Surabaya – Keputusan pemerintah untuk menolak kepulangan Eks Kombatan ISIS sudah tepat. Sebab, di mata hukum mereka sudah dianggap melanggar, dimana Indonesia tidak memberikan ijin pada mereka sebagai partisan atau tentara ke luar negeri.
Pernyataan itu seperti yang disampaikan Guru Besar Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Surabaya-Prof. Dr. V. Rudy Handoko, MS. “Secara hukum mereka sudah melanggar Undang-Undang, karena kita tidak boleh mengirim partisan ataupun tentara ke luar negeri tanpa persetujuan negara. Kalau militer atau tentara kan dikirim dalam rangka perdamaian dunia, bukan perang. Dari sisi hukum kewarganegaraan, mereka sudah merobek paspor dan lain sebagainya. Artinya mereka sudah melepaskan kewarganegaraan,” paparnya saat ditemui di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNTAG Surabaya, baru baru ini.
Dia meminta pada supaya Indonesia tidak takut akan tindakan ini, karena ISIS dalam PBB dimasukkan ke dalam organisasi teroris, sehingga tidak ada persoalan dengan nama negara tercoreng. “Pemerintah lebih mementinngkan 260 juta penduduk daripada Eks Kombatan yang secara sadar melakukan itu, kecuali mereka tidak sadar, seperti kasus penculikan di Uganda dan Somalia. Ada anak yang diculik dan dijadikan tentara, jadi harus diselamatkan. Tapi kalau mereka (Eks Kombatan) kan tidak, mereka berangkat dengan kesadaran sendiri, dilarang oleh pemerintah tapi mereka nekat,” tandasnya.
Dari segi politik, kata Prof. Rudy, karena mereka adalah kombatan. Artinya mereka mempunyai skill yang cukup tinggi. Ketika itu dibawa pulang, diperkirakan pemerintah akan kewalahan meng-cover. Sehingga, lanjut Prof. Rudy, sebailnya pemerintah lebih berpikir menyelamatkan 260 juta penduduk Indonesia.
Prof. Rudy juga mengatakan, jika pemerintah memandang pada sisi kemanusian, maka pemerintah juga perlu berfikir ulang. Sebab, perempuan juga bisa nembak, termasuk juga anak yang dimanfaatkan, seperti pada kasus Bom Surabaya.
Lebih lanjut dia menambahkan bahwa pembahasan yang paling sensitif bukan dari sisi politik, justru dari sisi humanistik, “Bisa saja istri dan anak hanya ikut, karena mereka tidak bisa mengambil keputusan, tetapi terkena dampaknya.” Ketua Prodi Doktor Ilmu Administrasi FISIP UNTAG Surabaya ini menggarisbawahi pemulangan anak-anak Eks Kombatan.
Dia memandang, jika dilihat dari segi kemanusiaan, anak ada di bawah pengaruh orang tuanya. Negara bisa saja memulangkan, namun butuh perlakuan khusus. Jadi mereka benar-benar deradikalisasi. Karena sejak lahir mereka sudah didoktrinasi sebuah ajaran. “Pemerintah harus menyiapkan proses rehabilitasi, tidak bisa langsung dilepas pada keluarga,” terangnya.
Senada dengan Prof. Rudy, Miftakhur Rakhmah, mahasiswa Fakultas Hukum UNTAG Surabaya mengaku setuju bila para Eks Kombatan ISIS tidak dipulangkan. “Karena secara sukarela menjadi foreign fighters, otomatis kewarganegaraan mereka dicabut. Intinya kewajiban mereka sebagai warga negara sudah lepas, ya hak mereka juga lepas dong. Dalam hal ini, mereka mengkhianati Pancasila,” katanya.
Kendati demikian Mifta tidak setuju dengan pemulangan wanita dan anak-anak, “Mereka yang dianggap tidak berdaya, padahal mereka bisa saja dimanfaatkan untuk menyebar ideologi,” pungkasnya. (um/ze/ins)