
SURABAYA (Lenteratoday) -Saat mendengar nama Jepang, yang terlintas di benak banyak orang adalah sebuah negara maju yang bersih, tertata rapi, aman, dan serba teratur.
Masyarakat Jepang juga dikenal memiliki budaya disiplin dan etos kerja tinggi, dengan penguasaan teknologi dan industri kreatif.
Karena itu, wajar jika negara yang dijuluki "Negeri Sakura" tersebut menjadi percontohan bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Namun demikian, di tengah pesatnya kemajuan negara tersebut, ternyata Jepang memiliki kota kumuh. Kota tersebut bernama Kamagasaki yang terletak di Osaka Selatan, di wilayah bernama Nishinari-ku.
Dikatakan kumuh karena banyak bangunan tak terawat, sampah berserakan di mana-mana dan Kamagasaki juga menjadi rumah bagi para tunawisma dan pengangguran.

Pada tahun 2008, The Guardian melaporkan, Kamagasaki merupakan rumah bagi sekitar 25.000 pekerja harian yang sebagian besar sudah lanjut usia, sekitar 13.000 di antaranya adalah tunawisma.
The Guardian juga merilis sejumlah foto kondisi orang-orang yang tinggal di perkampungan kumuh tersebut. Foto tersebut memperlihatkan kontrasnya kehidupan antara Kamagasaki dan kota-kota lain di sekitarnya.
Asal mula Kamagasaki
Dikutip dari skdesu.com, Kamagasaki sebenarnya merupakan nama lama yang digunakan sejak tahun 1922 hingga 1966. Saat ini, nama kota kumuh tersebut berganti menjadi Airin-chiku.
Kamagasaki awalnya merupakan kota yang dikhususkan bagi para pekerja proyek Shinsekai. Setelah proyek tersebut selesai dibangun, pemerintah Osaka pun meminta agar para buruh ini kembali ke daerahnya masing-masing.
Faktanya, banyak buruh yang justru menolak dan memilih tinggal di Kota Kamagasaki. Akibatnya, kota ini dihuni oleh banyak sekali pendatang yang akhirnya menjadi sarang bagi para penganggur dan gelandangan.
Kamagasaki dihapus dari peta
Karena itu, untuk menutupi kawasan kumuh tersebut, Pemerintah Jepang sengaja menghapus Kamagasaki dari peta.
Tujuannya agar tidak ada wisatawan yang berkunjung ke lokasi itu.
Selain itu, tingkat kebersihan yang kurang baik, seprti dikutip Kompas, kehidupan masyarakat yang tidur di sembarang tempat juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk meniadakan daerah ini dari peta (*)
Editor: Arifin BH