Francia Marquez, Mantan Buruh Tambang Berdarah Afro - Kolombia Ini Terpilih Jadi Wakil Presiden

JAKARTA (Lenteratoday) – Tak kalah kontroversial, Francia Marquez, mantan buruh tambang dan ART terpilih menjadi Wakil Presiden Kolombia. Wanita berdarah Afro-Kolombia ini berhasil mencatat sejarah baru dengan pencapaian karir politiknya.
Marquez menjadi wapres mendampingi Gustavo Petro, yang berasal dari partai kiri. Mereka berhasil menduduki kursi eksekutif Kolombia setelah berhasil mengantongi tiket dari parlemen dalam pemilu pada Minggu (19/6).
Pengangkatan Marquez dinilai penting. Sebab, ia bukan hanya representasi dari warga kulit hitam Afro-Kolombia, tetapi juga berasal dari keluarga miskin. Dua hal yang mewakili kelompok marjinal melebur jadi satu dalam diri Marquez.
Warga Afro-Kolombia kerap menjadi sasaran rasialisme, sementara kelompok miskin tak banyak mendapat tempat di negara itu.
Marquez memutuskan masuk dalam jajaran eksekutif karena sejauh ini pemerintah belum cukup adil.
"Karena pemerintah kami telah berbelok dari rakyatnya, dan keadilan, dan perdamaian," ucap dia dikutip New York Times pada Semom (20/6)
Kehidupan Marquez jauh dari kemewahan. Bahkan untuk tidur, ia hanya beralaskan lantai kotor.
Marquez lahir pada 1981, di desa kecil selatan Cauca. Ia tumbuh hanya dengan ibunya. Aktivisme hanya ada dalam gen beberapa orang dan Marquez salah satunya.
Pada 1996, saat usia Marquez memasuki 15 tahun, ia menyadari sebuah perusahaan multinasional ingin meluncurkan proyek untuk memperluas bendungan di sungai utama Cauca, Ovejas. Pembangunan itu akan berdampak besar pada komunitasnya.
Lalu, saat usianya mencapai 16 tahun, ia hamil, demikian dikutip AFP.
Marquez lalu banting tulang menghidupi anaknya dengan bekerja di tambang emas lokal. Ia kemudian bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART).
Marquez baru dikenal publik pada 2014. Di waktu yang sama, ia menargetkan para penambang ilegal di sekitar sungai yang menggali emas dan banyak menggunakan merkuri. Merkuri bisa memisahkan emas dari air dan mencemari lingkungan.
Marquez lalu menginisiasi demo 'Turban Maret'. Dalam aksi itu, tampak sekitar 80 perempuan berjalan dari Cauca ke Bogota yang berjarak 500 kilometer selama sepuluh hari.
Terhitung nyaris 20 hari, mereka tiba di depan gedung Kementerian Dalam Negeri. Mereka akhirnya mendapat kemenangan kecil. Pemerintah berjanji akan menghancurkan pertambangan ilegal di sepanjang sungai.
Bagi orang Kolombia yang menuntut perubahan dan representasi yang lebih beragam, Márquez adalah juaranya. Pasalnya, pemerintahan sebelumnya berasal dari kelompok terpelajar dan berjejaring dengan orang-orang yang punya kuasa di Kolombia.
Namun, hadirnya Marquez menjadi orang nomor dua di Kolombia memicu pertanyaan apakah seluruh negeri siap untuk itu.
Beberapa kritikus menyebut terpilihnya Petro-Marquez bisa memecah belah. Menurut mereka, Marquez adalah bagian dari koalisi kiri yang berusaha untuk menghancurkan norma-norma masa lalu ketimbang membangun.
Direktur Risiko Analisis Kolombia, Sergio Guzman, mengatakan Marquez tak pernah memegang jabatan politik.
"Ada banyak pertanyaan apakah Francia bisa menjadi panglima tertinggi, jika dia akan mengatur kebijakan ekonomi, atau kebijakan luar negeri, dengan cara yang memberikan kesenimbanungan bagi negara," kata Guzman.
Oposisi Marquez telah membidiknya dengan sasaran rasisme, kritik terhadap kelas, dan legitimasi politik.
Namun saat kampanye, kegigihan Marquez, frank dan analisis yang jujur dan tajam soal kesenjangan sosial di Kolombia membuka diskusi tentang ras dan kelas dengan cara yang jarang terdengar di negara itu.
Profesor di Universitas Simon Bolivar Andean, Santiago Arboleda, mengatakan topik-topik tersebut banyak yang menolaknya, atau mengecamnya sebagai minoritas.
"Tapi hari ini, mereka ada di garis depan," kata Arboleda.
Sumber : CNN | Editor : Endang Pergiwati