03 April 2025

Get In Touch

Mendikdasmen Bedah Konsep Deep Learning Secara Mendalam

Mendikdasmen Abdul Mu'ti membedah konsep deep learning sebagai metode belajar untuk yang berorientasi pada pendekatan kualitatif. Foto/dok.lenter
Mendikdasmen Abdul Mu'ti membedah konsep deep learning sebagai metode belajar untuk yang berorientasi pada pendekatan kualitatif. Foto/dok.lenter

JAKARTA (Lentera) – Banyak kalangan, baik masyarakat umum maupun para pengamat, menafsirkan konsep deep learning yang dicetuskan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti dengan berbagai sudut pandang. Tapi apa yang sebenarnya dimaksud Mu’ti?

Dalam Seminar Nasional dan Sosialisasi Program Deep Learning bertajuk Implementasi Deep Learning Dalam Rangka Mewujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Uhamka), Mu’ti secara komprehensif menjelaskan makna sebenarnya dari deep learning.

“Saya pernah membahas deep learning dan berbagai fondasinya dalam sebuah pengajian di Ranting Muhammadiyah Pondok Cabe, kemudian informasinya menyebar ke mana-mana. Ya, karena sudah tersebar, tidak mungkin ditutup-tutupi lagi. We are at the point of no return. The show must go on,” ujar Mu’ti di hadapan para peserta seminar di Aula Ahmad Dahlan, lantai 6, FKIP Uhamka, Senin (17/2/2025).

Mu’ti menegaskan bahwa deep learning bukan kurikulum baru, melainkan sebuah pendekatan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman secara lebih mendalam. Ia juga menekankan bahwa konsep ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum istilah kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadi populer seperti sekarang.

“Saya pernah mendapat pesan dari seorang profesor yang bertanya, ‘Mas, deep learning itu kan artificial intelligence?’ Saya jawab, bisa iya, bisa tidak. Kalau Anda mencari di Wikipedia, yang muncul memang itu. Tapi deep learning ini sudah ada jauh sebelum Wikipedia, sebelum AI berkembang seperti sekarang,” jelas Sekretaris Umum PP Muhammadiyah tersebut.

Mu’ti pertama kali mengenal istilah deep learning saat menempuh pendidikan S2 di Australia pada tahun 1995. Dalam mata kuliah Cognitive Psychology and Its Implications, ia menemukan buku The Process of Learning karya John Biggs yang menjabarkan konsep ini secara lebih mendalam.

Menurut Mu’ti, konsep deep learning telah diperkenalkan sejak tahun 1976 di negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia dan Swedia. Penelitian Marton dan Säljö kala itu menyoroti perlunya pendekatan kualitatif dalam pembelajaran sebagai alternatif dari metode kuantitatif yang cenderung hanya berfokus pada penguasaan informasi tanpa pemahaman yang utuh.

“Pendekatan kuantitatif lebih menekankan pada ‘apa yang dipelajari’ dibandingkan dengan ‘seberapa baik seseorang memahaminya’. Akibatnya, banyak siswa yang sekadar menghafal fakta tanpa tahu bagaimana menerapkannya dalam kehidupan nyata,” jelas Mu’ti.

Sebagai contoh, ia menyoroti metode pembelajaran matematika di sekolah yang seringkali hanya berorientasi pada hapalan rumus tanpa mengajarkan bagaimana rumus tersebut bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah nyata. Hal ini, menurutnya, menyebabkan siswa tidak benar-benar memahami konsep di balik angka dan perhitungan yang mereka pelajari.

Mu’ti juga menyinggung bahwa metode pembelajaran berbasis hapalan dan ujian sering kali membuat esensi belajar menjadi sekadar mengejar nilai tinggi. Akibatnya, muncul budaya mencari bocoran soal ketimbang memahami materi dengan sungguh-sungguh.

“Banyak siswa yang terlalu fokus pada nilai akhir, sampai-sampai rela mencari bocoran soal. Ini menciptakan budaya belajar yang dangkal dan tidak bermakna,” tegasnya.

Sebaliknya, pendekatan deep learning lebih menekankan pada pemahaman konsep, keterkaitan antar disiplin ilmu, serta penerapan pengetahuan dalam situasi nyata. Sebagai ilustrasi, Mu’ti menjelaskan bagaimana konsep sepeda bisa dipelajari dari berbagai perspektif, mulai dari aspek mekaniknya, keseimbangan dalam ilmu fisika, hingga etika berlalu lintas dalam kehidupan sehari-hari.

Mu’ti juga menyoroti fenomena schooling without learning, yakni kondisi di mana siswa hanya bersekolah tanpa benar-benar belajar dan memahami materi yang diajarkan. Isu ini telah banyak dibahas dalam literatur pendidikan, termasuk oleh UNESCO.

Ia pun mengajak para pendidik untuk mulai menerapkan deep learning dalam proses pembelajaran agar siswa tidak sekadar hadir di kelas, tetapi benar-benar mengalami proses belajar yang bermakna.

“Deep learning bukan sekadar menghapal materi, melainkan memahami sesuatu secara utuh, menghubungkan berbagai aspek keilmuan, dan mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata,” pungkasnya.

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.