
KOLOM (Lenteratoday) -Setahun terakhir sejumlah ibu rumah tangga di Desa Sungai Gerong, Banyuasin -Sumatera Selatan mengolah tulang ikan patin dan lele menjadi kemplang khas (kerupuk) Palembang.
Caranya tulang dipresto. Lalu dihaluskan menjadi tepung. Kemudian diolah dengan tepung tapioka, tepung beras, dan bumbu dasar dan dibikin menjadi pempek lenjer bulat memanjang. Dijemur beberapa jam, diiris tipis2 barulah digoreng.
Kemplang tulang ikan mendapatkan respon positif dari sejumlah pihak -Kompas Cetak edisi Senin 28 Oktober 2024 -mengutip harian Kompas edisi Senin, 28 Oktober 2024
Penasaran dengan berita harian Kompas yang mengulas kerupuk Kemplang, saya mencari info bagaimana cara mendapatkannya. Ternyata bisa beli secara _online_ di Palembang. Iseng-iseng pesan jenis kerupuk bakar.
Pesanan pun lebih dari satu. Saya ingin berbagi dengan kawan-kawan yang lain.

Tgl 29/10 order tgl 1/11 sudah tiba. Saya cicipi: rasa tulang ikan enk banget. Meskipun agak keras, tapi masih oke. Ketika bungkus mau dibuang, eh baru lihat. Di dalamnya ternyata ada semacam bumbu. Mirip petis.
Tingkah polah
Belanja online merupakan kegiatan yang menyenangkan. Dapat memilih barang-barang pilihan tanpa harus keluar dari rumah. Kegiatan itu saya akui sudah cukup lama berjalan ketika zaman merebaknya Covid-19.
Saya belajar dari aplikasi halodoc. Awalnya atas petunjuk halodoc saya bisa mengambil sekaligus membeli obat-obatan secara gratis.
Semenjak itu saya jadi terbiasa membuka situs belanja online. Beli makanan. Beli tanaman. Beli buku. Beli perlengkapan rumahtangga dan macam-macam.
Belanja online dapat membangkitkan semangat dan perasaan kompetitif untuk mendapatkan harga terbaik. Salah satu alasan lain mengapa belanja online lebih menarik adalah rasa dag-dig-dug: menunggu pesanan tiba.

Waktu itu -zaman Covid-19, belanja online tidak memerlukan lagi biaya transportasi dan tenaga untuk berkeliling.
Sekarang di era "New Normal" kebiasaan belanja oline tetap berlangsung. Namun tidak selalu. Masih ada waktu belanja langsung ke toko atau depot makanan. GoFood menjadi jarang-jarang.
Mengulang kembali cara belanja langsung di pusat perbelanjaan. Harus berkendara untuk sampai ke tempat tujuan, kemudian berjalan memutari lorong untuk mencari barang yang diinginkan.
Shifting -bukan resesi
Prof. Rhenald Kasali dalam sebuah tulisan, menyebut saat ini tengah berlangsung generasi kertas melawan generasi digital.
“Dunia sedang shifting: bukan resesi. Hidup lebih baik yang belum tentu disambut baik: begitulah shifting terjadi,” tulis Prof. Rhenald Kasali dari laman Facebook, (Ahad, 3/11/2024). "Hidup Lebih Baik yang Belum Tentu Disambut Baik (Begitulah Shifting Terjadi)...
Mungkin inilah zaman pertemuan dua generasi yang paling membingungkan sepanjang sejarah.
Ini bukan soal generasi kertas vs generasi digital semata. Melainkan soal di mana dunia kita berada, sehingga ekonomi menjadi berubah arah dan banyak yang bangkrut.
Ini juga bukan soal kebijakan ekonomi, ini soal teknologi yang mengubah platform hidup, ekonomi dan kehidupan.

Shifting tentu berbeda dengan krisis atau resesi yang lebih banyak dipandang sebagai bencana yang amat memilukan.
Shifting dapat diibaratkan Anda tengah bermain balon eo’. Masih ingatkah balon yang terdiri dari dua buah dan berhubungan.
Kalau yang satu ditekan, maka anginnya akan pindah ke balon yang besar dan berbunyi eo’, eo’ …
Ya, seperti itulah. Angin berpindah, lalu ada yang terkejut karena terjepit dan ruangnya hampa. Manusia-manusianya akan bertingkah polah.
Dunia ini sedang shifting. Orang tua-orang tua muda sedang memangku cyber babies, kaum remaja terlibat cyber romance.
Mereka belajar di dunia cyber, dan menjadi pekerja mandiri. Dan masih banyak hal yang akan berpindah, bukan musnah.
Ia menciptakan jutaan kesempatan baru yang begitu sulit ditangkap "orang-orang lama", atau "orang-orang malas" yang sudah tinggal di bawah selimut rasa nyaman masa lalu.
Takdir saya memang berada di dunia kertas. Kuliah jurnalistik di Akademi Wartawan Surabaya -sekarang menjadi Stikosa-AWS. Lalu berkecimpung di Harian Pos Kota Perwakilan Jawa Timur.
Tahun 1986 ikut mendirikan Mingguan Surya. Kemudian menjadi Harian Surya di tahun 1989. Cukup lama terlibat di peceratakan. Mulai sistem analog, menuju digital hingga cetak jarak jauh di Kelompok Gramedia.
Kalau yang dimaksud Prof Rhenald Kasali generasi kertas itu orang-orang yang terbiasa membaca koran dan bergerak di dunia cetak, boleh dikata saya sangat paham.
Tetapi dalam kasus kerupuk Kemplang -sebagai generasi kertas, saya telah mengikuti generasi digital: bukan melawan! Sekadar tingkah polah.
Penulis: Arifin BH, wartawan dan penulis buku