
KOLOM (Lenteratoday) -Oktober 2022 menjadi bulan yang kelabu. Dibuka dengan tragedi Kanjuruhan, Indonesia yang memicu 135 orang meninggal pada Sabtu (1/10/2022). Sedangkan pada Sabtu terakhir bulan ini (29/10/2022) sebanyak 153 orang --data per pukul 20.57 WIB--kehilangan nyawanya saat melakukan perayaan Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan. Menyedihkan!
Di kabarkan ada 2 orang Warga Negara Indonesia (WNI) ikut menjadi korban terluka dan telah pulang dari rumah sakit. Pemerintah Korea Selatan (Korsel) menetapkan hari berkabung nasional selama 7 hari ke depan.
Dari dua peristiwa ini publik bisa belajar, bila kerumunan bisa menjadi zona berbahaya. Bahkan pakar keamanan kerumunan dan profesor tamu ilmu kerumunan di University of Suffolk di Inggris G. Keith Still mengibaratkan, 'kerumunan massal dapat membengkokkan baja'.
Pesta Halloween yang digelar Sabtu (29/10/2022) di Itaewon merupakan yang pertama kalinya sejak tiga tahun setelah Korea Selatan mencabut pembatasan COVID-19 dan larangan berkumpul. Ironisnya, acara yang harusnya dihiasi tawa gembira malah berakhir menjadi duka.
Korban tewas tercatat 153 orang dalam tragedi tersebut.Pemerintah Korea Selatan mengatakan bahwa hingga pukul 18.00 waktu setempat, sebanyak 153 orang dinyatakan tewas. Sementara sebanyak 133 orang mengalami luka-luka.
Adapun kebanyakan korban meninggal dunia terdiri dari usia remaja dan orang-orang berusia 20-an."Minggu, 153 orang telah dinyatakan tewas sementara 133 terluka dalam kecelakaan yang terjadi di Itaewon," dikutip dari KBS, Minggu (30/10).
Badan pemadam kebakaran mengungkapkan dari jumlah orang yang tewas itu, setidaknya ada 25 warga negara asing. Mereka beberapa di antaranya ada yang berasal dari Iran, Uzbekistan, China, dan Norwegia.
Sementara itu, pihak berwenang mengatakan bahwa dari jumlah korban yang mengalami luka-luka, sebanyak 37 orang menderita luka serius. Dilansir dari Reuters, Kementerian Dalam Negeri mengatakan setidaknya 90 persen dari korban telah diidentifikasi.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol mengumumkan masa berkabung nasional selama 7 hari usai tragedi pesta Halloween yang menewaskan ratusan orang tersebut.Yoon turut mengungkapkan belasungkawa kepada para korban. Ia berharap mereka mengalami pemulihan dengan segera.
"Ini benar-benar tragis. Tragedi dan bencana yang seharusnya tidak terjadi terjadi di jantung kota Seoul tadi malam," katanya.
Sebelumnya, daerah Itaewon dipadati para pengunjung yang ingin merayakan pesta Halloween. Massa semakin membludak pada pukul 22.30 malam waktu setempat.Saat itu, sejumlah orang yang sudah berada di bagian atas jalan ternyata terjatuh, menimpa massa di bawahnya. Di tengah kepanikan, para pengunjung saling injak.
Karena kondisi berjubel, petugas sampai-sampai harus bersusah payah menarik beberapa orang keluar dari kerumunan.Namun, puluhan orang sudah terkapar di jalanan dan mengalami henti jantung. Beberapa pengunjung dan petugas langsung melakukan pertolongan pertama, melakukan teknik CPR di tengah hiruk pikuk massa.
Kedutaan Besar RI di Seoul menyampaikan ada dua WNI yang menjadi korban tragedi halloween di Itaewon, Korea Selatan. Dua WNI tersebut sempat dirawat di rumah sakit dan kini telah kembali ke kediaman.
"WNI berinisial AR telah dirawat di Korea University Anam Hospital akibat kejadian di Itaewon semalam (29/10). Minggu pagi yang bersangkutan sudah keluar dari RS dalam keadaan baik," demikian KBRI Seoul di Jakarta, Minggu (30/10/2022).
Sementara itu, satu WNI lainnya dengan inisial CA juga telah menerima perawatan di rumah sakit Seobuk atas luka ringan yang dideritanya. Korban telah kembali ke kediamannya pada Sabtu malam. Sebelumnya, per pagi tadi KBRI Seoul belum menerima informasi terkait ada tidaknya WNI yang menjadi korban tragedi halloween di Itaewon.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan belasungkawa atas tragedi maut di Distrik Itaewon, ini.Jokowi mengatakan Indonesia bersama rakyat Korea Selatan (Korsel).Pernyataan itu disampaikan Jokowi di akun Twitter-nya , Minggu (30/10). Ucapan belasungkawa itu disampaikan Jokowi dalam bahasa Inggris.
Jokowi menyampaikan dukacita kepada mereka yang kehilangan orang yang dicintai. Dia juga berharap mereka yang terluka bisa segera pulih."Deeply saddened to learn about the tragic stampede in Seoul. My deepest condolences to those who lost their loved ones. Indonesia mourns with the people of South Korea and wishes those injured a speedy recovery," tulis Jokowi.
Kerumunan Bisa Mematikan
Pakar keamanan kerumunan dan profesor tamu ilmu kerumunan di University of Suffolk di Inggris G. Keith Still mengatakan, saat berada di kerumunan massal hal yang tidak terlihat adalah gaya yang begitu kuat sehingga dapat membengkokkan baja. Menurutnya dalam kondisi tersebut, aktivitas menarik napas menjadi sulit.
"Saat orang berjuang untuk bangun, lengan dan kaki terpelintir. Pasokan darah mulai berkurang ke otak," kata G. Keith Still dikutip dari VOA.
Dia juga mengatakan, dibutuhkan 30 detik sebelum seseorang kehilangan kesadaran, dan sekitar enam menit mengalami asfiksia kompresif atau restriktif. "Itu umumnya penyebab kematian yang dikaitkan dengan mati lemas,” ujarnya.
Still mengatakan, saat terjadi lonjakan, tekanan dari atas dan bawah orang dalam kerumunan membuat sulit bernapas karena paru-paru mereka membutuhkan ruang untuk mengembang.
Dibutuhkan sekitar enam menit untuk masuk ke asfiksia kompresif atau restriktif, kemungkinan penyebab kematian bagi orang yang tewas dalam keramaian.
Orang-orang juga dapat melukai anggota badan mereka dan kehilangan kesadaran ketika mereka berjuang untuk bernapas dan melarikan diri dari keramaian.
Dibutuhkan sekitar 30 detik kompresi untuk membatasi aliran darah ke otak dan orang-orang yang berada di keramaian menjadi pusing. Gelombang kerumunan dapat dipicu oleh banyak situasi ketat, misalnya ketika orang mendorong orang lain atau jika seseorang tersandung, kata Still. Namun kejadian tersebut biasanya tidak disebabkan oleh orang yang kesusahan atau mendorong untuk keluar dari keramaian.
Reaksi-reaksi itu biasanya muncul setelah kerumunan mulai runtuh. “Orang mati bukan karena panik. Mereka panik karena mereka sekarat. Jadi yang terjadi adalah, saat tubuh jatuh, saat orang-orang berjatuhan, orang-orang berjuang untuk bangun dan Anda berakhir dengan lengan dan kaki terpelintir bersama-sama,” kata dia.
Martyn Amos, seorang profesor di Universitas Northumbria di Inggris yang mempelajari keramaian, mengatakan bahwa peristiwa besar tersebut membutuhkan perencanaan yang tepat dan orang-orang yang terlatih untuk mengelola keramaian.
"Intinya secara umum adalah bahwa insiden ini akan terus terjadi selama kita tidak menerapkan proses manajemen kerumunan yang tepat yang mengantisipasi, mendeteksi, dan mencegah kepadatan kerumunan yang sangat tinggi," kata Amos dalam sebuah pernyataan kepada The Washington Post.
Di luar kasus tersebut, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah dari Rumah Sakit Siloam, dr Vito Damay, SpJP(K), MKes, AIFO-K, FIHA, FICA, FAsCC, beberapa waktu lalu menjelaskan perbedaan serangan dengan henti jantung.
Henti jantung adalah kondisi organ jantung yang tak mampu memompa secara efektif untuk mengalirkan darah ke pembuluh darah sistem tubuh, biasanya disebabkan oleh sejumlah faktor."Bisa disebabkan karena serangan jantung, infeksi berat atau radang berat atau hal lainnya. Misalnya gangguan irama jantung fatal," ucapnya beberapa waktu lalu.
Adapun tanda-tanda seseorang mengalami henti jantung, seperti tiba-tiba pingsan atau tak sadarkan diri. Karenanya, dr Vito menyebut jika seseorang mengalami henti jantung penting untuk segera melakukan resusitasi jantung atau CPR sebagai pertolongan pertama (*)
Sumber: Koran Lenteratoday|Editor: Arifin BH