang harga berasnya tak turun-turun.

“Setelah mengalami inflasi 8 bulan berturut-turut sejak Agustus 2023, beras alami deflasi pada April 2024,” kata Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti.

Amalia mengatakan turunnya harga beras itu salah satunya dipicu oleh dimulainya panen raya di Indonesia. Meski demikian, BPS juga mencatat bahwa harga beras masih mengalami inflasi di 8 provinsi lainnya. Provinsi itu adalah Papua Barat Daya, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kepulauan Riau, Provinsi Riau, Papua Barat, Papua dan Maluku Utara.

Amalia mengatakan kenaikan harga beras di sejumlah provinsi itu dipicu oleh pola konsumsi beras yang bervariasi antara wilayah. Selain itu ada pula pola tanam dan panen padi yang juga bervariasi.

“Ini yang menyebabkan perbedaan struktur permintaan dan suplai beras antar wilayah. Meskipun secara nasional terjadi panen raya, tapi tidak semua wilayah mengalami penurunan beras,” ucap dia.

Amalia melanjutkan BPS juga mencatat terdapat preferensi di sejumlah wilayah yang lebih suka dengan merek-merek beras lokal. Misalnya suku Minang yang tinggal di wilayah Riau dan sekitarnya lebih menyukai varietas beras Solok.

Selain itu, penduduk Kalimantan juga lebih memilih mengkonsumsi varietas beras lokal mereka. “Pola konsumsi ini cenderung inelastis, yaitu pasokan dari luar wilayah di masa panen seperti sekarang, tidak serta merta mampu menekan harga beras lokal,” kata dia.

“Terlebih jika sisi produksi beras lokal belum meningkat sehingga jika terjadi permintaan terhadap beras lokal masih tinggi dan kecenderungan preferensi beras lokal itu tidak otomatis dapat diganti dari beras luar wilayah, sehingga beras lokal bisa saja tetap tinggi meskipun secara nasional kita masuk panen raya,” sebut dia.

Reporter: wid,rls / Co-Editor: Nei-Dya

Latest news

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini