
Oleh: Samuel Soegiarto, M.Th*
SALAH satu tradisi yang dilakukan pada saat Natal adalah tukar kado. Seharusnya tukar kado bukan hanya terjadi pada masa Natal saja, sebab tukar kado adalah sebuah simbol yang mengingatkan kita akan panggilan untuk saling memberi dan memberkati satu dengan yang lain.
Namun momen Natal menjadi salah satu momen penting untuk tukar kado karena Natal sebenarnya juga merupakan momen tukar kado antara Allah dengan kita, manusia.
Kado dari Allah: Kasih yang Sangat Besar
“Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.”(Yohanes 1:10-11, 14 TB)
Ayat-ayat ini menceritakan kado Natal, yakni kasih Allah bagi manusia. Kado yang harganya tidak terukur, karena kasih yang diberikan sangat amat besar sekali.
Di ayat 10, Yohanes mengenalkan Allah yang sebagai pencipta dan pemilik dunia yang sudah pasti mengenal setiap bagian dari dunia yang dijadikannya. Hal ini dapat kita ketahui melalui penjelasan selanjutnya, di mana Yohanes menyatakan bahwa dunia tidak mengenal Allah. Allah mengenal seluruh dunia, tetapi dunia (dalam hal ini berbicara mengenai manusia) tidak mengenal Dia.
Dalam Alkitab, pengenalan Allah akan sesuatu bukan hanya digambarkan sebagai pengenalan karena Allah memiliki pengetahuan (Maha Tahu), tetapi Allah mengenal juga berbicara mengenai Allah yang mengasihi. Allah yang menciptakan dan menjadikan dunia ini melalui Yesus Kristus berbicara mengenai Allah yang mengasihi dunia ini.
Tidak hanya itu, Yohanes menunjukkan kasih Allah yang sangat besar ini dengan cara yang unik. Yohanes menuliskan pernyataan positif yang diakhiri dengan pernyataan negatif. Ayat 10 dimulai dengan penjelasan positif, yakni kasih Allah, dan diakhiri dengan penjelasan negatif, bahwa dunia yang dikasihi itu tidak mengenal Allah. Tetapi, meskipun dunia tidak mengenal Allah, hal ini tidak menjadikan Allah berhenti mengasihi. Justru Allah lebih lagi menyatakan kasihnya dengan cara Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya (ay. 11). Dari kekekalan, Allah bertindak aktif masuk ke dalam dunia ciptaan-Nya, supaya manusia dapat mengenal-Nya. Dan inilah yang menjadi kisah Natal, Allah menjadi manusia.
Selanjutnya, Yohanes menuliskan bahwa kedatangan Allah menjadi manusia itu diresponi dengan cara yang negatif, dunia tetap menolaknya. Tetapi, hal inipun tidak menjadikan Allah mundur, tetapi justru Ia tinggal (Yun: tabernakel), hadir terus menerus meski Ia tetap ditolak. Dan inilah Allah, Immanuel - Allah beserta kita senantiasa.
Dari cara Yohanes menuliskan, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu halpun, bahkan keberdosaan dan pemberontakan manusia, yang merintangi Allah untuk menyatakan kasih-Nya lebih dan lebih lagi bagi dunia. Inilah kado kasih yang sangat besar dari Allah, yang tentu saja sangat mahal harganya.
Yang menjadi pertanyaan, kalau Allah memberikan kado sedemikian rupa mahal dan berharganya, kado seperti apa yang akan kita berikan kepada-Nya?
Kado dari manusia
“Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri. Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: ”Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai isterimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: ”Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” – yang berarti: Allah menyertai kita. Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.”(Matius 1:18-25)
Perikop ini mencatat salah satu kado, yakni respon manusia terhadap kasih Allah yang demikian besar. Kado ini diberikan oleh Yusuf, ayah secara hukum dari Yesus Kristus. Di dalam segala keterbatasannya, Yusuf memberikan kado, yakni penyerahan diri yang terbaik kepada Tuhan.
Bagaimana penyerahan diri terbaik yang Yusuf berikan kepada Tuhan?
Penyerahan diri pertama, Yusuf percaya dan membiarkan firman Tuhan yang menguasai perasaannya. Meski dalam tulisan Matius 1:18-25 tidak dituliskan secara eksplisit bahwa Yusuf takut, tetapi perkataan malaikat Tuhan yang mengingatkan Yusuf untuk tidak takut menjadi salah satu indikator utama bahwa Yusuf takut. Namun yang menarik, setelah firman Tuhan disampaikan kepada Yusuf, Matius menuliskan, “sesudah bangun, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan Tuhan.” Penjelasan “sesudah bangun” ini memberikan informasi tak langsung bahwa bahwa Yusuf langsung meresponi firman Tuhan tersebut dengan mengambil Maria sebagai istri. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak lagi takut.
Perasaan takut merupakan perasaan yang wajar dialami oleh setiap manusia. Namun Yusuf tidak membiarkan perilakunya diarahkan oleh perasaan. Ia tidak membiarkan ketakutan yang dirasakan membuat ia meragukan firman Tuhan atau melakukan tawar menawar. Yusuf menyerahkan diri, yang berarti ia membiarkan perasaannya dikendalikan oleh firman Tuhan.
Penyerahan diri kedua, Yusuf percaya dan menjadikan firman sebagai standar dalam ia mengambil keputusan. Di ayat 20, Yusuf sedang mempertimbangkan dengan seksama seluruh rencananya untuk “menceraikan” Maria. Tetapi setelah firman Tuhan datang kepadanya, Yusuf (memutuskan) mengambil Maria sebagai istrinya (ay. 24).
Sekali lagi, Yusuf tidak beradu argumentasi dengan malaikat (perwakilan Tuhan). Yusuf percaya kepada firman Tuhan dan menjadikan firman Tuhan tersebut sebatai standar utama dan terpenting untuk mengambil langkah dalam kehidupannya.
Penyerahan diri ketiga, Yusuf belajar dan taat secara detil kepada firman Tuhan. Kalau kita perhatikan dengan seksama, dalam narasi Matius ini, ada 3 hal yang malaikat perintahkan dan Yusuf taati. Pertama, tidak takut. Kedua, tetap mengambil Maria sebagai istrinya. Dan yang ketiga adalah memberi nama anak itu Yesus.
Namun, di ayat 23, Matius menuliskan sebuah catatan menarik tentang apa yang Yusuf lakukan, yakni ia “tetapi tidak bersetubuh dengan dia (Maria) sampai ia melahirkan anaknya laki-laki” (ay. 25a). Bagian ini tidak ada dalam perintah malaikat yang datang kepadanya. Yang menjadi pertanyaan mengapa Yusuf mengambil inisiatif tersebut?
Matius memberikan kita jawaban dengan mengutip nubuatan Yesaya 7:14, “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki,” (ay. 23). Ayat ini bukanlah bagian dari ucapan malaikat kepada Yusuf. Ini adalah narasi Matius, yang seolah-olah Matius hendak memberitahu para pembacanya dasar tindakan dari Yusuf. Sebagai seorang Yahudi yang belajar firman, Yusuf tahu nubuatan Yesaya ini, sehingga ketika malaikat Tuhan menyatakan panggilan bagi Maria untuk melahirkan Mesias, Yusuf tahu bahwa Maria harus melahirkan sebagai seorang perawan. Inilah yang membuat Yusuf tidak menyetubuhi Maria, meski sebagai suami ia boleh melakukannya.
Gambaran ini menunjukkan bagaimana Yusuf seorang yang yang belajar firman Tuhan secara mendetil dan mau hidup mentaatinya dengan tepat. Ketaatan Yusuf bukan taat firman secara moral universal (“yang penting saya tidak melakukan apa yang dilarang”). Demikian juga ketaatan Yusuf bukanlah ketaatan yang kompromistis (“melakukan negosiasi untuk melakukan kebenaran hanya dalam kadar-kadar tertentu). Yusuf memberi persembahan diri yang terbaik, bagi Allah yang mengasihi dan memanggil ia untuk terlibat dalam karya keselamatan yang Ia kerjakan dalam sejarah manusia.
Yang menjadi pertanyaan saat ini, jika Allah sudah memberikan kado yang paling istimewa, yakni melalui inkarnasi, kematian di atas kayu salib untuk menebus dosa, dan bangkit dari kematian untuk memberikan kita pengharapan dan kehidupan, maka kado semacam apakah yang akan kita beri bagi Tuhan?
*Kepala Lembaga Pengembangan Kerohanian dan Kepemimpinan Kristen UK Petra