
JAKARTA (Lentera) - CRISPR semakin dikenal setelah beberapa kali berhasil 'menghidupkan' kembali spesies hewan yang telah punah. Namun, jauh sebelum itu, teknologi ini sebenarnya sudah memiliki potensi untuk memperbaiki DNA dan menciptakan versi terbaik dari manusia.
CRISPR adalah alat atau teknik pemotong DNA terbaik yang kini dimiliki oleh umat manusia. Ia merupakan singkatan dari Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats. Artikel ilmiah Pubmed Central berjudul 'What is CRISPR/Cas9' menjelaskan bahwa teknik ini bekerja mencari kode DNA tertentu, membuat potongan presisi untuk memisahkannya ketika digunakan bersama dengan protein Cas9.
Karena para ilmuwan dapat menyetel CRISPR untuk menargetkan urutan genetik apa pun, gen dapat ditambahkan, dihapus, atau diganti dengan gen baru, sehingga menghasilkan urutan genetik baru.
Pada tahun 2020, para ilmuwan dari Washington University of Texas berhasil melakukan pengeditan gen CRISPR-Cas 9 untuk mengubah sel punca menjadi sel beta untuk menyembuhkan diabetes. Hasil tes telah diterbitkan dalam jurnal Science Translational Medicine.
Tahun 2018, Para ilmuwan di University of Texas Southwestern Medical Center memanfaatkan CRISPR untuk memperbaiki mutasi yang menyebabkan distrofi otot Duchenne di jantung.
Tahun 2017, para dokter di di Casey Eye Institute, Oregon Health & Science University di Portland mencoba menyembuhkan manusia dari kebutaan.
Pasien menderita amaurosis kongenital Leber, yang disebabkan oleh mutasi gen yang mencegah tubuh memproduksi protein yang dibutuhkan untuk mengubah cahaya menjadi sinyal ke otak. Dokter meneteskan tiga tetes cairan berisi mesin penyuntingan gen melalui tabung selebar sehelai rambut hingga tepat di bawah retina.
"Setelah sel diedit, sel tersebut bersifat permanen dan diharapkan sel tersebut akan bertahan seumur hidup pasien," karena sel-sel ini tidak membelah, kata Dr. Eric Pierce di Massachusetts Eye and Ear, seorang pemimpin studi dilansir The Guardian.
Bukan tidak mungkin kemajuan teknologi biomedis ini mampu menciptakan manusia dengan kualitas terbaik di masa depan. Ia bisa punya otak yang cerdas, kebal penyakit sampai fisik yang bagus sesuai keinginan. Siapa yang tak mau?
Pada tahun 2018, seorang ilmuwan Tiongkok, He Jiankui, menggunakan CRISPR di level embrio manusia untuk menciptakan anak perempuan kembar kebal terhadap infeksi HIV, virus penyebab AIDS. Jiankui menghapus gen CCR5 dari DNA anak perempuan tersebut. Tak disangka, penghapusan gen CCR5 ini dibarengi oleh peningkatan kecerdasan anak itu. Ternyata belakangan ditemukan bahwa ada korelasi antara CCR5 dan kognisi.
'Good bye' SDM Rendah?
Gebrakan dalam dunia biomedis ini menimbulkan banyak pertanyaan dalam hal etika. Apakah manusia mencoba 'bermain peran' sebagai Tuhan? Menyetir arah alami perkembangan manusia? Di manakah kita harus menarik garis batas antara penggunaan rekayasa genetika yang 'dapat diterima' dan yang 'tidak dapat diterima?'
CRISPR merupakan teknologi yang mahal. Karena mahal, sadar atau tidak, hanya orang-orang tertentu saja yang punya banyak duit yang bisa mengakses teknologi ini. Mereka bisa lebih leluasa mewarisi keturunan dengan gen terbaik.
Jika hanya yang kaya yang mampu meningkatkan kualitas anak-anak mereka, bukan tidak mungkin teknologi ini melahirkan masalah ketimpangan baru, yakni membagi kelas antara si kaya dan si-biasa-saja yang miskin secara genetik.
Orang kaya punya keleluasaan dapat membuat anak-anak mereka lebih unggul secara genetik. Anak-anak yang unggul secara genetik bisa lebih pintar, lebih menarik, memiliki suara bagus bak penyanyi, memberi mereka akses ke pekerjaan yang lebih baik sampai jadi selebriti papan atas.
Belum lagi, sampai saat ini, komunitas ilmiah masih belum mengembangkan konsensus atau kesepakatan dalam metode penggunaan CRISPR pada manusia. Penggunaannya sangat bertumpu pada kebijaksanaan peneliti maupun institusi yang punya kapasitas menerapkannya pada hal-hal yang wajar. Sayangnya, 'wajar' tiap-tiap orang memiliki definisi yang berbeda tergantung di mana dia berada.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber