21 April 2025

Get In Touch

DOA DIANTARA DOSA

DOA DIANTARA DOSA

Gus Adhim
Pimpinan Ponpes SPMAA Sumatera Selatan

Sepekan terakhir ini saya bersama keluarga banyak meluangkan kesempatan bergiat di masjid. Selain niat berikhtiar bisa mendapat berkat lailatul qadar, saya ingin memperbaiki family time quality dari segi spiritual dan sugesti moral. Saya juga ingin mengikuti sunnah Nabi yang 10 hari terakhir Ramadhan diriwayatkan banyak munajat dan tirakat.

Bila di sepertiga 10 hari Ramadhan pertama dan kedua, saya bersama keluarga berusaha serius memperoleh rahmat ampunan, maka 10 hari ketiga ini fokus berupaya ngunduh syafaat pertolongan. Terutama minta kepada Allah SWT supaya saya sekeluarga dibebaskan dari segala tuntutan dosa dunia dan perlindungan dari bahaya ancaman siksa neraka.

Jika saya menginsyafi kembali secara reflektif arif, dosa paling sering dan termonitor dekat saat bulan suci Ramadhan ini, adalah persoalan makanan. Saat sahur kurang tirakat bersyukur, menu satu masih ingin lebih. Pas berbuka kerap tandas semua, mengenyangi perut sendiri. Tidak ingat saudara di belahan dunia lainnya yang sekarat kelaparan karena saking fakirnya.

Saya teringat waktu kecil dulu saat ditarbiyah Abi dan Umi, setiap sebelum sahur maupun berbuka puasa, kami diharuskan menyedekahkan makanan yang disuka kepada santri di asrama. Terutama prioritas penerima jatah makanan kami adalah santri lansia, fakir yatim duafa, dan santri stateless yang tidak punya keluarga. Baru setelah usai protokol sedekah itu, kami dibolehkan makan bersama Abi dan Umi Ibu.

Prinsip kehati-hatian dalam persoalan makanan ini begitu diperhatikan dalam tarbiyah keluarga Abi saya disebabkan beberapa alasan. Pertama, pelanggaran pertama dosa kesalahan manusia yang dikisahkan al Quran adalah bab makanan. Sebagaimana kita iqra bersama, Bapak Adam dan Ibu Hawa turun dari hunian surgawi gegara pelanggaran makan buah khuldi.

Kedua, persoalan makan ini sering dianggap hal kecil padahal prinsipil. Justru karena mengecilkan persoalan makan, sehingga kerap terjerumus pada kehinaan. Contoh makan dengan posisi berdiri dan tangan kiri. Sudah paham ini larangan tapi masih kerap dibiasakan,-- alih-alih meniru bintang iklan makanan minuman di tayangan tipi Ramadhan.

Saya sendiri masih sering mendapati diantara keluarga muslim kita yang melakukan pelanggaran “makan berdiri dan tangan kiri” ini. Padahal jelas tegas Rasulullaah memerintahkan makan dengan tangan kanan. Makan dengan tangan kiri itu kelakuan cara makannya syetan.

Harusnya derajat manusia diangkat mulia dengan adab makan tangan kanan, tapi malah terhina levelnya gegara makan dengan kiri meniru cara makan syetan

Ketiga, adab makan muslim sesuai uswah hasanah Rasulullaah diatur sedemikian rupa ketat disiplinnya. Etika di meja makan misalnya, Rasulullaah menyunnahkan sehat kita untuk mengambil menu yang dekat saja. Jangan sampai tergoda loba ingin makan semua, sehingga tangan kelayapan kemana-mana; ikut selera mulut lupa kapasitas perut.

Apalagi waktu undangan menu prasmanan, sering table manner Rasulullaah tadi luput tak diingat lagi. Maunya sepiring nasi dipenuhi dengan tumpukan lauk puluhan plus minuman aneka rasa. Padahal, selain menyebabkan sakit raga, kebiasaan kemaruk makan juga membuat derajat mulia kita bisa anjlok setara primata mamalia.

Jangan sampai kita mengulangi tragedi umat Nabi Musa yang dikutuk jadi kera hina gegara kemaruk loba meminta makanan aneka rupa sampai meninggalkan kewajiban ibadat hari Sabat.

Keempat, adab Rasulullaah Muhammad saat makan, bila suka beliau ambil, jika tak berselera beliau diamkan. Rasulullaah melarang umatnya mencela makanan. Untuk terakhir ini, saya kerap terkena dosa gegara keceplosan komentar makanan yang terhidang. Kurang asin, kepedesan, terlalu manis, bumbu keliru, dst sambil nyalahi gerundel sana-sini.

Maka demi menjaga disiplin keluarga, terutama di tepi akhir Ramadhan ini, saya kian mengetatkan standar puasa kami. Diantaranya memperhatikan prosedur makanan halalan thayyiban. Terutama saat sahur dan berbuka. Selain ditirakati dengan terus sedekah berbagi, doa-doa juga ditambahi lagi untuk mengawali prosesi makan kami.

Jika sebelumnya diajarkan hapalan “Allaahumma baarik lanaa fiima rozaqtanaa waqinaa ‘adzaaban-nnaar (Ya Allaah berkahi kami dalam setiap tetes butir rejeki makanan ini dan lindungi kami dari ancaman siksa tuntutan neraka)”, maka untuk edisi Ramadhan 1441 H ini kami awali-akhiri makan dengan doa permohonan:

“Robbanaaghfirlanaa dzunuubanaa wa isroofanaa fii amrinaa wa tsabbit aqdamanaa fanshurnaa ‘alal-qaumil kaafiriin (Ya Allaah ampuni dosa kami dan akibat berlebihan dalam urusan dunia kami, termasuk persoalan makan ini. Ya Allah perkuatlah pendirian kami dan kalahkan syetan kaum kafir yang ingin menyesatkan kami lewat godaan berlebihan makan)

Saya berharap diantara doa yang terucap, dalam prosesi iktikaf siang malam ini, Allah SWT berkenan menurunkan ampunan kepada keluarga kami. Terutama atas dosa yang sebelumnya tidak terkira. Persoalan makan minum contohnya. Hal yang normal ketika ibadah puasa, kita rutin menjadwal sahur dan berbuka. Tapi justru karena rutinnya normal jadwal itu, kita kerap lupa terselip tuntutan dosa; lupa berdoa syukur dan terbawa loba kufur. Na’dzubillaahi min dzaalik.

Asyhadu anlaa ilaaha illallaah astaghfirullaah. Nasalukal-jannata wa na’udzu bika minan-naar.(*)

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.