
MALANG (Lenteratoday) – Salah satu wali kelas siswa SMPN 01 Kota Malang, Rabu (5/10/2022) pagi mendadak menghampiri posko crisis centre Pemkot Malang yang berlokasi di depan pelataran Balai Kota. Guru tersebut menginformasikan bahwa salah satu muridnya tiba-tiba histeris, dan setelah dilakukan peninjauan oleh relawan psikolog, diketahui bahwa siswa tersebut merupakan korban selamat tragedi Kanjuruhan
“Jadi memang itu korban (Tragedi Kanjuruhan) secara fisik, kalau tidak salah memang ada luka di lengan. Tapi sekarang dia sudah bisa bersekolah, ternyata ketika di sekolah dia histeris,” cetus Sururun Marfuah, salah satu relawan psikolog di crisis centre Pemkot Malang sekaligus anggota organisasi profesi Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Wilayah Jawa Timur, Rabu (5/10/2022).
Rurun kemudian mengungkapkan bahwa kemungkinan penyebab histeria siswa tersebut dipicu oleh keramaian suasana di sekolah. Sehingga, lanjutnya, dapat menjadi trigger dan mengingatkan situasi ramai saat terjadinya tragedi di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu malam (1/10/2022) lalu.
“Jadi dengan keramaian di sekolah, dia ketrigger lagi dengan kejadian di sana (Stadion Kanjuruhan) kan ramai, ya pada saat itu. Jadi bisa menyebabkan histerisnya,” ujarnya.
Lebih lanjut, salah satu relawan dari IPK wilayah Jawa Timur tersebut mengatakan bahwa dari sisi psikis, belum dilakukan penanganan lebih lanjut kepada siswa tersebut. Namun, sambungnya, pihak relawan psikososial telah menghubungi keluarga siswa dan memberitahu apabila sewaktu-waktu dibutuhkan pendampingan psikologi.
“Jadi memang belum ada penanganan lebih lanjut karena si anak ini masih dalam penanganan medis (saat ini). Tapi tadi kita sudah beritahu keluarganya jika memang dibutuhkan pendampingan lebih lanjut nantinya,” ungkapnya.
Kejadian tragis di Stadion Kanjuruhan tersebut nampaknya memang menyisakan banyak luka, baik secara fisik maupun psikis. Terlebih pada trauma yang dialami oleh para supporter atau korban selamat yang menyaksikan langsung di lokasi kejadian.
“Memang kalau trauma, itu kan ada kejadian semengerikan itu, jadi kalau masa-masa awal kayak hari H plus 1, 2 , 3, itu kita masih belum bisa melakukan penanganan apa-apa, karena memang di dalam dirinya individu itu masih blocking, dia belum bisa memahami emosinya itu seperti apa, belum tahu kenapa dia seperti ini,” paparnya.
Lebih lanjut, pendampingan yang saat ini dilakukan oleh relawan psikolog kepada para korban adalah dengan memberikan pengertian bahwa mereka telah berada dalam situasi yang aman.
“Kalau saat ini kita hanya sekedar meyakinkan mereka untuk memberikan kenyaman. Dan sebisa mungkin rasa bersalahnya itu tidak berkembang, itu yang cukup bisa dilakukan di hari-hari awal. Nanti kita follow up lagi, satu minggu seperti apa, dua minggu seperti apa, dan seterusnya. Ada juga yang berbeda-beda, kalau pengelolaannya (emosi korban) bagus, biasanya dalam waktu seminggu dan seterusnya, mereka tidak mengalami trauma, tapi kalau memang penanganan emosinya itu kurang baik, maka akan menjadi trauma,” jelasnya.
Dalam penanganan korban yang memicu trauma, seperti yang dituturkan oleh Rurun, psikolog sebagai tenaga ahli tidak bisa menentukan diagnosa dalam waktu dekat. Sehingga perlu adanya follow up, dan evaluasi berulang kali untuk mengetahui diagnosa korban.
“Jadi trauma itu tidak bisa kita tentukan dalam waktu dekat, jadi kita harus follow up lagi, evaluasi lagi, kira-kira kondisi emosinya itu seperti apa lalu kita diagnosa hasilnya. Jadi memang kalau penanganan psikologis itu berbeda dengan medis, apalagi diagnosanya adalah trauma itu butuh waktu bisa berbulan-bulan juga,” tandasnya. (*)
Reporter: Santi Wahyu | Editor : Lutfiyu Handi