07 April 2025

Get In Touch

Pusat Olah Seni Surabaya Latih 200 Anak Bermain Musik, Termasuk Disabilitas

Anak anak POSS saat berlatih di gedung Balai Pemuda Surabaya. (Foto:dok)
Anak anak POSS saat berlatih di gedung Balai Pemuda Surabaya. (Foto:dok)

SURABAYA (Lenteratoday) - Lantunan suara musik merdu mengalun di antara dinding gedung Balai Pemuda Surabaya. Sebanyak 10 anak memegang biola. Dari gesekan tangan merekalah, suara merdu itu terdengar. Mereka adalah anak anak Pusat Olah Seni Surabaya (POSS).

Heru Prasetyono, musisi asli Surabaya yange.dirikan POSS sebagai ruang anak-anak bermain musik di tahun 2014. "POSS awalnya hanya sebuah komunitas yang menekuni seni musik, dan membentuk kelompok orkestra," ungkap Heru, Senin (28/11/2022).

Aktivitas mereka lantas berkembang dengan mengajarkan bermain musik biola. Perkembangannya, tidak hanya dalam jumlah murid yang belajar,  namun juga pada ragam alat musik yang diajarkan. "Di sini orang bisa belajar alat musik tiup, mulai  saxofon, klarinet, terompet, juga alat musik gesek seperti biola dan cello, serta gitar," ucapnya.

Heru Prasetyono atau yang dikenal dengan nama Heru Biola pendiri POSS.

Kelompok POSS orkestra sendiri telah ada di tahun 2008. Orkestra ini pernah berkolaborasi dengan kelompok musisi dari Jepang yang sedang berkunjung ke Indonesia. Selain itu, pihaknya juga seringkali diminta mengisi acara di beberapa tempat.

Dari 200 murid yang kini belajar di bawah nama POSS, ada 6 guru yang siap mengajarkan beragam alat musik itu. Bahkan beberapa di antara para murid adalah anak - anak disabilitas. "Ada yang tuna netra, ada yang tidak memiliki jemari di tangan kanan, ada juga anak anak berkebutuhan khusus," urai Heru.

Ia mengakui membutuhkan waktu dan metode khusus untuk mengajarkan anak anak. "Namun kemampuan bermusik mereka tidak bisa diremehkan, karena mereka memiliki niat yang kuat sehingga keterbatasannya tidak menjadi penghalang," tambah pria yang memiliki sanggar atau tempat berlatih di Darmawangsa 4 no 5, Surabaya.

Saat Heru mengajarkan bermain biola di Balai Pemuda Surabaya.

Meski harus dengan metode khusus, Heru justru mengaku belajar banyak hal dari anak anak disabilitas itu. "Saya melakukan beberapa metode termasuk memodifikasi alat musik agar dapat dimainkan oleh mereka dengan baik," tuturnya. “Soal perkembangan minat dan belajar anak-anak terhadap musik sebenarnya terutama karena ketersediaan alat musiknya. Kalau dulu, biola harganya mahal dan barangny a jarang," lanjutnya.

Sementara di masa kini alat musik relatif terjangkau dan mudah didapatkan. Minat anak anak untuk belajar pun makin besar.  Meski telah banyak mencetak musisi profesional, Heru tidak merasa tersaingi atau terkalahkan. "Saya justru senang melihat ada murid saya yang sudah bisa menjadi musisi profesional atau menjadi guru musik," ucapnya tersenyum lebar.

Dalam proses mengajarkan anak anak bermain musik, bukannya tanpa kendala. Beribu kendala yang ia hadapi, semua dijawab dengan kegigihan dan kesabaran. Sayangnya, kegigihannya ini seringkali tidak mendapat support positif dari pihak pemerintah.

Heru menceritakan, dirinya pernah diusir oleh petugas penjaga di Alun Alun Surabaya, area Balai Pemuda. "Saya dimintai surat ijin, padahal dari dulu kami bebas berlatih di Balai Pemuda," tuturnya. Namun diakui Heru, kini teguran semacam itu tidak ada lagi. Dirinya bersama anak anak didiknya pun kembali bebas meramaikan Alun Alun Surabaya dengan lantunan musik.

Reporter : Endang Pergiwati | Editor:Widyawati

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.