
JAKARTA (Lenteratoday) - Ilmuwan berhasil melatih robot untuk melakukan operasi bedah dengan menonton video, mencapai kemampuan yang setara dengan ahli bedah manusia. Robot ini dapat mempelajari teknik operasi dari video dan menerapkan pengetahuan tersebut dalam prosedur bedah yang kompleks.
Melansir Techspot, Rabu (1/1/2025), peneliti dari Universitas Johns Hopkins dan Universitas Stanford telah melatih robot untuk melakukan tugas bedah dengan ketepatan seperti dokter manusia dengan menonton video. Hal ini dipresentasikan pada Konferensi Pembelajaran Robot di Munich baru-baru ini. Keberhasilan ini menandai langkah signifikan menuju robot bedah yang lebih otonom dan dapat menjadi solusi parsial untuk kekurangan dokter bedah di AS.
Bantuan robot dalam operasi bukanlah hal baru. Sejak 1985, ketika PUMA 560 pertama kali membantu biopsi otak, robot telah membantu dokter melakukan berbagai prosedur, termasuk pengangkatan kantong empedu, histerektomi, dan operasi prostat. Robot-robot ini, yang dipandu oleh dokter menggunakan pengontrol seperti joystick, telah berperan penting dalam meminimalkan getaran tangan manusia selama prosedur yang rumit.
Namun, terobosan baru-baru ini membawa teknologi ini ke tingkat baru. Tim peneliti telah mengembangkan robot yang mampu melakukan tugas bedah yang rumit secara mandiri, termasuk memanipulasi jarum, mengikat simpul, dan menjahit luka. Hal yang membedakan robot-robot ini adalah kemampuannya untuk belajar dari video dan memperbaiki kesalahan mereka tanpa campur tangan manusia.
Pendekatan tim untuk melatih robot-robot ini mirip dengan yang digunakan dalam mengembangkan model bahasa seperti ChatGPT. Namun, alih-alih bekerja dengan kata-kata, sistem tersebut menggunakan bahasa yang menggambarkan posisi dan arah penjepit robot.
"Kami membangun model pelatihan kami menggunakan rekaman video robot yang melakukan tugas bedah pada bantalan jahitan latihan," Dr Axel Krieger, seorang profesor madya di Johns Hopkins Whiting School of Engineering yang mengawasi penelitian tersebut.
"Setiap gambar dalam rangkaian video diubah menjadi data numerik, yang kemudian diterjemahkan oleh model menjadi tindakan robot."
Metode ini secara signifikan mengurangi kebutuhan untuk memprogram setiap gerakan individu yang diperlukan untuk prosedur medis. Robot yang dilatih menunjukkan keterampilan mereka di lingkungan yang berbeda, berhasil melakukan tugas pada sampel daging babi dan ayam.
"Kami telah mengembangkan sistem yang memungkinkan Anda berbicara dengan robot seperti Anda berbicara dengan dokter residen bedah," kata Ji Woong "Brian" Kim, peneliti pascadoktoral di tim tersebut.
"Anda dapat mengatakan hal-hal seperti, 'Lakukan tugas ini,' atau 'Pindah ke kiri' dan 'Pindah ke kanan.'"
Menurut American Association of Medical Colleges, pengembangan robot bedah yang lebih otonom dapat membantu mengatasi kekurangan 10.000 hingga 20.000 dokter bedah di Amerika Serikat pada tahun 2036.
"Kami tidak mencoba menggantikan dokter bedah. Kami hanya ingin mempermudah pekerjaan dokter bedah," kata Dr Krieger.
Meskipun kemajuannya mengesankan, para ahli mengatakan masih banyak tantangan yang harus dihadapi sebelum robot bedah yang sepenuhnya otonom menjadi kenyataan. "Taruhannya sangat tinggi karena ini adalah masalah hidup dan mati," kata Dr Dipen J Parekh, direktur bedah robotik di Fakultas Kedokteran Universitas Miami Miller.
"Anatomi setiap pasien berbeda, begitu pula cara penyakit berperilaku pada pasien."
Lebih jauh lagi, seiring kemajuan teknologi, muncul pertanyaan penting tentang tanggung jawab, privasi, dan akses.
Dr Amer Zureikat, direktur bedah robotik di University of Pittsburgh Medical Center, mencatat beberapa kekhawatiran tentang akuntabilitas jika terjadi kesalahan bedah. Menentukan tanggung jawab ketika banyak pihak terlibat dalam pengembangan dan penggunaan robot bedah otonom akan menjadi rumit, paling tidak, dengan potensi kesalahan meluas ke berbagai pemangku kepentingan, termasuk dokter yang mengawasi, pengembang AI, administrasi rumah sakit, atau bahkan produsen robot itu sendiri.
Kekhawatiran privasi juga tampak besar, khususnya terkait penggunaan video bedah nyata untuk melatih sistem ini. Selain itu, ada pertanyaan tentang akses yang sama terhadap teknologi dan potensi dokter bedah menjadi terlalu bergantung pada bantuan robotik.
Co-Editor: Nei-Dya