Ponorogo – Jalan panjang penanganan korupsi memang bukan isapan jempol. Bahkan, ketika Mahkamah Agung telah memutuskan pidana, eksekusi untuk membawa terpidana menuju sel tahanan tak juga terlaksana. Alasan sakit jiwa ringan mampu menunda hukuman bagi pelakunya.
Inilah yang terjadi pada kasus korupsi Dana Lokasi Khusus (DAK) Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo tahun 2012 dan 2013 yang melibatkan mantan Wabup Ponorogo Yuni Widyaningsih alias Mbak Ida. Dia mendapatkan vonis hukuman penjara 6 tahun, denda Rp200 juta subsider enam bulan penjara dan uang pengganti Rp1,05 miliar dari Mahkamah Agung RI. Putusan pidana ini adalah hasil dari kasasi Kejaksaan Negeri Ponorogo atas vonis Pengadilan Tipikor Surabaya.
Putusan MA ini lebih berat dibanding vonis dari Pengadilan Tipikor Surabaya. Saat itu, 28 April 2017, Hakim Tahsin yang memimpin sidang menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan, denda Rp50 juta dan wajib membayar yang pengganti sebesar Rp600 juta atau penjara selama 1 tahun dan dikenakan tanahan kota.
Surat pemberitahuan putusan kasasi tertanggal 5 November ini telah diterima oleh Pengadilan Negeri Ponorogo pada 8 November lalu. Kemudian relaasnya dikirim ke Kejaksaan Negeri Ponorogo pada 13 November 2019. Surat pemanggilan untuk dilakukan eksekusi telah dilayangkan Kejadi Ponorogo ke Yuni Widyaningsih awal pekan lalu.
Namun, hingga awal pekan ini eksekusi belum bisa dilakukan. Terpidana korupsi yang dinilai telah merugikan negara hingga Rp8 miliar lebih ini masih melenggang menghirup udara kebebasan.
“Jadi terkait eksekusi, tim kuasa hukum terpidana telah mengajukan penundaan. Salah satu yang jadi pertimbangan adalah adanya lampiran surat keterangan sakit dari Rumah Sakit Hermina, Solo,” ungkap Kasi Intelijen Kejari Ponorogo Kundrat Mantolas, Senin (2/12).
Kepala Kejaksaan Negeri Ponorogo Indah Layla mengatakan, dalam surat keterangan itu dikatakan bahwa Yuni Widyaningsih mengalami sakit gangguan kejiwaan. “Ada gangguan kejiwaan. Depresi, begitu,” ucapnya singkat.
Kundrat menambahkan, dalam rangka eksekusi ini, Kajari Ponorogo telah membentuk tim yang pada Senin ini akan berangkat ke Solo. Tim ini berupaya memastikan kebenaran surat keterangan dari RS Hermina yang terbit sekitar 20-an November tersebut.
“Kita sendiri tidak tahu keseriusan sakitnya itu. Nanti kita di sana akan bertanya langsung kepada dokter yang menangani,” terang Kundrat.
Kasus ini bermula saat seorang whistle blower mengirim sinyal korupsi pada pengadaan alat peraga pendidikan untuk SD-SD di Ponorogo. Oktober 2014, tim Kejari Ponorogo melakukan pencarian bukti di sejumlah sekolah hingga penggeledahan di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo.
Sejumlah pelaku dipanggil, diperiksa secara maraton dan ditetapkan sebagai tersangka. Dengan modus mark up dan pemberian fee yang angkanya mencapai 22,5 persen dari nilai proyek, korupsi ini menjadi salah satu kasus terbesar di Ponorogo. Pada 2016, sidang untuk para pelaku, yaitu mulai direktur utama perusahaan rekanan pengadaan sampai stafnya, kepala Dinas Pendidikan sampai beberapa pejabat setingkat kasi, dan mantan sekda telah dilakukan. Eksekusi pun berjalan lancar.
Mantan Wabup Yuni Widyaningsih adalah orang kedelapan atau terakhir yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Sejak ditetapkan sebagai tersangka, di akhir 2014 dan divonis bersalah pada 2016, Yuni Widyaningsih lolos dari upaya para penegak hukum untuk menjebloskannya ke sel tahanan karena adanya kasasi dari Kejari Ponorogo. (imw/ufi)