01 May 2025

Get In Touch

Derita dan Trauma Akibat Bencana Semeru Terkikis Sinergitas Bersama

Kondisi rumah warga di Dusun Curah Kobokan yang rusak diterjang material dari erupsi Gunung Semeru pada 2021 lalu. Foto screenshot youtube lutfi hans
Kondisi rumah warga di Dusun Curah Kobokan yang rusak diterjang material dari erupsi Gunung Semeru pada 2021 lalu. Foto screenshot youtube lutfi hans

Bencana Itu Datang

LUMAJANG (Lenteratoday) - Hari itu, Sabtu tanggal 4 Desember 2021, sekitar pukul 14.00 WIB, Samsul Arifin memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya sebagai penambang pasir di salah satu aliran sungai tak jauh dari rumahnya di Dusun Curah Kobokan, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Setelah membereskan semua peralatan kerjanya, Samsul segera beranjak menuju sepeda motor kemudian menyalakan mesin.

Tak berselang lama, Samsul sudah sampai di rumah dan bertemu dengan keluarganya. Istri dan tiga anaknya sedang melakukan aktifitas mereka seperti biasa. Kondisi lingkungan sekitar yang masih cerah, membuat pikiran dan perasaan mereka juga cerah, dan tidak memiliki firasat apapun saat itu.

Dengan santainya, Samsul melepas lelah habis bekerja. Dia beristirahat sebentar di rumah sederhananya. Tak lama kemudian, setelah merasa cukup beristirahat, Samsul menuju kamar mandi untuk memberishkan diri. “Kondisi masih belum ada apa-apa dan masih terang,” kata Samsul menceritakan apa yang dialami pada 4 Desember 2021 lalu.

Samsul yang ditemui di balai warga di kawasan hunian tetap (Huntab) Bumi Semeru Damai (BSD) Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Selasa (17/9/2024), meneruskan ceritanya. Setelah mandi, dia berencana untuk berkunjung ke rumah ibunya di desa Sumbermujur.

“Waktu jam setengah tiga (Pukul 14.30 WIB), saya diam, dan saat itu ada motor kenceng banget di jalan depan rumah. Motor kenceng banget kalau jatuh lak meninggal, kalau nabrak orang sini juga dibunuh sama orang sini, kalau buru-buru kenapa kok tidak berangkat kemarin, itu pikiran saya dari dalam rumah,” katanya.

Tak lama setelah adanya motor yang melaju kencang itu, tiba-tiba Samsul mendengar teriakan dari luar rumah, “Semeru meletus, semeru meletus”. Secara reflek, Samsul berlari keluar, saat itulah dia sudah melihat gulungan asap dari gunung Semeru yang sudah masuk ke wilayah desanya. “Saya sempat video (memvideo) dari depan rumah. Soalnya asap itu ada di desa saya, gunung Sawur dulu yang banyak (asap),” ceritanya.

Setelah memvideo kepulan awan panas guguran (APG) dari Gunung Semeru, Samsul masuk ke dalam rumah. Namun, hanya berselang beberapa saat saja, kondisi sekitar rumah mendadak menjadi gelap. Bahkan, suasana gelap itu dengan cepatnya masuk ke dalam rumah dan menyebabkan jarak pandang semakin terbatas.

Sambil duduk bersila, Samsul menceritakan ketika itu perasaannya menjadi penuh dengan kegelisahan dan kekhawatiran, dia berusaha mencari istri dan anaknya dengan menerobos kegelapan. Suasana gelap di dusun Corah Kobokan itu semakin parah terlebih lagi aliran listrik padam, sehingga nyaris tidak ada alat menerangan yang digunakan.

“Saya sama sekali tidak melihat, saya tidak melihat keluarga saya. Kamu di mana ? saya di sini, udah kamu diam di kamar. Saya pak, mencari keluarga itu gelap dan tidak kelihatan sama sekali,” ceritanya sambil mengarahkan jarinya di depan wajah dan mengatakan, “Kita gak lihat apa-apa sama sekali, gelap, itu (jam) setengah tiga sore. Jarak segini saja, jari saya ini tidak kelihatan”.

Setelah mengetahui keberadaan tiga anak dan istrinya, Samsul mengaku sedikit lega. Meski demikian, di satu sisi dia merasa peristiwa itu adalah akhir dari segalanya. “Ini kiamat, saya bilang gitu. Apa yang kamu bisa, kamu baca, baca!” cerita Samsul kala meminta anak dan istrinya membaca doa-doa dan ayat Suci Al Quran yang mampu dibaca untuk mendapatkan pertolongan Tuhan.

Meski demikian, Samsul masih berfikir untuk menyelamatkan diri dan keluarganya. Di tengah kegelapan, bapak tiga anak ini mencari alat menerangan dan berhasil menemukan dua senter. Baru setelah itu, dia mencari sepeda motornya untuk menjadi alat lari keluar dari rumah dan desanya bersama keluarga. Dia pun mengumpulkan anak-anak dan istrinya.

“Saya, satu motor itu diisi orang lima. Dan jarak pandang hanya setengah meter, itu pun (dengan) lampu motor sama senter dua, selain dari ini tidak kelihatan. Jarak pandang tidak sampai satu meter karena gelapnya beda dan waktu itu gelapnya campur asap dan abu, juga hujan,” kisahnya.

Parahnya lagi, kata Samsul, APG yang keluar dari Gunung Semeru itu hangat dan cenderung panas. Untungnya, Samsul dan anak-anak serta istrinya masih sempat mengenakan pakaian berlapis. “Waktu itu saya pakai kaos, pakai jaket, pakai mantel…satu keluarga pakai itu,” katanya.

Meski demikian, Samsul masih mengaku merasakan panasnya APG berupa abu vulkanik saat jatuh ke punggungnya. Untungnya, dlam waktu bersamaan juga turun gerimis sehingga mengurangi suhu panas abu. Jika tidak gerimis, menurut Samsul, abu yang jatuh mengenai kulit bisa langsung mengakibatkan luka bakar.

Suasana itu membuat kondisi desa semakin mencekam. Samsul sudah tidak melihat warga lainnya, tidak mendengar suara orang, bahkan suara binatang seperti ayam sudah tidak terdengar lagi. “Waktu itu kondisi di desa itu saya kira itu semua warga Curah Kobokan saya kira sudah meninggal semua. Tidak ada orang teriak, suara ayam saja juga tidak ada, saya kira itu. Saya bilang gini, sudahlah hanya kita ini, yang lain ini sudah meninggal semua. Ayo ! kita lari sebelum ada susulan lagi, saya gitu, pak,” kenang Samsul sambil menundukkan kepala.

Meki sudah mengendarai sepeda motor bersama keluarganya, namun Samsul belum tahu mau kemana. Dia hanya mengarahkan motornya ke depan dengan mengandalkan insting karena suasana gelap dan jarak pandang tidak sampai satu meter. Berbekal lampu motor dan dua senter, dia berusaha menerobos kegelapan, mencari jalan keluar dari “kiamat kecil itu”.

“Waktu lari itu tidak mengandalkan apa-apa. Dari depan rumah itu saya lurus terus, sekitar berapa meter saya belok,” ceritanya.

Samsul yang bercerita sambil sesekali menghisap rokok, mengaku waktu itu sudah tidak tahu kondisi di sekitarnya, apa yang terjadi pada warga dan kondisi rumah-rumah mereka juga sudah tidak kelihatan, semua serba gelap. Yang ada di dalam benaknya saat itu adalah lari menyelamatkan diri dari tempat itu.

Motifasi paling kuat untuk terus mengarahkan motor yang mengangkut satu keluarga itu adalah rasa kekhawatiran sangat mendalam. Khawatir adanya erupsi susulan dari Gunung Semeru. Yang ada di pikiran Samsul saat itu, kalau ada erupsi susulan maka semua akan berakhir. “Kalau ada (erupsi) susulan, tewas saya,” katanya.

Di tengah kekhawatiran itulah, Samsul berupaya meneguhkan keyakinan untuk mengarahkan motornya menuju Desa Sumbermujur. Sampai pada akhirnya ia mulai menemukan cahaya terang saat melintas di dekat kuburan Kajarkuning. Pandangannya pun semakin terang ketika masuk Desa Sumbermujur. Tenyata dampak APG di desa ini tidak separah di Dusun Curah Kobokan yang berada tak jauh dari daerah aliran lahar dingin dan saat itu menjadi arah meluncurnya APG.

Saat berada di Desa Sumbermujur inilah Samsul baru bisa merasakan adanya sinyal di ponselnya. Ketika ponselnya berdering, dan setelah dilihat ternyata ada panggilan dari keponakannya. “Dhe, dhe, tulung aku, tulung aku semeru melutus,” kata Samsul menyampaikan suara keponakannya di telepon yang kemudian sambungan telepon itu putus.

Setelah sambungan telepon terputus, kucuran air dari mata Samsul dan istrinya tak mampu dibendung. Mereka menangis membayangkan nasib yang terjadi pada keponakan dan keluarganya. Sedangkan, Samsul dan keluarganya sudah berhasil keluar dari Dusun Curah Kobokan yang diselimuti dengan kegelapan. “Saya tidak tahu selamat semua atau tidak,” katanya.

Di desa Sumbermujur inilah Samsul melihat banyak orang yang panik. Mereka mencari tempat-tempat aman, ada yang memutuskan ke rumah orang tua atau ke rumah saudara-saudaranya. Namun, bagi mereka yang tidak punya saudara di Sumbermujur, maka balai desa menjadi tujuan mereka, karena tempat ini dinilai relative lebih aman.

Samsul langsung menuju rumah ibunya, tempat yang ia rasa paling aman dan nyaman untuk menampungnya bersama anak-anak dan istrinya. “Saya rasa rumah ibu atau saudara-saudara itu lebih baik dari pada di balai desa,” katanya.

Di tengah perjalanan itu, dia sempat bertemu dengan salah satu temannya. Namun, di luar dugaan, temannya itu malah tidak mengenal Samsul. Betapa tidak, saat itu tubuh Samsul, istri dan tiga anaknya dipenuhi dengan abu, hingga tak terlihat lagi wajah mereka. “Setelah cuci muka baru tahu itu saya, dan dia bilang ‘kamu selamat, kamu selamat sekeluarga’,” ceritanya.

Pria kurus ini mengucap beribu syukur atas keselamatannya dan keluarganya dari bencana luar biasa tersebut. Terlebih lagi, setelah itu dia menpatkan kabar bahwa ada sekitar 18 warga Curah Kobokan yang meninggal di daerah pemukinan. Selain itu ada sekitar 36 orang meninggal di daerah aliran sungai yang menjadi tempat penambangan pasir.

“Jadi 2020-2021 saya hidup di pinggir sungai itu hampir 5 bulan, saya melihat kejadian itu ngeri,” katanya.

Saiful Bahri warga Desa Sumberwuluh merasa bahwa erupsi Semeru yang mengakibatkan APG pada 2021 adalah peristiwa yang cukup kelam dan membuatnya trauma berat. Erupsi itu membuatnya dipenuhi rasa ketakutan dan was-was.

“Karena itu kayak tidak menyangka, itu tidak ada tanda apa-apa sama sekali dan tiba-tiba gelap kayak malam. Habis itu kita merasa takut dan traumanya lebih tinggi, jangankan ngobrol, jari saya saja tidak terelihat itu dampak yang saya rasakan,” katanya.

Berbeda dengan Samsul dan Saiful, Abdul Rohman, warga Dusun Kamar Kajang, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, yang duduk bersila di pinggir Samsul mengaku bernasib lebih baik. Sebab, dampak erupsi Gunung Semeru di tempat tinggalnya tidak separah dengan Curah Kobokan. Suasana juga tidak semencekam di Curah Kobokan yang sempat gelap gulita.

“Pada tahun 2021 itu kalau dusun saya terdampak erupsi langsung itu tidak. Sebenarnya rumah rumah bisa dibetulkan,” katanya.

Namun, saat Gunung Semeru mengalami erupsi lagi pada Minggu tanggal 4 Desember 2022 atau tepat setehun setelah erupsi tanggal 4 Desember 2021, malah menghacurkan banyak rumah warga. Rumah terdampak erupsi pada 2021 itu cenderung masih bisa diperbaiki, namun akibat erupsi 2022 mengakibatkan dampak kehancuran pada rumah-rumah warga. “Tahun 2022 diratakan. Rumahnya rusak karena kena pasir,” kata Rohman.

Kondisi rumah yang sudah hancur itu mengakibatkan banyak warga kembali mengungsi ke desa-desa lain dan yang paling banyak adalah ke desa Sumbermujur. “Saat itu, kena musibah itu baru mengungsi, saya di rumah mertua dari pada di balai desa seperti teman-teman,” ujarnya.

Sekretaris Kecamatan Candipuro Abdul Aziz dikutip dari lenteratoday 5 Desember 2022 menyebut erupsi yang terjadi pada 4 Desember 2022 menyebabkan warga mengungsi di 21 titik di sejumlah balai desa dan fasilitas umum lainnya di Kabupaten Lumajang. Sebanyak 2.219 warga terdampak erupsi berada di pengungsian tersebar di balai desa, masjid, lapangan, dan lembaga pendidikan di Kecamatan Candipuro.

Ia mengatakan tidak ada warga yang tinggal di Dusun Kajar Kuning, Desa Sumberwuluh, Kecamatan Candipuro. Sebab, wilayah tersebut sudah dikosongkan sejak terjadi bencana APG Semeru pada 2021 lalu. “Sebagian besar warga yang mengungsi karena panik dan masih trauma dengan bencana APG Semeru yang mengakibatkan keluarga mereka meninggal dunia,” tuturnya.

Sementara, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) korban meninggal akibat APG Gunung Semeru mencapai 48 orang. Sedangkan korban luka yang sempat mendapatkan perawatan medis sebanyak 2.004 jiwa.

BNPB juga mencatat jumlah pengungsi akibat APG Gunung Semeru pada 2021 mencapai 9.118 jiwa. Pengungsi tersebut terdiri dari penyintas laki-laki sebanyak 4.435 jiwa dan penyintas perempuan 4.683 jiwa.

Desa Sumbermujur menjadi salah satu desa yang menampung para pengungsi APG Gunung Semeru. Perangkat desa dengan suka rela menyediakan ruangan di balai desa untuk digunakan sebagai lokasi pengungsi. Tak hanya itu, beberapa tempat lain di desa tersebut juga digunakan untuk tempat pengungsian.

“Saya baru menjabat saat erupsi gunung Semeru melanda dusun Curah Kobokan, kemudian kecamatan Pronojiwo dan Candipuro. Dua hari setelah menjadi kades datang musibah itu,” kata Yayuk Sri Rahayu, Kepala Desa Sumbermujur saat ditemui di balai warga Huntap BSD Sumbermujur.

Kejadian di awal masa jabatannya sebagai kepala desa itu menjadi peristiwa yang tak pernah dilupakan. Sebab sebelum dilantik dia sudah harus menjalankan tugas sebagai kepala desa dengan menerima warga korban APG Gunung Semeru dari Dusun Curah Kobokan, Sumber Sari dan Kajar Kuning.

“Itu pengungsiannya ada di Sumbermujur, sebagian juga ada yang mengungusi di desa-desa tetangga,” kata Yayuk.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Jawa Timur, Dadang Iqwandy, menjelaskan para pengungsi APG Gunung Semeru ini sempat tinggal di berbagai titik pengungsian sekitar dua bulan. Di tempat pengungsian, mereka harus hidup bersama, seperti tidur hingga mandi pun seadanya.

Meski demikian, mereka juga mendapatkan makan tiga kali sehari yang disediakan berbagai pihak mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan hingga pihak swasta. Seperti yang disediakan Dinas Sosial Provinsi Jatim melalui dapur umum lapangan. Dapur umum ini memproduksi 3.000 nasi bungkus untuk 3 kali makan yang diantarkan langsung ke tempat-tempat pengungsian. Di antaranya di SMP Negeri 1 Candipuro, SMA Negeri 1 Candipura, SD Jarit 1, SMP Negeri 2 Pasirian, Balai Desa Sumber Wuluh, dan Balai Desa Candipuro.

Bencana gunung Semeru baik yang terjadi pada 2021 maupun 2022 langsung mendapat reaksi cepat dari berbagai pihak mulai dari Pemkab Lumajang, Pemprov Jatim, hingga pemerintah pusat, serta dari berbagai pihak lainnya. Mereka bersinergi untuk mengatasi masalah para penyintas APG Gunung Semeru, seperti rasa trauma, tidak adanya tempat tinggal karena rumah rusak, pendidikan anak-anak, hingga masalah sandang pangan lainnya.

Dadang menyebut, di antara yang pernah turun untuk memberikan trauma healing kepada pengungsi bencana APG Gunung Semeru khususnya anak-anak adalah dari Perempuan Bangsa. Trauma healing itu dilakukan di Pondok Pesantren Ulul Albab di Kecamatan Candipuro, Lumajang, Jawa Timur pada 12 Desember 2021. Trauma healing yang bekerjasama dengan Universitas Negeri Malang (UNM) ini untuk mengatasi trauma berat anak-anak yang mengungsi.

Kemudian, Pemprov Jatim juga mengucurkan berbagai bantuan. Diantaranya melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim dan Dinas Sosial Jatim. Bantuan yang pernah dikucurkan adalah beras 1.000 kg, mie instan 50 karton, minyak goreng 200 liter, masker kain anak 4.000 pcs, masker kain dewasa 6.000 pcs, masker medis 10.000 pcs.

Kemudian, ada juga selimut 100 pcs, kasur lipat 50 pcs, bantal 50 pcs, pakaian perempuan 50 paket, pakaian laki-laki 50 paket, air mineral 35 karton, sabun detergen 1 karton, sabun mandi 2 karton, sarden 200 kaleng, gula 200 Kg, dan terpal 50 pcs. Bantuan tersebut di antaranya disalurkan di Balai Desa Penanggal yang menjadi salah satu lokasi pengungsian.

Samsul Arifin salah satu penghuni huntap BSD Sumbermujur.

Rumah Hancur, Huntap BSD Muncul

Tak tinggal diam, pemerintah pusat juga langsung bergerak cepat menangani bencana tersebut khususnya masalah tempat tinggal warga yang hancur. Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun hunian sementara (Huntara) dan hunian tetap (Huntap) yang diberi nama Bumi Semeru Damai (BSD).

Kepala Desa Sumbermujur, Yayuk Sri Rahayu, mengatakan pembangunan sebanyak 1.951 huntap BSD oleh kementerian PUPR ini dilakukan di atas lahan kebun cengkeh seluas 80 hektar. Yayuk menjelaskan warga korban APG Semeru yang diterima di tempat tersebut adalah dari Kecamatan Pronojiwo dan Candipuro.

“Ada pun mereka yang berasal dari kecamatan Pronojiwo itu adalah dusun Sumbersari dan dusun Curah Kobokan. Yang berasal dari kecamatan Candipuro dari desa Sumber Wuluh itu Dusun Kajar Kuning, Kebonsari Utara, Kebonsari Selatan, Kamar Kajang, dan Kampungrenteng. Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro juga ada. Jadi tidak full dari Curah Kobokan dan Kajar Kuning,” jelasnya.

Pengerjaan huntara dan huntab yang dimulai pada Januari tahun 2022 ini melibatkan berbagai pihak, diantaranya adalah Kwartir Daerah Pramuka Jawa Timur. Mereka bahu membahu membangun huntara mulai 19 sampai 25 Mei 2022. Dalam waktu itu, pasukan Pramuka yang dikerahkan untuk bhakti sosial pada para korban APG Gunung Semeru ini berhasil menyelesaikan 50 unit huntara.

Saat ini, huntara memang sudah tidak terlihat, sebab pemerintah memutuskan untuk meneruskan pembangunan menjadi huntap. Konsep huntap oleh Pemerintah pusat melalui Kementerian PUPR ini menggunakan smart village yang terintegrasi. Konsep ini menerapkan pembangunan hunian tahan gempa berupa Rumah Instan Sederhana Sehat (RISHA) yang memiliki teknologi konstruksi knock down dan dapat dibangun dengan waktu cepat. Material yang digunakan juga merupakan produk dalam negeri berkualitas.

Meski dibangun sederhana, tapi huntap BSD sebanyak 1.951 ini bertipe 36 dan membutuhkan sekitar Rp350,55 miliar.

Proyek ini dinaungi oleh Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR RI dan berhasil meraih Rekor MURI “Pembangunan Hunian Tetap Pasca Bencana Tercepat”. Proyek berlangsung mulai 28 Januari 2022 hingga penyerahan pada 31 Mei 2022.

Pemandangan di kawasan Huntap BSD ini nampak asri dan tertata baik, bersih, dan sejuk dengan banyaknya pepohonan. Jalan-jalan terbuat dari batako terlihat cukup bagus. Lingkungan nampak asri dengan rerumputan yang tumbuh di pinggir jalan dan tanaman bunga di depan huntap yang telah dihuni para penyintas APG Gunung Semeru.

Berbagai fasilitas juga nampak begitu komplit, rumah-rumah yang berdiri di atas lahan 10x15 meter itu sudah dialiri listrik dan air cukup baik. Demikian juga dengan fasilitas umum lainnya, seperti tempat ibadah, sekolahan, balai warga hingga tempat berolah raga.

Ketersediaan jaringan listrik merupakan uluran tangan dari PLN UID Jawa Timur yang mengalokasikan anggaran sebesar Rp 4,8 miliar. Aliran listrik huntap APG Semeru ini disuplai dari penyulang Pronojiwo dan membutuhkan penambahan 79 tiang Tegangan Menengah (TM), 133 tiang Tegangan Rendah (TR), 3.158 kilometer sirkuit (kms) jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM), jaringan Saluran Udara Tegangan Rendah (SUTR) sepanjang 6,447 kms serta 7 unit gardu distribusi.

“Fasilitas di sini mulai dari fasos satu sampai lima, masjid juga di masing-masing fasos juga ada masjid. Jadi tempat ibadah di sini sudah terpenuhi. Juga ada kepengurusan ipal, kandang komunal, KSM, dan sampah,” kata Kepala Desa Sumbermujur, Yayuk Sri Rahayu.

Yayuk menjelaskan, kandang komunal sengaja dibangun untuk kelompok masyarakat sehingga mereka bisa berternak mulai dari ternak kambing hingga sapi. Keberadaan kandang komunal ini berkat uluran tangan dan sinergi antara BNPB yang mambangun kandang komunal dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang memberikan pendampingan.

“Selain itu juga ada ada satu stadion di huntap ini, ada di sebelah utara di jalan kembar, stadion Semeru. Juga ada faslitas lainnya, ada PAUD, TK, SD, MTs, MAN, itu fasilitas sosial dan umum yang ada di huntap huntara ini,” paparnya.

Saiful Bahri, yang dulunya tinggal di RT 1/RW 5 Dusun Kamar Kajang, Desa Sumberwuluh, dan kini menempati huntap BSD di blok C17 /13 mengaku merasa lebih nyaman berada di tempat baru ini. Saiful yang sudah tinggal di huntap sejak dua tahun lalu ini merasakan udara yang lebih dingin dibandingkan di tempat lamanya.

Tak hanya merasakan kenyamanan di lingkungan, Saiful juga merasa lebih baik secara ekonomi. Sebab dia dan juga sebagian warga lainnya masih bisa bekerja dengan baik meskipun lokasi kerja berada di tempat lama. Setiap pagi atau siang, Saiful bersama beberapa warga lainnya menempuh perjalanan sekitar 15 menit menuju ke tempat asal, sebab lahan kerja mereka berupa ladang dan lainnya ada di tempat lama.

“Meski tinggal di sini, sumber ekonomi ada yang di sana dan tinggal di sini. Sehingga harus jauh, maka kalau siang ya ke tempat asal kerja, ada yang tanam dan ada yang lainnya,” paparnya.

Kemudian, Saiful mengaku bahwa dia dan warga lainnya juga diuntungkan dengan kebijakan Pemkab Lumajang. Sebab, meski mereka tinggal di Huntap BSD, namun mereka masih memiliki hak milik terhadap rumah dan lahan mereka di tempat asal. Hal itu berdasarkan surat keputusan (SK) Bupati Lumajang yang menyatakan bahwa mereka masih berhak atas rumah dan tanah di tempat asal. Sehingga rumah di huntap BSD bisa menjadi rumah tambahan meski hanya memegang hak untuk menempati saja.

Meski demikian, dia juga merasakan kehidupan dan budaya baru tinggal di huntap BSD berbeda dengan tempat tinggal yang lama. Suasana huntap BSD bak sebuah perumahan yang mirip dengan perumahan di kota-kota. Semua tertata bagus, mulai dari air hingga sampah.

“Cuman, kami berharap, pemerintah membuatkan lapangan pekerjaan di sini, seperti janji pemerintah dulu. Warga di sini banyak yang tidak tetap, kadang satu minggu di sini karena masalah ekonomi, tempat kerja mereka ada di sana,” keluh Saiful.

Ungkapan senada juga disampaikan Samsul Arifin yang menempati huntap BSD di blok C6/12. Dia merasa cukup tertolong dengan ada huntap. Rumah sederhana dengan bangunan bagian depan sudah permanen dan bagian belakang semi permanen ini dinilai sudah cukup bagus dan layak. Bahkan kondisi huntap BSD setara dengan perumahan-perumahan yang ada di kota. Terlebih lagi, fasos dan fasum juga cukup lengkap.

Meski kondisi huntap BSD dinilai cukup bagus, namun Samsul mengatakan pada kenyataannya masih ada warga yang tidak mau menempati atau menolak tinggal di hunian baru itu. Di awal-awal adanya huntap banyak warga yang menolak, mereka berfikiran jika tinggal di tempat itu harus membayar, sementara kondisi rumahnya juga tidak layak, artinya dengan bangunan yang ala kadarnya dan bahkan tak jauh dengan kondisi gubuk sederhana.

Yah, Samsul mengatakan gambaran mereka itu tak lepas dari bangunan huntara yang masih semi permanen. Huntara dianggap kurang aman untuk ditinggali, terlebih lagi mereka membawa barang-barang. “Menaruh sepeda motor saja mereka merasa khawatir karena bangunan semi permanen,” katanya.

Selain itu, warga juga berpandangan ketika tinggal di huntap BSD maka mereka sudah tidak memiliki hak lagi atas rumah dan lahan di tempat asal karena diambil alih oleh pemerintah. “Tapi kenyataannya tidak, pemerintah tetap memberikan hak milik atas rumah dan lahan di tempat asal,” sambungnya.

Seiring dengan sosialisasi yang dilakukan pemerintah terkait dengan kondisi dan ketentuan untuk menempati huntap BSD, maka banyak warga yang awalnya menolak akhirnya mau tinggal di tempat baru itu. Meski demikian masih ada warga yang benar-benar menolak tinggal di huntap BSD.

Memindahkan warga terdampak bencana yang jumlahnya mencapai 1.951 KK ini bukan hal yang mudah. Kalaksa BPBD Lumajang, Patria Dwi Hastiadi, menyebutkan bahwa dalam sejarah sejak orde baru bencana besar terjadi dua kali, yang pertama erupsi gunung Semeru pada tahun 1977, saat itu Presiden Soeharto langsung meninjau, kemudian yang kedua adalah pada tahun 2021 kemarin, Presiden Joko Widodo juga langsung melakukan peninjauan ke lokasi terdampak.

Patria mengakui merelokasi warga dalam jumlah besar membutuhkan proses panjang. Sebab, memindahkan 1.951 KK tidak hanya memindahkan manusia dari dari satu tempat ke tempat, namun juga memindahkan budaya, mata pencaharian, kehidupan sosial dan lainnya, sehingga pemindahan tidak semudah yang dibayangkan.

Bahkan, awalnya sempat terjadi penolakan luar biasa dari warga yang akan direlokasi. Adanya penolakan tersebut tidak membuat pemerintah dalam hal ini Pemkab Lumajang menyerah. Patria menjelaskan pihaknya terus berusaha meyakinkan warga. “Tiap malam harus door to door ke lapangan, ke tempat-tempat pengungsian, sosialsasi ke tiap titik pengungsian,” katanya.

Kegigihan para petugas ini akhirnya membuahkan hasil, berlahan dan sedikit demi sedikit warga penyintas APG Semeru akhirnya mau direlokasi dan menempati huntap BSD. Patria mengatakan keberhasilannya sangat bagus jika dibandingkan dengan relokasi masyarakat korban bencana yang ada di daerah lain.

Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Kabupaten Lumajang, jumlah warga yang tinggal di Huntap BSD sekitar 1.800 KK atau sekitar 5 ribu jiwa. Sebagian sudah ber-KTP dan memiliki KK baru, namun banyak yang belum memproses pembuatan KTP dan KK baru tersebut.

Nah, salah satu rahasia keberhasilan relokasi ini adalah adanya win win solution yang diterapkan Pemkab Lumajang pada masyarakat. Di mana, masyarakat bersedia direlokasi tetapi tempat asal mereka tidak diambil pemeritah dan tetap menjadi hak milik mereka.

“Rumahnya masih menjadi hak mereka, lahan pertaniannya masih menjadi lahan mereka. Itu kesapakatan dengan seluruh masyarakat, akhirnya menemukan kalau mereka malam tidur di situ, tapi pagi hingga sore bekerja, ya memang seperti itu,” kata Patria.

Warga penghuni huntap BSD Sumbermujur melakukan aktifitas.

Menumbuhkan Kehidupan Masyarakat di Huntap BSD

Dinamika relokasi ribuan penyintas APG Semeru, serta kehidupan mereka setelah berada di huntap BSD menjadi perhatian besar pemerintah. Menumbuhkan adanya kehidupan di huntap BSD yang berjalan dengan baik merupakan tujuan Pemkab Lumajang dan berbagai pihak lainnya dan harus diwujudkan.

Maka, Patria menandaskan, niat baik Pemkab Lumajang adalah menjadikan huntap sebagai laboratorium bencana. Dengan demikian menjadi bahan untuk melakukan berbagai pembelajaran dan evaluasi, di mana kekurangan dan kelebihan dengan segala keterbatasan itu akan bisa diberbaiki untuk berikutnya.

“Karena di tempat lama sudah dinyatakan sebagai zona terlarang, zona merah yang tidak boleh ditinggali, kemudian mereka kita pindahkan ke tempat baru, ternyata mereka digolongkan dalam beberapa tipe masyarakat. Yang pertama mereka mau dipindah kesitu tapi mata pencahariannya ada di tempat lama itu masih banyak, yang kedua mereka mau pindah profesi yang dulunya mungkin bengkel, buka perdagangan di tempat pertama ternyata di tempat baru itu mereka menemukan profesi atau mata pencaharian yang baru, itu ada,” jelas Patria.

Langkah menghadapi masalah itu adalah dengan membuat koordinator sebagai penyambung lidah antara warga dengan pemerintah. Dari sinilah akhirnya terjadi komunikasi dengan baik melalui pemerintah desa yang kemudian diteruskan ke Pemkab Lumajang. Komunikasi ini pun semakin diperluas lagi ke seluruh steakholder dan seluruh komponen elemen baik pemerintah daerah provinsi hingga pemerintah pusat.

Di situlah terjadi kerjasama antara Pemkab Lumajang, Pemprov Jatim, Pemerintah pusat melalui BNPB dan Kementerian terkait membuat dokumen rencana rehabilitasi dan rekontruksi paskabencana (R3P). Dengan adanya R3P maka ada langkah jelas untuk menyentuh mereka dengan berbagai macam upaya. Di antaranya adalah dengan intervensi pelatihan, intervenmsi permodalan, dan lainnya.

“Jadi, banyak macamnya itu ada yang berhasil dan ada yang tidak. Di situlah kita baru ketemu, oh ternyata masyarakat lebih senang yang ini, dan menjadi bahan evaluasi kita untuk berkelanjutan supaya mereka bisa tinggal di tempat baru, mendapatkan mata pencaharian yang susuai,” kata Patria.

Upaya itu pun tidak mudah, khususnya dalam mewujudkan adanya mata pencaharian baru. Sebab, di tempat lama hampir lebih dari 60% para penyintas ini terlibat dalam pertambangan atau jadi kuli menaikkan pasir ke atas truk. Meski pekerjaan itu bisa dibilang kasar dan berat, namun penghasilan yang didapat cukup fatastis. Mereka bisa mendapatkan Rp 300 ribu sampai Rp500 ribu per hari.

“Jadi kalau mereka pindah ke BSD dan dihitung nilainya dari rupiah tentunya tidak semudah yang kita banyangkan, pekerjaan apa yang menyamai pekerjaan mereka yang lama,” tandas Patria.

Penah juga pemerintah mengucurkan bantuan stimulan berupa ternak kambing komunal. Langkah ini membuahkan hasil yang cukup bagus. Buktinya dalam waktu 8 bulan bantuan berupa anak kambing itu mampu berkembang hingga hampir 100% dari jumlah yang diberikan. Memang, lanjut Patria, kebarhasilan itu tidak terjadi begitu saja, sebab pada awalnya ada yang tidak behasil. Dari situlah terus dilakuan evaluasi dan belajar untuk memberikan yang terbaik dalam penanggulangan bencana dan pemulihkan kehidupan.

Seorang warga berjalan di kawasan huntap BSD Sumbermujur.

Kuatkan dan Tangguhkan Masyarakat dengan Mitigasi Bencana

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Jatim, Dadang Iqwandy, mengatakan Lumajang dan Malang menjadi dua daerah yang berada di lingkar gunung Semeru. Bencana akibat erupsi Semeru menjadi bencana yang dominan di Jatim, sehingga dibutuhkan upaya mitigasi bencana pada masyarakat dan juga semua steakholder.

Potensi bencana yang cukup besar gunung Semeru ini tidak lepas dari karakter khusus yang dimiliki Semeru yang berbeda dengan karakter gunung-gunung lainnya. Karakter khusus ini terjadi karena kantong magma gunung Semeru yang kecil, sehingga berpotensi terjadi erupsi setiap hari. Berbeda dengan gunung Kelut yang kantong magmanya besar, sehingga untuk penuh itu menunggu puluhan tahun bahkan ratusan tahun.

“Kantong magma itu menentukan karakter itu tadi, Kelut itu magmanya besar sehingga tipikal erupsinya galak. Kalau erupsi, abunya bisa sampai ke Bogor, Jogja luluh lantak. Sedangkan Semeru karena kantong magmanya kecil, dia erupsi tiap hari, mengeluarkan material tiap hari. Makanya Semeru itu oleh orang-orang disebut sebagai ibunya para gunung,” papar Dadang.

Selain punya kantong magma yang kecil, gunung Semeru juga punya bukaan atau mulut kawah yang ada di sebelah tenggara. Selain itu, Semeru juga tidak punya kaldera seperti Bromo, sehingga Bromo kalau erupsi laharnya tidak ke mana-mana, hanya di kalderanya. Sedangkan, Semeru bisa mengeluarkan lahar atau material.

“Bahkan setelah kejadian 2021 kemarin jika dibandingkan 2012, 2017, 2018, bukaannya makin melebar, dan nanti jalurnya akan berputar searah jarum jam, tenggara, selatan terus ke barat. Bisa jadi nanti suatu saat bukaanya malah ke utara muter terus, itu secara teorinya, tapi kapan berubahnya tidak tahu kita,” sambungnya.

Keadaan bukaan yang semakin lebar ini lah yang kemudian tercatat erupsi terjadi setiap tahun. Bahkan dari history yang ada erupsi terjadi tanggal 4 Desember 2021, 4 Desember 2022. Kodisi inilah yang membuat BPBD Jatim rapat kesiapsigaan menjelang bulan Desember.

“30 november 2023 kita rapat karena kami harus mengumpulkan seluruh steakholder terkait, ayo ini entar lagi Desember, sebentar lagi ulang tahun. Kita sudah mendapat pelajaran, bahkan 2020 itu erupsi juga tapi tidak terlalu besar, tanggal 1 Desember 2020. Nanti sama di bulan November 2024 ini kita rapat lagi,” tandasnya.

Rapat itu setidaknya supaya seluruh steakholder terkait itu bersiap-siap, seperti dari Dinsos terkait dengan peralatan dapur umumnya hingga mobil rescue. Kemudian dari BPBD, TNI, Polri, termasuk jurnalis.

“Apa saja yang telah dilakukan Pemprov Jatim dengan kolaborasinya ini, penanggulangan bencana ini tidak bisa dilakukan oleh BPBD saja. Tapi terus terang kami bersukur, sekarang di pemerintah urusan bencana diurusi banyak OPD, seperti Biro Kesra, Bapeda, Biro Humas Protokol juga mengangkat isu isu kebencanaan,” katanya.

Dadang menyebutkan yang perlu dipahami dalam penanggulangan bencana tidak hanya dalam fase darurat saja, justru fase yang pandang adalah fase prabencana dan pascabencana. Fase darurat hanya 14 hari, kalau diperpanjang paling 30 hari. Sedangkan pada fase pascabencana akan berlanjut pada proses mitigasi.

Fase pascabencana ini mulai dari pemenuhan kebutuhan logistik, pembangunan infrastruktur, pemulihan pascabencana, pemasangan rambu, hingga pembentukan desa tangguh bencana termasuk destana ciri khas Semeru.

Kemudian juga memasukkan kegiatan satuan pendidikan ramah bencana di sekolah-sekolah kawasan lingkar semeru juga. Sehingga sekolah sekolah mamahami kesiapsiagaan menghadapi bencana, jadi tidak hanya desanya saja, tapi sekolah juga, meskipun sekolah yang disasar adalah level SMK. Selain itu juga masuk ke pesantren. Berdasarkan SK Gubernur Jatim setidaknya ada 6.800 pondok pesantren yang harus ditangguhkan.

Upaya mitigasi bencana khususnya terkait dengan erupsi gunung Semeru juga menyasar ke masyarakat. Langkah ini cukup penting untuk memberikan pengetahuan pada masyarakat terkait kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Telebih lagi, pemahaman masyarakat di kawasan lingkar Semeru khususnya Lumajang akan kesiapsiagaan erupsi Semeru masih sangat minim.

Kalaksa BPBD Lumajang, Patria Dwi Hastiadi, mengatakan sebelum erupsi 4 Desember 2021 tanggapan masyarakat pada BPBD saat memberikan sosialisasi sering dipandang sebelah mata. Bahkan, warga menganggap sosiaisasi yang disampaikan malah menakut-nakuti.

“Ini orang Pemda yang penggaweyane meden-medeni, itu karena kita ngomong bencana. Kemudian kita mengadakan gladi, orang Pronojiwo, orang Candipuro ngomong, ‘Pak kalau gladi itu jarene orang Pronojiwo dan Candipuro itu ngajab, jadi gak usah gladi kalau ngajab itu kedadean’,” kata Patria.

Pola pikir warga seperti itulah yang menjadi tantangan BPBD karena harus dirumbah. Petugas BPBD terus melakukan upaya sosialisasi dengan melakukan pendekatan khusus pada masyarakat, namun langkah itupun belum membuahkan hasil signifikan.

Namun, adanya erupsi pada 4 Desember 2021 dan 4 Desember 2022 membuat masyarakat mulai sadar. Mereka mulai memahami pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana erupsi. Hal itu mengaca dari dampak erupsi saat itu yang cukup membuat warga trauma.

“Makanya di BSD atau huntap yang berada di zona aman, rencana kita mau kita jadikan sebagai laboratorium bencana. Kita kuatkan masyarakat, kita tangguhkan masyarakatnya, kita penuhi infrastrukturnya, kita penuhi sarana prasarana, termasak beberapa hal yang terkait dengan pencegahan dan kesiapsigaan bencana,” tandasnya.

Sementara, Kasubid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lumajang, Armi Najmi menjaskan bahwa telah membentuk desa tangguh bencana. Di antaranya di Sumber Wuluh pada 2021, di Sumbermujur dan Penanggal pada 2022, dan di Supiturang pada 2022.

“Sebetulnya, sebelum itu kita sudah sering mengadakan sosialisasi kesiapsiagaan. Sekarang ini, kita juga sering mengadakan sosialisasi dan simulasi terkait erupsi gunung Semeru. Namun, untuk mengadakan simulasi itu ngelus dulu, karena warga merasa kalau ada simulasi pasti ada erupsi, gitu. Padahal kita harus latihan untuk kesiapsigaan,” terangnya.

Langkah lain adalah dengan datang ke sekolah-sekolah untuk memberikan pengetahuan pada siswa apa yang harus dilakukan jika terjadi bencana seperti erupsi dan gempa bumi. Bahkan, dari PAUD sampai SMA di Candipuro sudah masuk satuan pendidikan aman bencana.

Selain upaya-upaya tersebut, peran relawan bencana yang ada di desa juga cukup penting. Relawan yang berasal dari warga desa ini kerap kali memberikan pengetahuan pada warga akan tanda-tanda terjadinya erupsi Semeru, sehingga warga menjadi lebih waspada.

Saiful Bahri yang juga sebagai salah satu relawan mengakui jika gunung Semeru kerap kali erupsi. “Kalau dulu tanda-tanda erupsi kecil itu sudah biasa, itu sebelum 2021. Padahal itu sudah tanda-tanda, kalau menurut dari pemantau gunung Sawur itu sudah tanda tidak aman,” katanya.

Relawan yang merupakan warga ini lebih mudah diterima masyarakat. Sehingga apa yang disampaikan relawan lebih mudah diserap masyarakat. Akhirnya mereka mulai memahami dan tahu akan tanda – tanda erupsi. “Setelah tahun 2021 sudah berubah, ada erupsi Semeru sedikit sudah waspada,” tandasnya.

Selain itu, relawan juga memberikan pemahaman terkait evakuasi jika terjadi bencana. Bahkan, sebelum itu relawan memantau banjir lahar dingin yang kerap kali terjadi di aliran yang juga digunakan sebagai lokasi tambang pasir.

“Lebih mudah edukasi masyarakat soal bencana, tapi jika di tambang itu lebih sulit karena kan bukan dari masyarakat sekitar sini tapi dari luar,” jelasnya.

Setelah 2021, kata Saiful, sejak ada relawan dan sebagainya, masyaraat sudah mulai teredukasi yang awalnya biasa-biasa, maka setelah erupsi 2021 lebih waspada. Ketika ada gemuruh warga sudah waspada, bahkan ada yang keluar rumah untuk memastikan seberapa erupsi yang terjadi. “Kemarin saya juga keluar, dulu seperti itu biasa saja,” katanya.

Pengendara motor melintas di atas jembatan mujur II desa Kloposawit.

Gerak Cepat Tuntaskan Jembatan Mujur II

Sepeda motor, mobil, hingga truk terlihat melintas di atas Jembatan Mujur II yang berlokasi Desa Kloposawit, Candipuro, Lumajang. Jembatan ini menjadi penghubung Desa Kloposawit dan Desa Tumpeng. Jembatan juga berada di jalur alternatif yang menghubungkan wilayah Kabupaten Lumajang dengan Kabupaten Malang.

Tak heran jika warga cukup senang dengan beroperasinya jembatan tersebut. Perjalanan mereka menjadi lebih mudah, hemat waktu, dan lancar. Berfungsinya jembatan itu juga mampu menumbuhkan kembali perekonomian warga, seperti Suwito warga Dusun Pacut, Desa Kloposawit.

Jembatan ini sempat putus akibat terjangan banjir lahar dingin Gunung Semeru pada 7 Juli 2023 lalu. “Lahar dingin 2023 ini sampai menghabiskan jembatan ini hingga terputus itu terjadi sekitar kurang lebih jam 4 sore. Kebetulan waktu itu hujan lebat, gak tahunya ada suara gemuruh dan terjadi banjir sampai susulan banjir ketiga dan akhirnya menghabiskan jembatan ini. Jembatan ini akses utama menghubungkan desa Kloposawit ke Tumpang sampai ke Lumajang,” kata Kepala Desa Kloposawit Marjoko.

Putusnya jembatan ini membuat susah warga karena kendaraan sudah tidak bisa menyeberang lagi. Kondisi itu jelas mempersulit aktifitas warga, bahkan mengikis penghasilan mereka. Suwito mengatakan bahwa sebagian warga bekerja sebagai petani dan buruh tani.

Putusnya jembatan itu mengakibatkan pengangkutan hasil pertanian tidak bisa lancar, bahkan penjualannya juga terganggu. Mengangkut hasil pertanian tersebut harus memutar sekitar 15 km melalui jalur lain. Sedangkan para buruh tani juga susah menjangkau termpat kerja mereka yang ada di seberang.

Putusnya jembatan ini juga menghambat pendidikan di sekolah, sebab perjalanan anak anak sekolah dan pengajar pun menjadi terganggu. Kendala ini terjadi beberapa hari, hingga akhirnya warga bergotong royong membuat jembatan darurat dari bambu. “Jembatan dari bambu itu hanya bisa dilewati orang saja, kendaraan tidak bisa karena darurat,” kata Suwito.

Kabit Rehabilitasi dan Rekontruksi BPBD Kabupaten Lumajang juga menjelaskan bahwa jembatan Mujur II atau jembatan Kloposawit mengalami dua kali putus, pertama bulan 7 Juli 2023. “Kami selaku BPBD Kabupaten Lumajang kami melakukan lari cepat membentuk tim dengan melibatkan OPD terkait dan dari pemerintah Kabupaten dan Provinsi,” katanya.

Putusnya jembatan ini langsung mendapat tanggapan dari pemerintah setempat hingga diteruskan ke Pemprov Jatim. Khofifah Indar Parawansa yang saat itu sebagai Gubernur Jawa Timur langsung melakukan kunjungan ke lokasi.

“Setelah ada kunjungan bu Khofifah itu sampai dibangun jembatan ini 2 bulan baru peresmian bulan 9,” kata Marjoko.

Jembatan ini dibangun dengan alokasi anggaran sebesar Rp 11 miliar. Menggunakan konstruksi bailey atau rangka baja. j=Jembatan ini memiliki panjang 39 meter dan lebar 5,1 meter. Dan umur jembatan perkirakan bisa mencapai 50 tahun.

Jembatan Mujur II akhirnya diresmikan pada tanggal 20 September 2023 oleh gubernur Jatim saat itu. Setelah peresmian jembatan langsung dilewati kendaraan bermotor roda dua maupun kendaraan bermuatan kecil lain.

Namun, kurang dari tujuh bulan dari peresmian, tepatnya pada tanggal 18 April 2024 jembatan tersebut kembali diterjang lahar dingin. Akibatnya, pondasi dari jembatan ini terkikis, meski tidak sampai memutus tubuh jembatan.

“Setelah tersambung kemudian terjadi lagi bencana banjir pada 18 April 2024. Peristiwa itu mengakibatkan akses kembali terputus. Kita juga langsung melakukan koordinasi dengan Pemprov, karena ini kewenangan Bina Marga dan langsung melakukan perbaikan,” tambah Reza.

“Terimakasih kepada pihak provinsi terutama Guburnur. Tidak sampai lama dan aktifitas sudah bisa kembali, setelah aktifnya jembatan ini sudah tidak ada kendala dan sudah kembali normal. Ini memang respon dari pemerintah daerah dan provinsi yang cepat,” kata Marjoko. (*)

Reporter : Lutfiyu Handi | Editor : Widyawati

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.