Setahun Kehilangan Anak pada Tragedi Kanjuruhan, Kholifah: Saya Lari ke Makam Kalau Rindu...

MALANG (Lenteratoday) – Kholifah (54) seorang ibu yang kehilangan anaknya, Mitha Maulidia (26) dalam peristiwa tragis Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 lalu. Menjadi salah satu keluarga korban meninggal dari peristiwa tersebut, Kholifah mengaku masih sering terbayang akan sosok anaknya.
Warga Kecamatan Klojen, Kota Malang ini, mengaku hampir setiap hari selalu mengunjungi makam sang anak, yang hanya berjarak 300 meter dari kediamannya.
"Tapi saya bersyukur makamnya dekat, setiap hari mau itu pagi, sore, saya sempatkan ke makam. Kadang sampai tiga kali kalau pas kangen, saya lari ke makam. Kalau tiba-tiba ingat, saya lari, nangis, lari ke makam," ujar Kholifah saat dikonfirmasi awak media, Sabtu (30/9/2023).
Selain kerinduan yang tak terobati. Kholifah juga mengakui ada perubahan signifikan pada kesehariannya. Pihaknya menceritakan bahwa saat ini, sudah tidak ada lagi kegiatan sehari-hari yang biasanya selalu dikerjakan dengan almarhumah anaknya. Dengan mata berkaca-kaca, Kholifah menyebut bahwa kehilangan sosok Mitha, telah menguras kebahagiaan yang pernah ada dalam keluarganya.
"Gimana ya, anak perempuan sama laki itu nggak sama. Kalau ada masalah, kita curhat sama anak perempuan. Terus sekarang juga sudah nggak ada lagi masak-masak, makan pun seadanya. Nggak kayak dulu, kami sering bikin bakso sendiri, pangsit sendiri, semua bikin sendiri nggak pernah beli, sekarang enggak," ungkapnya dengan nada sedih.
Di sisi lain, meskipun satu tahun telah berlalu. Kholifah mengaku hanya bisa pasrah dan berharap pada konsistensi pemerintah dalam menangani persoalan hukum terkait tragedi ini. "Saya nggak berharap banyak terhadap keadilan, berharap sama pemerintah yakni kebijakan, kalau keadilan saya enggak begitu banyak berharap, nggak mungkin adil. Nggak mungkin ada keadilan, kalau menurut saya pribadi," serunya.
Di sisi lain, Tragedi Kanjuruhan juga turut mengundang analisis dari Malang Corruption Watch (MCW). Koordinator MCW, Adi Susilo, mengungkapkan bahwa pasca tragedi Kanjuruhan, banyak gerakan yang menuntut keadilan bagi korban. Namun, menurutnya terdapat aspek lain yang juga perlu diperhatikan, yakni perlindungan dan bantuan bagi korban.
Adi menyebut, berdasarkan hasil pantauan MCW pada bulan April -- Mei 2023, mengindikasikan bahwa bantuan yang diterima oleh keluarga korban belum mencapai tingkat maksimal.
"Berbagai macam bantuan atau tali asih memang tidak maksimal. Jadi kurang lebih dalam penelitian kami, ada kesimpulan bahwa penilaian masyarakat umum bahwa korban telah dapat banyak bantuan, rupanya tidak terbukti. Nyatanya bantuan kurang maksimal," ujar Adi.
Adi menambahkan, kepastian pelaku kejahatan untuk mendapatkan sanksi yang setimpal dengan perbuatannya, merupakan prioritas dalam penuntutan kasus ini. Namun, pihaknya menilai bahwa para keluarga korban merasa proses penyelidikan dan penuntutan terhadap pelaku belum dilakukan dengan tuntas.
Selain itu, Adi juga mencatat bahwa ketidakadilan ini, disebabkan oleh kurangnya alokasi anggaran yang jelas untuk korban tragedi Kanjuruhan. "Ketidakpastian ini juga terjadi di tingkat pemerintah daerah. Mayoritas bantuan baru disalurkan setelah tragedi, tanpa penekanan yang cukup pada pemulihan jangka panjang." tutupnya.
Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH