
SURABAYA (Lenteratoday) - Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berkolaborasi dengan berbagai pihak diantaranya RPH, Kepolisian, Satpol PP, dan PPNS untuk melakukan pengawasan peredaran daging gelonggongan di Kota Surabaya.
Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) Kota Surabaya Antiek Sugiharti pada Jumpa Pers Antisipasi Daging Glonggongan pada Selasa (29/8/2023) di Kantor Diskominfo Surabaya.
"Jika ditemukan lagi, ada proses yang bisa kita lakukan. Kalau PPNS bisa melakukan penyidikan. Kemudian bisa berkolaborasi dengan kepolisian, karena kan itu sudah melanggar, dan ketentuannya sudah ada pidananya. Maka kita berharap dari kepolisian juga bisa ikut memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku," ungkap Antiek.
Ia mengungkapkan, selama ini telah melakukan pengawasan ke pasar-pasar baik tradisional maupun modern. Meski begitu, ia perlu mengevaluasi kembali. Karena ia mengungkapkan, biasanya pihaknya melakukan pengawasan di pasar saat pagi hari, dan di Rumah Potong Hewan (RPH), pada saat pemotongan. Sedangkan distribusi daging gelonggongan terjadi di sela-sela itu.
"Sehingga perlu pengetatan kami, pengawasan diintensifkan lagi," ungkapnya.
Menurutnya, peredaran daging sapi gelonggongan ini menimbulkan kerugian bagi konsumen. Hal tersebut dikarenakan ada ketidaksesuaian kualitas pada daging gelonggongan, yang berdampak pada kesehatan dan keselamatan konsumen ketika dikonsumsi. Ia mengungkapkan bahwa pada daging sapi gelonggongan mengandung kadar air tinggi yang dapat mempercepat pembusukan daging, serta merusak protein yang terkandung dalam daging.
Selain itu, apabila mengonsumsi daging gelonggongan, konsumen dapat terkena gangguan kesehatan seperti diare, karena daging gelonggongan sudah terkontaminasi oleh bakteri. Ciri-ciri daging sapi gelonggongan sendiri biasanya daging terlihat basah karena terdapat relatif banyak cairan pada permukaan daging.
“Cairan tersebut berasal dari daging yang berwarna kemerahan. Jika daging diletakkan di atas permukaan maka akan ditemukan cairan berwarna kemerahan di sekitar daging. Berat daging juga menyusut,” tegasnya.
Antiek juga memastikan bahwa praktik penggelonggongan sapi merupakan pelanggaran kesejahteraan hewan dan melanggar UU no. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, serta KUHP Pasal 302. Selain itu, praktik pelaku usaha yang mengedarkan produk hewan yang tidak memenuhi persyaratan hygiene sanitasi (daging gelonggongan) melanggar UU no. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan dapat dipidana penjara paling lama 2 tahun atau paling banyak Rp 4 miliar.
“Jadi, saya mohon kepada para pedagang dan para pelaku praktik penggelonggongan untuk berhenti melakukan praktiknya di Kota Surabaya, sebab itu sangat merugikan konsumen,” ujarnya.
Tak hanya memohon pada pedagang untuk berhenti melakukan praktik ini, namun ia juga berharap kepada warga Kota Surabaya untuk berhati-hati dalam memilih daging yang akan dikonsumsi. Bahkan ia juga berharap kepada semua pihak dan warga Kota Surabaya untuk ikut mengawasi dan melaporkan apabila di lapangan ditemukan daging gelonggongan itu.
“Jika warga menemukan peredaran daging gelonggongan itu silahkan laporkan kepada kami melalui kanal https://dkpp.surabaya.go.id/kontak. Nanti kita akan tindaklanjuti,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur RPH Surabaya Fajar A. Isnugroho yang juga hadir dalam jumpa pers ini menceritakan temuan daging gelonggongan di Pegirian. Sebenarnya, awalnya ada laporan dari konsumen yang kemudian ditindaklanjuti di lapangan. Ternyata, pada saat melakukan pengawasan rutin, pihaknya menemui ada daging yang diduga gelonggongan, sehingga dia pun langsung melaporkan kepada sejumlah pihak, terutama pihak DKPP.
“Alhamdulillah temuan itu ditindaklanjuti hingga dilakukan tes laboratorium dan hasilnya belum keluar. Insyaallah besok baru keluar. Pada prinsipnya, kami siap support DKPP apa saja yang diperlukan,” kata Fajar.
Baginya, yang terpenting adalah pihaknya selalu melindungi konsumen Surabaya. Sebab, daging dari RPH yang terkenal baik itu ternyata di lapangan bercampur dengan daging dari luar Surabaya, yang belum tentu terjamin proses pemotongannya, kehalalannya, serta kualitasnya.
“Ini kan sama saja dengan membohongi konsumen Surabaya, makanya di sini kami bertindak proaktif dan berharap ke depan tidak ada lagi kejadian serupa,” pungkasnya.(*)
Reporter : Jannatul Firdaus/ Editor: widyawati