02 April 2025

Get In Touch

Arti Dwifungsi ABRI yang Dikhawatirkan Hidup Lagi Lewat Revisi UU TNI

ARSIP 199: TOLAK DWI FUNGSI. Sejumlah mahasiswa membentangkan spanduk ketika mereka melakukan unjukrasa, di sekitar gedung MPR/DPR-RI Senayan, Ja
ARSIP 199: TOLAK DWI FUNGSI. Sejumlah mahasiswa membentangkan spanduk ketika mereka melakukan unjukrasa, di sekitar gedung MPR/DPR-RI Senayan, Ja

SURABAYA (Lentera) -Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sedang bergulir dikhawatirkan banyak pihak dapat menghidupkan dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI.

Pasalnya, revisi UU TNI bakal memperluas jabatan kementerian dan lembaga yang dapat diduduki oleh prajurit aktif TNI, hal ini dimaknai oleh banyak pihak sebagai tanda kembalinya dwifungsi TNI. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan dwifungsi TNI?

Sejarah Dwifungsi

Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) merupakan sebuah konsep dan kebijakan politik yang mengatur tentang fungsi ABRI dalam tatanan kehidupan bernegara.

Dwifungsi ABRI memiliki arti bahwa ABRI memiliki dua fungsi yaitu, fungsi sebagai kekuatan militer Indonesia dan fungsi sebagai pemegang kekuasaan dan pengatur negara.

Kebijakan Dwifungsi ABRI ini berlaku pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Suharto selama 32 tahun.

Dikutip dari buku Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI (1984) karya Arifin Tambunan dan kawan-kawan, pada masa Orde Baru ABRI berperan ganda sebagai penggerak dan penstabil kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penerapan konsep Dwifungsi ABRI tidak dapat terlepas dari sejarah perkembangan organisasi militer Indonesia. 

Seusai Indonesia merdeka, para perwira militer merasa memiliki hak yang sama dengan masyarakat sipil dalam hal penentuan kebijakan dan pelaksanaan bina negara.

Berdasarkan jurnal Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial Politik tahun 1966-1998 (2016) karya D.W Firdaus, konsep Dwifungsi ABRI pada masa pemerintahan Orde Baru berawal dari gagasan A.H Nasution yang disebut dengan konsep jalan tengah.

Konsep jalan tengah merupakan sebuah konsep yang menginginkan militer berperan sebagai alat pertahanan keamanan negara sekaligus berpartisipasi dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

Pada perkembangannya, konsep jalan tengah A.H Nasution diterapkan oleh Soeharto dalam kebijakan Dwifungsi ABRI. 

Penerapan Dwifungsi

Dwifungsi ABRI sebenarnya telah diterapkan pada awal Orde Baru, namun baru dilegalkan oleh Soeharto pada tahun 1982 melalui Undang-Undang nomor 20 tahun 1982.

Penerapan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial dan politik Indonesia.

Melalui kebijakan Dwifungsi ABRI, ABRI berhasil melakukan dominasi terhadap lembaga eksekutif dan legislatif Orde Baru.

Mulai tahun 1970-an, mengutip Kompas, banyak perwira aktif ABRI yang ditunjuk sebagai DPR, MPR maupun DPD tingkat provinsi.

Selain itu, para ABRI juga menempati posisi yang penting dalam pengendalian arah politik dari organisasi Golkar.

Dampak dari adanya dwifungsi ABRI ini adalah berkurangnya jatah warga sipil di bidang pemerintahan karena banyaknya anggota ABRI yang mendominasi pemerintahan.

Hal ini juga menjadikan tidak transparannya sistem pemerintahan di Indonesia pada masa itu.

Puncak dari masa kejayaan dwifungsi ABRI terjadi pada tahun 1990-an, di mana pada saat itu anggota ABRI memegang peranan kunci di sektor pemerintahan, mulai dari bupati, wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, pimpinan perusahaan milik negara, peradilan, hingga menteri di kabinet Soeharto.

Keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik yang semakin mendalam mengakibatkan militer berubah menjadi alat kekuasaan rezim untuk melakukan pembenaran atas kebijakan pemerintah.

Kekuasaan yang dipegang militer juga menyebabkan pelanggaran HAM yang berujung pada kerusuhan.

Dwifungsi hidup lagi?

Ketika gerakan Reformasi bergulir pada 1998, Dwifungsi ABRI menjadi salah satu agenda pokok Reformasi, di samping mengakhiri kekuasaan Presiden Suharto yang sudah berumur 32 tahun.

Setelah Suharto lengser pada 21 Mei 1998, Dwifungsi ABRI perlahan-lahan mulai dihapuskan dengan mencabut TNI dari sejumlah jabatan sipil yang mereka duduki selama Orde Baru.

Namun, hampir 27 tahun setelah Orde Baru runtuh, kekhawatiran akan hidupnya dwifungsi ABRI atau dwifungsi TNI justru kembali muncul.

Pasalnya, revisi UU TNI berencana memperluas kementerian dan lembaga yang dapat diduduki oleh anggota aktif TNI, dari 10 kementerian/lembaga menjadi 16 kementerian/lembaga.

Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, hanya ada 10 kementerian/lembaga yang dapat diduduki anggota TNI, yakni Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Sekretaris Militer Presiden, Pertahanan Negara, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search And Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

Namun, dalam bergulirnya Revisi UU TNI, jabatan yang bisa diemban prajurit aktif bertambah menjadi 16.

Ada lima kementerian/lembaga tambahan yang tercantum dalam draf revisi UU TNI, yaitu  Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, dan  Kejaksaan Agung.

Belakangan, muncul tambahan satu lembaga yang dapat diduduki anggota TNI akitf, yakni Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP).

Menurut Revisi UU TNI Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin mengatakan, keputusan penambahan BNPP ke daftar kementerian/lembaga yang akan bisa diisi prajurit TNI aktif merupakan hasil pembahasan Panja RUU TNI, Sabtu (15/3/2025) di Jakarta.

“Karena dalam peraturan presiden itu dan dalam pernyataannya, BNPP yang rawan dan berbatasan memang ada penempatan anggota TNI,” ujar Hasanuddin, diberitakan Antara, Sabtu.

Sesuai revisi UU TNI tersebut, prajurit TNI aktif tidak perlu mengundurkan diri dari kedinasan jika menempati jabatan di dalam kementerian/lembaga negara tersebut.

Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.