03 April 2025

Get In Touch

Koalisi itu Semula Gagah, Kemudian Lelah...

Ketua Umum Partai Golkar, PAN, PKB, dan Gerindra berkoalisi dukung Prabowo Subianto sebagai capres pada Pemilu 2024 di Museum Naskah Proklamasi, Jakarta, Minggu (13/8/2023) -Ant
Ketua Umum Partai Golkar, PAN, PKB, dan Gerindra berkoalisi dukung Prabowo Subianto sebagai capres pada Pemilu 2024 di Museum Naskah Proklamasi, Jakarta, Minggu (13/8/2023) -Ant

KOLOM (Lenteratoday) -Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dibentuk Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada awal Juni 2022 sangat gagah. Kini seolah lelah karena perbedaan pilihan politik.

Golkar dan PAN mendeklarasikan dukungan untuk Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra, sebagai bakal calon presiden (capres) 2024 di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta, Minggu (13/8/2023).

Pernyataan dukungan yang diikuti penandatanganan kerja sama politik itu menandai bergabungnya kedua partai ke koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang didirikan Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pertengahan Agustus tahun lalu.

PPP lebih dulu menentukan sikap berbeda. Empat bulan sebelumnya, di tengah belum adanya keputusan dukungan dari KIB, partai berlambang ka’bah itu mendukung bakal capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ganjar Pranowo.

Tak hanya menyampaikan dukungan, PPP juga menyepakati kerja sama dengan PDI-P dan menindaklanjutinya dengan serangkaian kegiatan terkait persiapan pencalonan dan pemenangan Ganjar hingga saat ini.

Sebelum PPP memutuskan sikap berbeda, KIB berjalan sebagai koalisi tanpa ikatan sosok bakal capres/cawapres yang akan diusung selama 10 bulan.

Para elite ketiga partai politik (parpol) berdalih, ini merupakan tradisi baru dalam berpolitik, yakni menyatukan diri di bawah visi, misi, platform, dan program yang bakal dirumuskan bersama. Setelah rumusan itu tuntas, koalisi baru akan mencari sosok yang tepat untuk menjalaninya.

Namun, peta politik berubah ketika Megawati mengumumkan pencalonan Ganjar pada 21 April lalu. Berselang lima hari setelahnya, PPP mendeklarasikan dukungan untuk Ganjar secara daring, karena masih dalam suasana perayaan Idul Fitri.

Pascapernyataan sikap PPP, Golkar dan PAN mengupayakan banyak hal. Mulai dari mewacanakan skenario pembentukan koalisi besar yang menyatukan sejumlah parpol anggota koalisi pemerintahan.

Gagasan membentuk poros baru dengan mengusung Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sebagai pasangan bakal capres/cawapres pun pernah dijadikan opsi.

Koalisi itu bubar dengan sendirinya setelah deklarasi PAN dan Golkar yang mengusung Prabowo Subianto sebagai capres, sedangkan PPP memilih bergabung dengan PDI Perjuangan mengusung Ganjar Pranowo.

Bagi PAN, keputusan mendukung Prabowo sebagai capres seolah melanjutkan tradisi yang sudah dijalankan sejak 2014. Partai berlambang matahari terbit itu konsisten mengusung Prabowo dalam Pilpres 2014, Pilpres 2019, dan menuju Pilpres 2024.

Langkah PAN juga mengakhiri kalkulasi yang sempat disusun untuk melahirkan poros keempat dengan mengusung kandidat presiden bersama dengan Partai Golkar.

Pilihan PAN, termasuk Golkar untuk mencalonkan Prabowo sebagai kandidat presiden tentu berdasarkan kalkulasi realistis. Kedua parpol itu mempertimbangkan elektabilitas Prabowo yang saat ini terus menguat dalam berbagai survei publik.

Apalagi, Prabowo sudah malang melintang mengikuti kontestasi Pilpres. Di antara sosok tiga capres dengan elektabilitas tertinggi selain Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, Prabowo menjadi satu-satunya tokoh yang sudah bertarung di tiga Pilpres.

Prabowo tercatat pernah bertarung di Pilpres 2009 saat menerima pinangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, lalu Pilpres 2014 sebagai capres berpasangan dengan Hatta Rajasa dan Pilpres 2019 menggandeng Sandiaga S. Uno.

Nama Prabowo juga tak pernah terlempar dari daftar teratas kandidat Presiden sejak 2009, meski nama-nama kandidat baru silih berganti.

Perjalanan menuju Pilpres 2024 cenderung tidak seriuh Pilpres 2014. Sejauh ini, belum ada tokoh politik yang popularitasnya benar-benar kuat seperti halnya Jokowi ketika pertama kali muncul, baik saat menuju Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012 maupun Pilpres 2014.

Nama Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) yang diusung sebagai capres oleh PDI Perjuangan dan digambarkan sebagai penerus Jokowi, tidak banyak memunculkan gerakan publik dan melahirkan euforia seperti halnya ketika rakyat menyambut Jokowi.

Sampai saat ini, basis pemilih Jokowi yang mendukungnya di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, belum sepenuhnya bulat memberikan suara kepada Ganjar Pranowo. 

Pilihan Jokowi lovers terbelah, antara mendukung Ganjar atau memilih Prabowo, rival Jokowi di dua pilpres terakhir. Jika bicara basis suara pemilih di Pilpres, Prabowo praktis memiliki modal yang sudah sangat terukur. Dalam dua pilpres terakhir, pilihan masyarakat kepada Prabowo cukup solid. 

Pada Pilpres 2014, Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa mengantongi 62 juta suara pemilih. Lalu, pada Pilpres 2019, suara Prabowo yang bergandengan dengan Sandiaga S. Uno memperoleh dukungan sebanyak 68 juta.

Dengan kata lain, modal suara Prabowo sangat terjaga. Setidaknya, apabila Prabowo lancar menuju Pilpres 2024, sekitar 50 juta—60 juta suara pemilih sudah masuk ke kantongnya. Tantangannya, seberapa mampu Prabowo dan koalisinya meyakinkan publik untuk mendapatkan tambahan suara baru.

Satu-satunya wajah baru di koalisi Prabowo menuju Pilpres 2024 adalah PKB pimpinan Muhaimin Iskandar. Dalam dua Pilpres sebelumnya, PKB mengusung Joko Widodo sebagai capres dan mampu memenangi kontestasi.

PKB yang sejak awal berkoalisi dengan Gerindra percaya diri bahwa Prabowo akan meminang Muhaimin Iskandar sebagai pendamping. Satu sisi, PKB masih membuka peluang koalisi dengan parpol lain termasuk berkomunikasi dengan partai penguasa, PDI Perjuangan.

PKB secara elektoral memang cukup diperhitungkan untuk menambah tumpukan suara.  Pada Pemilu 2019, PKB meraih sekitar 13,5 juta suara, menempati peringkat keempat peraih suara tertinggi.

Persoalannya, Muhamin Iskandar tidak cukup populer di mata pemilih untuk dipilih sebagai capres maupun cawapres meski beragam manuver sudah dilakukannya.

Indikator Politik Indonesia dalam survei elektabilitas capres-cawapres yang dirilis pada Juni 2023, mencatat tingkat keterpilihan (elektabilitas) Gus Ami—panggilan Muhaimin Iskandar— hanya 0,6 persen. Sosok Muhaimin bahkan kalah populer dibandingkan dengan tokoh Nahdliyin lainnya seperti Mahfud Md (11,8 persen) dan Khofifah Indar Parawansa (2,5 persen).

Nasib Golkar

Pilihan politik Partai Golkar yang mendukung Prabowo muncul di saat situasi internal partai berlambang beringin itu sedang bergejolak. Golkar seperti mengulang lagi sejarah ‘perpecahan’ internal menjelang Pemilu. 

Pada pemilu 2004, misalnya Golkar yang saat itu megusung kandidat presiden pemenang konvensi yakni Wiranto dan Sholahuddin Wahid, tak dapat bersaing dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. 

Demikian halnya dengan Pilpres 2014. Saat itu, Golkar yang dipimpin Aburizal Bakrie menjatuhkan dukungan kepada Prabowo Subianto. Di satu sisi, Jusuf Kalla digandeng oleh Joko Widodo sebagai cawapres dan memenangi Pilpres 2014. Pada masa-masa pemerintahan Jokowi-Kalla pada 2014—2019, dinamika di Golkar sempat panas.

Golkar lebih stabil di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto. Bahkan, keputusan untuk mendukung Prabowo sebagai capres, memang tak lepas dari adanya tekanan internal supaya partai itu segera menentukan arah koalisi dan dukungan terhadap capres.

Padahal, putusan Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar pada 2019, menetapkan Airlangga Hartarto sebagai capres 2024 dari partai itu.

Akan tetapi, Golkar terlihat realistis dengan posisi ketua umumnya yang tak memiliki elektabilitas tinggi untuk menyaingi Ganjar, Prabowo, maupun Anies. 

Nama Jokowi masih disebut

Prabowo Subianto menyebut Presiden Joko Widodo tidak campur tangan dengan urusan partai, termasuk saat bergabung-nya Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang mendeklarasikan dirinya sebagai bakal calon presiden di Pemilu 2024.

"Presiden Jokowi tidak campur tangan sama sekali. Saya kira itu yang ingin saya tegaskan," ujar Prabowo usai deklarasi dukungan Partai Golkar dan PAN, Minggu.

Prabowo mengatakan sosok Jokowi sebagai orang yang demokratis, dan menghormati independensi serta hak setiap partai politik.

Sehingga, kata dia, deklarasi PAN dan Golkar bergabung dengan Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mengusung Prabowo sebagai bakal calon presiden tidak ada campur tangan dari Jokowi.

Betul sekali para jurnalis menulis: meski tak pernah dibubarkan secara resmi, Koalisi Indonesia Bersatu itu semula gagah, namun kemudian lelah. Dan berhenti di tengah jalan (*)

Editor: Arifin BH, dari berbagai sumber

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lentera Today.
Lentera Today.