Kebijakan Tarif Impor Trump Gegerkan Ekonomi Global, Akademisi UB Ungkap Dampak dan Peluang untuk Indonesia

MALANG (Lentera) - Kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat ke-47, Donald Trump, terhadap China memicu kegaduhan dalam perekonomian global. Akademisi Universitas Brawijaya (UB) pun angkat bicara, mengungkap sejumlah dampak yang berpotensi menekan stabilitas ekonomi dunia, namun sekaligus membuka peluang strategis bagi Indonesia.
Pakar Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), Dr.rer.pol. Wildan Syafitri, SE., ME., menilai kebijakan tersebut mencerminkan upaya Amerika Serikat dalam melindungi perekonomian domestiknya.
"Jika dilihat secara menyeluruh, kebijakan tarif ini bertujuan mengurangi defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran Amerika Serikat terhadap China," ujarnya, Kamis (17/4/2025).
Ketua Program Studi Magister Ekonomi FEB UB ini menyoroti potensi dampak lanjutan yang dikenal dengan istilah spillover effect, yakni efek domino yang memengaruhi perekonomian negara lain akibat kebijakan ekonomi negara besar seperti AS dan China.
"Gejala spillover ini pasti akan muncul karena China tidak hanya berperan sebagai negara eksportir, tetapi juga mengimpor bahan baku dari negara lain, termasuk Indonesia," terang Wildan.
Namun, Wildan menilai kebijakan Trump ini kontradiktif dengan prinsip perdagangan bebas atau free trade. Menurutnya, persaingan ekonomi global seharusnya didasarkan pada daya saing produk, bukan pengenaan tarif tinggi.
"Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Bu Sri Mulyani, kebijakan ini tidak bisa dianalisis sepenuhnya menggunakan pendekatan ekonomi konvensional,” tambahnya.
Menurut teori ekonomi klasik seperti keunggulan komparatif dan keunggulan absolut, kata Wildan, efisiensi dan daya saing adalah kunci utama dalam perdagangan internasional. Kebijakan tarif justru akan menaikkan harga barang, menurunkan consumer surplus, dan menciptakan dead weight loss yang merugikan semua pihak.
Ia juga mengingatkan, kebijakan sepihak semacam ini bisa memicu ketidakpastian politik global dan membuka celah bagi negara lain untuk turut melanggar prinsip perdagangan bebas.
Namun, Wildan optimistis Indonesia tetap bisa menjaga stabilitas ekonomi, mengingat keberhasilan pemerintah dalam menjaga surplus neraca perdagangan dan terhindar dari inflasi maupun resesi pasca-pandemi COVID-19.
"Solusinya bisa melalui pengalihan pasar ekspor AS ke negara lain seperti Singapura, peningkatan daya saing produk nasional melalui inovasi, serta penguatan pasar domestik," katanya.
Berbeda dengan Wildan, dosen Kebijakan Publik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Administrasi UB, Andhyka Muttaqin, S.AP., M.PA., justru melihat kebijakan tarif AS sebagai peluang strategis bagi Indonesia.
"Kebijakan penangguhan tarif AS bisa menciptakan kepastian jangka pendek dan membuka peluang relokasi industri dari China ke Indonesia," ujarnya.
Menurutnya, tekanan terhadap produk China membuat banyak perusahaan multinasional mempertimbangkan untuk memindahkan basis produksinya ke negara-negara alternatif seperti Indonesia, khususnya dalam sektor manufaktur berorientasi ekspor.
"Ini bisa meningkatkan foreign direct investment (FDI) dari perusahaan yang ingin menghindari tarif tinggi di China," jelasnya.
Andhyka menekankan, kebijakan resiprokal selama 90 hari ini harus dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah Indonesia. Salah satunya adalah dengan memperkuat posisi dalam negosiasi dagang, seperti perluasan fasilitas GSP (Generalized System of Preferences) bagi produk Indonesia. (*)
Reporter: Santi Wahyu
Editor : Lutfiyu Handi