
FUKUSHIMA (Lenteratoday)-Jepang mulai membuang air limbah dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima-Daiichi ke laut. Protes pun mengalir baik di dalam maupun luar negeri dari komunitas nelayan dan pihak lain yang khawatir akan dampak lingkungan. Bahkan lara pengunjuk rasa berkumpul di Seoul, Korsel, pada Sabtu (26/8/2023), untuk menuntut pemerintah mengambil langkah-langkah menghindari potensi bencana.
Siketahui, setiap harinya, sekitar 100.000 liter –setara 26.500 galon– air yang terkontaminasi dikumpulkan di lokasi yang terletak di timur laut Jepang. Air itu berasal dari pendingin reaktor pembakit listrik tenaga nuklir yang rusak, serta air tanah dan hujan.
Kini, sekitar 1,34 juta ton limbah sudah terkumpul dan disimpan di dalam seribu kontainer baja di lokasi tepi pantai. Langkah ini dilakukan menyusul keputusan Jepang pada 2021 untuk membuang sekitar 500.000 liter limbah per hari ke laut melalui pipa sepanjang satu kilometer.
Pihak operator pabrik TEPCO mengatakan sistem penyaringan khusus yang disebut ALPS telah menghilangkan semua unsur radioaktif termasuk cesium dan strontium, kecuali tritium. TEPCO juga mengeklaim telah mengencerkan air yang terkontaminasi dan mengurangi tingkat radioaktivitas (tritium) hingga 1.500 becquerel per liter (Bq/L), jauh di bawah standar keamanan nasional sebesar 60.000 Bq/L.
Apakah Berbahaya?
Menurut Tony Hooker, pakar nuklir dari Adelaide University, tingkat tritium tersebut jauh di bawah standar WHO, yakni 10.000 Bq/L sehingga tidak akan membahayakan lingkungan laut.
“Tritium secara rutin dilepaskan dari fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir ke perairan di seluruh dunia,” kata Hooker kepada AFP.
Senada dengan Hooker, pengawas atom PBB, International Atomic Energy Agency (IAEA), mengatakan pelepasan limbah tersebut telah memenuhi standar internasional sehingga tidak akan menimbulkan kerusakan apa pun terhadap lingkungan.
Namun, tidak semua setuju dengan penyataan tersebut. Greenpeace, misalnya, mereka mengatakan bahwa teknologi yang digunakan untuk menyaring air limbah masih memiliki kelemahan. Greenpeace juga menuding IAEA telah mengabaikan puing-puing bahan radioaktif yang meleleh dan mencemari air tanah setiap harinya.
“(Melepaskan) limbah ini ke laut akan berdampak pada seluruh planet. Jepang dengan sengaja menyebarkan unsur-unsur radioaktif,” kata Yukio Kanno, seorang warga Fukushima, yang protes akan kebijakan pemerintahnya membuang limbah nuklir ke laut.
Bukan hanya Greenpeace, China juga geram dengan apa yang dilakukan Jepang kali ini. Mereka menuding Jepang telah memperlakukan Pasifik sebagai saluran pembuangan. Negara Tirai Bambu bahkan melarang impor makanan dari 10 prefektur Jepang dan memberlakukan uji radiasi ketat pada makanan yang diimpor dari Jepang.
Bagaimana dengan Korea Selatan? Meski Pemerintah Seoul tidak keberatan, banyak warga Korea Selatan yang khawatir dan melancarkan protes keras. Saking khawatirnya, tak sedikit masyarakat Korea Selatan yang melakukan punic buying garam laut.
Kekhawatiran tampaknya tidak hanya dirasakan warga Korea Selatan, beberapa perusahaan penghasil ikan asal Jepang juga khawatir ekspornya akan anjlok karena konsumen menghindari makanan laut yang berasal dari negaranya.
Pemerintah Jepang sudah melakukan berbagai sosialisasi baik di dalam maupun luar negeri kepada mereka yang khawatir akan bahaya limbah nuklir ini. Sosialisasi ini dilakukan lewat berbagai media, seperti studi wisata Fukushima hingga video streaming yang memperlihatkan ikan hidup dengan aman di air limbah.
Saat ini, salah satu tugas berat Jepang bukan hanya meyakinkan penduduk dunia, mereka juga dihadapkan dengan puing-puing radioaktif dan bahan bakar nuklir yang sangat berbahaya dari tiga reaktor di Fukushima-Daiichi yang hancur oleh tsunami pada 2011.
TEPCO berencana menggunakan robot untuk menghilangkan bahan bakar di sana, tapi ada kekhawatiran tingkat radiasi yang sangat tinggi dan dapat melumpuhkan mesin yang dikendalikan dari jarak jauh.(*)
Sumber: reuters,ist/Editor: widyawati