
SURABAYA (Lenteratoday) - Hari media sosial diperingati setiap tanggal 10 Juni, perayaan yang sudah berlangsung sejak 2015 ini. Bertujuan meningkatkan kesadaran dan memberikan edukasi, bermedia sosial kepada masyarakat.
Mengenai peringatan tersebut, Pakar Universitas Airlangga, Dr Listiyono Santoso MHum memberikan pandangannya terkait etika bermedia sosial. Menurutnya, etika bermedia sosial publik Indonesia, masih sangat memprihatinkan.
“Menurut saya perlu mendapatkan perhatian. Masyarakat belum bisa membedakan sesuatu antara urusan privat dan publik,” ucapnya, Senin(10/6/2024).
Dosen Etika FIB Unair ini menjelaskan bahwa media sosial itu sifatnya publik, untuk itu masyarakat harus memperhatikan ketentuan etis yang sifatnya publik.
“Kalau sesuatu persoalan privat jangan masuk atau terunggah dalam media sosial. Ini yang sering terjadi di masyarakat kita, memasukkan ranah privat ke ranah publik,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Listiyono mencontohkan cara bermedia sosial yang salah dan kerap terjadi di publik Indonesia. Misalnya, konflik keluarga dan konflik antar individu yang kerap masuk atau terunggah dalam media sosial.
“Ini yang seringkali muncul di masyarakat kita dan butuh edukasi literasi media sosial, biar tahu mana urusan dalam ranah privat dan mana urusan dalam ranah publik,” tambahnya.
Sementara terkait fenomena buzzer atau pendengung, Wakil Dekan I FIB Unair ini mengatakan bahwa fenomena tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Menurutnya, buzzer sengaja hadir untuk menciptakan framing kondisi tertentu, untuk menyudutkan kelompok tertentu.
“Masyarakat kalau memiliki literasi bermedia sosial yang baik, maka akan bisa membedakan mana yang sesuai realitas dan mana yang sengaja tercipta dengan tujuan tertentu,” ucapnya.
Untuk itu, ia berpesan kepada publik agar bermedia sosial dengan bijak dan menggunakan media sosial sebagai ruang publik yang memberikan informasi yang edukatif.
“Mari kita gunakan media sosial yang arif dan bijaksana,” tukasnya.
Reporter:Amanah/Editor:Ais