DPRD Jatim Perjuangkan Perlindungan Petani Tembakau

SURABAYA (Lenteratoday) – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Timur (Jatim) mengharapkan adanya perlindungan menyeluruh pada masyarakat petani tembakau. Perlindungan ini nantinya yang harus termuat dalam rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Pengembangan dan Perlindungan Pertembakauan di Jawa Timur yang saat ini dalam pembahasan.

Untuk memberikan ruang perlindungan pada petani tembakau di dalam Raperda tersebut, Komisi B DPRD Jatim meminta pada Badan Musyawarah (Banmus) untuk menjadualkan ulang laporan pimpinan Komisi B. Sebab komisi B membutuhkan pembahasan lebih mendalam lagi serta butuh masukan dan aspirasi dari berbagai pihak.

“Intinya adalag yang diharapkan dari rancangan peraturan daerah pertembakauan ini adalah bagaimana Raperda itu benar benar berpihak pada masyarakat petani tembakau, jangan malah sebaliknya hanya menguntungkan tengkulak, pabrikan, gudang dan seterusnya,” kata Ketua Komisi B DPRD Jatim Aliyadi Mustofa yang ditemui setelah rapat paripurna DPRD Jatim, Senin (24/7/2023).

Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa sebenarnya Raperda yang merupakan inisiatif dari eksekutif ini udah lengkap baik dari naskah akademik hingga tim perumusnya. Namun, komisi B ingin mendalami lagi detail detail dalam draf Raperda sehingga mampu memberikan perlindungan pada para petani tembakau.

“Yang terpenting bagaimana ruh Raperda itu adalah sesuai kebutuhan masyarakat pertembakauan di Jawa Timur, bukan hanya di Madura. Selama ini (persoalan tembakau) carut-marut selalu menjadi persoalan baik mulai mau tanam, mendapatkan pupuknya, setelah  menjadi tembakau harganya yang dipermainkan oleh sebagian orang, maka masyarakat petani kita selalu menjerit,” tandasnya.

Nah, lanjut Aliyadi, terkait dengan perlindungan terhadap petani ini secara detailnya belum ada, sebab dalam Raperda tersebut lebih ada hanya kepentingan industri dan gudang-gudang.  “Kita maunya mengatur secara detail selama itu tidak  bertentangan undang undang diatasnya. Salah satunya adalah dana bagi hasil, Jatim ini terbesar dari pusat dan kontribusi Jatim prihal cukai tembakau pada pemerintah pusat terntinggi,” katanya.

Namun, lanjut Aliyadi, hal itu tidak berbanding lurus dengan apa yang diberikan pemerintah pusat ke Pemprov Jatim dan juga Kabupaten Kota. Di satu sisi, penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) kadang-kadang tidak sesuai dengan tujuannya. Dia mengatakan bahwa dana tersebut tidak diberikan pada petani tembakau, malah diberikan pada dinas yang tidak ada ruusannya pada tembakau.

“Misalnya diberikan pada Dinas Kesehatan, ini kan tidak nyambung. Dinas Kesehatan justru berkoar-koar melarang merokok, tapi dia yang menikmati uang mestinya. Di draft itu juga ada aturan aturan bagaimana masyarakat petani tembakau kita mendapatkan untung dari bagi hasil itu,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan juru bicara komisi B DPRD Jatim, Achmad Amir Aslichin, menyampaikan prihatin pada isi yang ada dalam raperda tersebut. Sebab dalam draf itu tidak mencantumkan perlindungan pada para petani tembakau.

“Di isi perda tersebut sangat prihatin, karena perjuangan yang sudah kami sampaikan ke banyak pihak terkait perlindungan ke petani tembakaunya ini masih belum diakomodir di draf raperda sehingga perlu penyempurnaan maksimalknya satu bulan. Untuk itu juga masih perlu rapat koodrdinasi dengan tim penyusun dan pihak terkait,” tegas politisi yang akrab dengan panggilan Mas Iin ini.

Baca Juga :  DPRD Jatim Terima Penghargaan Green Leadership Nirwasita Tantra dari KLHK

Lebih lanjut dia menandaskan bahwa perlindungan ke petaninya yang belum ada dalam daftar tersebut. Padalah, petani merupakan tataran paling bawah yang perlu kita dilindungi. Perlindungan bukan pada pengusahanya. “Banyak bahan bahan impor yang masuk, kita lebih para perlindungan petaninya supaya mereka lebih layak.

Anggota Komisi B DPRD Jatim Agus Dono Wibawanto mengatakan inti dari Raperda ini memberikan perlindungan pada petani tembakau. Sebab, selama ini terkesan lebih memberikan perlindungan pada industri rokok. “Kita tahu persislah Indonesia ini orang terkaya kebanyakan para pengusaha rokok besar petani petani kita tidak seperti itu, apaklagi pemerintah sudah mengundangkan dengan tembakau dan turunnaya,” katanya.

Lebih lanjut dia menyampaikan bahwa pada 2023 target pendapatan dari cukai rokok di Jatim yaitu Rp 215 triliun. Oleh sebab itu, Jatim yang memiliki potensi pertembakauan ingin melindungi petaninya itu wajar, intinya paling tidak saya mohon nanti pada waktunya. Dia menegaskan bahwa semua industry rokok besar harus mengambil tembakau dari petani. Dia juga tidak menolak adanya importasi, tapi jangan masuk di Jatim .

“Tetap itu nantinya mengatur lalu lintas tembakau di Jatim agar petani memiliki potensi besar saat panen raya. Jangan sampai saat panen raya harga tembakau anjlok, kasian mereka apalagi kondisi petani kita kan seperti ini. Saat ini hilirnya kuat, industri rokoknya kuat, tapi hulunya lemah. Sebenarnya kita ini ingin ada rasa keadilan, suka tidak suka pemerintah pusat memberikan perlindungan pada petani tembakau,” tandasnya.

Seiring dengan apa yang disampaikan Komisi B DPRD Jatim tersebut, para petani tembakau di Jatim memang masih diselimuti berbagai permasalahan, mulai dari saat penanaman yang kerap kali terkendala dengan kelangkaan pupuk, kemudian permasalahan iklim yang berdampak pada kualitas tembakau, hingga berujung dengan nilai jual yang berap kali anjlok sehingga mengakibatkan petani merugi.

Suprapto, petani tembakau asal Desa Sumberagung, Kecamatan Kepuhbaru, Kabupaten Bojonegoro, mengatakan yang menjadi kendala utama dalam penanaman tembakau adalah kelangkaan pupuk dan harga jual yang cukup murah ketika mamasuki musim panen.

Menurut Suprapto, kebutuhan pupuk untuk tanaman tembakau ini juga cukup lumayan. Di mana, setiap hektar dalam satu kali masa tanam, setidaknya membutuhkan 600 kilogram pupuk. “Jadi kami mengharapkan adanya ketersediaan pupuk bersubsidi. Kalau boleh kami meminta pada pemerintah supaya subsidi pupuk tidak diberikan pada pemilik lahan yang luas, lebih baik diberikan pada masyarakat yang tidak memiliki lahan, sehingga harus menyewa,” katanya.

Sedangkan permasalahan yang kedua adalah pada harga jual. Khususnya ketika masa panen raya harga jualnya anjlok. Bahkan perkilonya bisa mencapai hanya Rp 10.000 hingga Rp 15.000. Padahal harga normanya bisa lebih dari Rp 30.000 per kilogram. (*)

Reporter : Lutfi | Editor : Lutfiyu Handi

Latest news

Related news

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini