16 April 2025

Get In Touch

DPR RI : Reformasi Kultur dan Struktur Manajemen SDM Sektor Hukum Mendesak Dilakukan

Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta (kanan) - dok DPR RI
Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta (kanan) - dok DPR RI

JAKARTA (Lenteratoday) - Komisi III DPR RI menilai reformasi kultur dan struktur di manajemen sumber daya manusia (SDM) khususnya di sektor hukum mendesak untuk dilakukan.

Sebab, penegakan hukum dan keadilan merupakan harapan terakhir masyarakat terhadap kekuasaan dan pemerintahan. Untuk itu, budaya organisasi dan SDM harus diarahkan pada keadilan, transparansi, profesionalisme, akuntabilitas, dan mengutamakan integritas.

"Oleh karena itu, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang dapat memberikan teladan dan tegas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya secara bersih dan tidak pandang bulu serta lebih responsif dan berorientasi pada layanan publik," kata Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta, dikutip dari laman parlemen, Sabtu (9/3/2024).

Selain itu, pelaksanaan mekanisme atau sistem layanan di sektor penegakan hukum kurang responsif dan berkualitas. Karena masih adanya praktek mafia hukum, sektor penegakan hukum masih kental dengan rendahnya kualitas dan responsivitas yang ditandai dengan menurunnya tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat.

Sebagai contoh indikasi, kata I Wayan, penerimaan pengaduan terkait dengan implementasi layanan sistem penegakan hukum di tahun 2023 sangat tinggi. Sistem pengaduan masyarakat di DPR terkait penegakan hukum masyarakat, banyak masyarakat mengeluhkan kurang profesional dan responsifnya implementasi mekanisme penegakan hukum (sekitar 70 persen).

Namun di satu sisi, institusi penegak hukum tampak lebih responsif jika kasus tersebut telah viral atau menyangkut kepentingan tertentu. “Sistem penegakan hukum ini harus mampu meningkatkan responsivitas layanan publik,” ujar Wayan.

Namun demikian, ia mengingatkan, jangan sampai hal itu disalahartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kecepatan dalam penanganan perkara hingga selesai saja atau tidak memperhatikan kualitas keadilan dan kemanfaatannya.

Refleksi ketiga terkait dengan independensi dan netralitas sistem peradilan dan penegakan hukum. Kata dia, saat ini banyak undang-undang yang telah lahir, baik di sektor materiil (seperti KUHP, UU Narkotika, UU ITE, UU Tipikor), maupun kelembagaan (UU Pemasyarakatan, UU Kejaksaan, UU Imigrasi) dan lain-lainnya yang terkait dengan penegakan hukum.

Di level kebijakan hampir seluruh celah menjadi pembahasan dan disikapi dengan aturan untuk membatasi atau mengeliminasinya. Akan tetapi, dalam implementasinya, sistem penegakan hukum masih sangat terpengaruh dengan kekuasaan atau kepentingan politis tertentu, yang seolah mencerminkan negara kekuasaan.

“Seperti contohnya, terakhir kita melihat fenomena adanya gangguan pada kekuasaan kehakiman pada Mahkamah Konstitusi yang tercemar akibat oknum tertentu yang mencoba untuk melebarkan pengaruh kekuasaan dan jabatannya,” ujar Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.

Kemudian bagaimana seorang Jenderal Polisi memengaruhi seluruh instansi terkait untuk mencoba mengaburkan fakta dan alat bukti yang memberatkannya. Wayan menilai dalam implementasi Undang-Undang, terlihat banyaknya celah yang kemudian disikapi dengan sikap kurang profesional dan netral atau dengan kata lain memihak kepada kekuasaan tertentu.

Oleh sebab itu, banyak kajian akademis maupun opini masyarakat yang terlihat di berbagai media, memperlihatkan ketidakpuasan masyarakat akan sistem peradilan atau penegakan hukum.

“Pada akhirnya media lebih menguasai dan memengaruhi responsivitas dan hasil dari penanganan perkara dalam sistem peradilan,” ujar Wayan.

Persoalan ini merupakan salah satu fenomena eksploitasi demokrasi yang harus sangat diwaspadai, dimana seharusnya sistem penegakan hukum menjadi penyeimbang sekaligus pelindungnya. Banyak hal yang memengaruhi perilaku dan sistem yang di lapangan, khususnya terkait dengan perilaku korupsi. Penyebabnya dimulai dengan masih adanya intervensi atau yang lebih dikenal sebagai “orang dalam”.

Selain itu masih adanya perilaku kekuasaan yang menyimpang, kentalnya budaya kolusi dan suap, kurangnya pengawasan dan teladan kepemimpinan, dan transparansi dan akuntabilitas belum terlaksana sepenuhnya.

“Inilah yang paling perlu untuk diketahui dan diperbaiki oleh para pemimpin bangsa ini,” ujar Wayan Sudirta mengutip pendapat James Walsh, IMF, 2010.

Lebih lanjut, Wayan mengatakan program pemerintah dalam mereformasi kelembagaan atau struktural harus juga didahului atau dibarengi dengan reformasi sosio-budaya. Ia sependapat dengan pandangan yang disampaikan Yudi Latif untuk mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila.

Oleh sebab itu, Wayan mencoba melihat upaya perubahan ini secara implementatif dan realistis bahwa dalam mengubah suatu sistem pemerintahan dan keadaan sosial masyarakat.

Menurutnya, setidaknya perlu dilakukan perubahan terhadap kultur untuk modernisasi dan integritas di samping melakukan perubahan secara sosio-ekonomi dan perubahan kelembagaan sesuai dengan prinsip demokrasi.

Wayan menegaskan perubahan ini merupakan urgensi atau prioritas mengingat perubahan perilaku kultur dan etika serta pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat penting dalam mengubah perilaku sosial dan pembangunan demokrasi.

“Semoga di tahun 2024, perubahan ini dapat dibangun dan ditanamkan sehingga dapat berdampak pada fondasi dan perbaikan sistem penegakan hukum yang modern secara jangka panjang,” demikian Wayan Sudirta. (*)

Reporter : Sumitro | Editor : Lutfiyu Handi

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.