21 April 2025

Get In Touch

Kabinet Prabowo-Gibran Dinilai Gemuk, Pengamat Politik UB Minta Pemerintah Lakukan Evaluasi Total

Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB), Dr. Abdul Aziz S.R.,
Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB), Dr. Abdul Aziz S.R.,

MALANG (Lentera) - Struktur kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran yang dinilai gemuk mendapat sorotan dari kalangan akademisi. Kabinet besar ini dinilai tidak sejalan dengan penguatan fondasi ekonomi nasional.

Pengamat politik Universitas Brawijaya (UB), Dr. Abdul Aziz S.R., meminta pemerintah segera mengevaluasi arah kebijakan ekonominya yang dianggap kontraproduktif dan membebani anggaran negara.

Aziz menyoroti tiga persoalan utama di awal pemerintahan Prabowo-Gibran ini. Pertama, terkait kebijakan efisiensi anggaran yang tidak sejalan dengan kenyataan politik di lapangan, yakni pembentukan kabinet berstruktur besar dengan banyak pos kementerian.

"Kabinet gemuk dan efisiensi itu dua hal yang tidak bertemu. Karena kabinet yang besar membutuhkan anggaran yang besar pula. Sedangkan untuk mencapai efisiensi, anggaran harus disesuaikan," ujarnya, Senin (14/4/2025). 

Dijelaskannya, alokasi anggaran yang terlalu besar untuk belanja rutin pemerintahan, termasuk gaji pejabat berisiko menggerus anggaran pembangunan. Terlebih lagi soal pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Menurutnya, dua hal ini mengancam kemampuan negara untuk melakukan investasi produktif jangka panjang.

"Program seperti MBG memang tampak pro-rakyat, tetapi biayanya sangat besar. Dampaknya, anggaran yang akan digunakan untuk belanja pembangunan (investasi) akan sangat berkurang," tegasnya.

Persoalan kedua, lanjut Aziz, adalah respons negatif dari pasar terhadap berbagai kebijakan ekonomi yang telah diumumkan pemerintah. 

Aziz mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah hingga mencapai Rp17.000 per dolar AS, menjadi indikator kuat, pelaku pasar tidak percaya terhadap prospek ekonomi di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.

"Ini bahkan lebih parah daripada kondisi akhir Orde Baru. Artinya, pasar tidak yakin dan tidak percaya dengan arah kebijakan pemerintahan Prabowo,” katanya.

Salah satu kebijakan yang disoroti tajam adalah pembentukan Danantara, lembaga baru yang bertugas mengelola aset BUMN dalam bentuk dana tunai untuk proyek pemerintah. Menurut Aziz, ide tersebut tidak menjawab kebutuhan mendasar pasar dan justru menambah ketidakpastian.

Catatan ketiga yang disampaikan Aziz adalah inkonsistensi dalam ucapan dan tindakan Presiden Prabowo. Ia mencontohkan pernyataan Prabowo yang menolak impor komoditas. Namun beberapa waktu kemudian justru menginstruksikan menteri-menterinya untuk membuka keran impor, meski tanpa kuota.

"Pola seperti ini sangat mirip dengan pemerintahan sebelumnya. Hanya copy paste gaya pemerintahan Jokowi. Padahal, publik mengharapkan perubahan yang lebih mendasar," tutur pengajar FISIP UB itu.

Aziz juga mengingatkan potensi ancaman krisis ekonomi dan fiskal yang semakin nyata. Ia membeberkan, beban pembayaran bunga utang negara yang mencapai Rp700–800 triliun per tahun, tidak sebanding dengan kondisi anggaran negara yang cenderung defisit.

Ia menambahkan, jika arah kebijakan ekonomi saat ini tidak segera diperbaiki, maka dampaknya bukan hanya pada aspek keuangan negara, tetapi juga akan merembet ke instabilitas politik dan sosial.

"Karena itu, pemerintah mesti berhati-hati, dan perlu segera mengevaluasi kebijakan-kebijakan ekonominya yang kontraproduktif," pungkas Aziz.

Reporter: Santi Wahyu|Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.