JAKARTA (Lentaratoday) – Rencana pemerintah untuk melakukan pemetaan masjid demi mencegah penyebaran paham terorisme, menuai polemik. Sebagian kalangan menilai rencana tersebut tidak menghargai otoritas masjid.
Badan Intelijen dan Keamanan (Baintelkam) Polri mengungkapkan bakal memberikan warna dan kategori pada sejumlah masjid. Meski belum dijelaskan lebih lanjut mengenai kategorisasi ini, terdapat beberapa masjid yang sudah dicap ‘keras’.
Direktur Keamanan Negara Baintelkam Polri Brigjen Umar Effendi yang mengungkap rencana tersebut di hadapan sejumlah petinggi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengikuti agenda Halaqah Kebangsaan Optimalisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme pada Rabu (26/1/2022) lalu. “Kemarin kami juga sepakat dalam diskusi mapping masjid, pak. Mohon maaf,” kata Umar.
Namun rencana pemetaan tersebut dinilai bisa memicu kesalahpahaman hingga kecemburuan sosial di tengah masyarakat. Kepolisian pun bisa dianggap diskriminatif karena hanya menyasar tempat ibadah umat Islam.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani menyebut rencana kepolisian tersebut berpotensi kontraproduktif dengan upaya-upaya pencegahan radikalisme yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini. Ismail yakin bakal muncul penolakan dari masyarakat.
“Potensi penolakan itu jelas ada. Karena intensi pemetaan ini menyasar kepada masjid-masjid atau kelompok Islam,” kata Ismail, Kamis (27/1).
Ismail mengatakan pemberian label atau stigma terhadap suatu komunitas tertentu yang menetap disuatu tempat dapat menimbulkan konflik. Menurutnya, upaya yang hendak dilakukan oleh kepolisian secara terbuka itu akan menjadi berbahaya.
“Kalau mereka memberi label secara terbuka jelas ini menimbulkan konflik horizontal,” ujarnya.
Ismail berpendapat menangangi tindak pidana terorisme di Indonesia bisa dimulai dari hulu. Pemerintah harus paham sumber transmisi pengetahuan keagamaan yang mendukung gagasan terorisme. Dengan demikian, kata Ismail, pemerintah bisa membendung penyebaran konten-konten keagamaan melalui medium tersebut.
“Masjid bukan satu-satunya tempat. Oleh sebab itu, secara prinsip memang ini suatu kerja penting kalau kita mau mengatasi terorisme dari hulu,” jelasnya.
Ismail menyebut saat ini banyak tersebar narasi-narasi intoleran di lingkungan masyarakat. Ia mencontohkan kasus intoleran yang justru difasilitasi oleh pemerintah daerah setempat, yakni di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat.
Di sana, kelompok warga menolah jemaat Ahmadiyah yang dicap sesat dan menyimpang.
Alih-alih mencari jalan keluar, pemerintah daerah setempat malah melegitimasi penolakan dan sikap-sikap intoleran dalam menyikapi ajaran tersebut. Menurutnya, sikap-sikap ini lah yang menjadi hulu dari terorisme.
“Karena enggak ada orang menjadi teroris jump in terorisme itu tidak ada. Pasti dia melalui tahapan-tahapan, proses dari eksklusif, lalu intoleran aktif, intoleran pasif. Dia kemudian menjadi radikal dan memanifes menjadi bentuk tindakan yaitu terorisme,” ujarnya.
SETARA Institute sebagai lembaga swadaya yang banyak mengadvokasi kasus-kasus kekerasan beragama pun menilai bahwa sikap intoleransi tersebut akan berbahaya jika dipelihara. Apalagi, kata dia, alat negara turut berpartisipasi dalam melakukan penolakan.
Menurutnya penanganan kasus-kasus intoleran tersebut menjadi penting untuk dilakukan oleh pemangku kepentingan di tingkat pemerintah pusat.
“Kalau kepolisian juga membiarkan praktek-praktek intoleransi seperti yang dilakukan oleh sejumlah kelompok di Sintang, Kalimantan Barat dan itu bahkan dilegitimasi oleh aparat negara. Jadi ya percuma saja,” katanya.
Terpisah, Pengamat Intelijen dan Terorisme Universitas Indonesia (UI) Stanislaus Riyanta berpendapat seharusnya kepolisian tak secara terang-terangan hendak melakukan pemetaan terkait penyebaran terorisme secara khusus di masjid.
“Melakukan pemetaan itu wajar, yang penting caranya. Tidak harus show of force, karena bisa muncul resistensi,” kata Stanislaus.
Stanislaus mengatakan data-data intelijen yang dikumpulkan kepolisian itu memang berguna untuk deteksi dini dan pencegahan terhadap ancaman radikalisme ataupun terorisme di Indonesia.
Menurutnya, negara berhak hadir dalam mengantisipasi potensi ancaman yang timbul. Namun, kata Stanislaus, upaya tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara yang tidak menimbulkan masalah baru. Misalnya, kepolisian lebih gencar lagi menggandeng tokoh-tokoh masyarakat hingga adat untuk membantu menghimpun informasi dari masyarakat.
Menurutnya, pelabelan yang dilakukan kepolisian ini justru bukan metode tepat untuk mengumpulkan informasi di tengah permasalahan radikalisme saat ini. “Penguatan kapasitas masyarakat, pendekatan kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, akan lebih soft daripada aparat keamanan yang hadir langsung,” ujarnya.
Stanislaus mendorong agar Korps Bhayangkara lebih menguatkan peran-peran dari pihak di luar pemerintahan untuk melakukan penangkalan paham terorisme maupun radikalisme. “Penguatan kapasitas non-state actor ini yang harusnya dilakukan pemerintah,” katanya.
Polri, kata Stanislaus, dapat mulai bergerak menjalin hubungan dan kolaborasi dengan sejumlah elemen masyarakat sipil, tokoh agama, lembaga swadaya masyarakat, hingga organisasi masyarakat (Ormas) untuk menciptakan kesadaran kolektif terkait bahaya terorisme.
Menurutnya, aparat akan mendapat porsi yang lebih banyak untuk bergerak ketika sudah muncul tindakan pelanggaran hukum yang membahayakan.
“Teknis (pengumpulan data) itu perlu ditinjau lagi, labeling atau stigma tidak menyelesaikan masalah, justru bisa menciptakan resistensi,” ujarnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jusuf Kalla (JK) mengkritik rencana Polri memetakan masjid dalam upaya mencegah penyebaran terorisme. JK mengatakan tak pernah ada upaya mengacau negara lewat masjid.
“Tidak ada yang pernah mengacau negara itu lewat masjid. Tak pernah ada di baiat di masjid, macam-macam,” kata JK usai salat Jumat dan silaturrahmi dengan Pengurus Masjid Al-Markaz Al-Islam di Makassar, Jumat, (28/01).
Editor : CNN | Editor : Endang Pergiwati