
SURABAYA (Lentera)- Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya akan menerapkan sanksi sosial kepada pasien tuberkulosis (TBC) yang tidak mau atau mangkir berobat rutin atau diobati.
Bentuk sanksi sosial yang akan diberlakukan adalah menonaktifkan nomor induk kependudukan (NIK) pasien TBC.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengatakan, sanksi tersebut diberlakukan agar TBC tidak semakin meluas ke seluruh warga Kota Surabaya.
”Ya (NIK dan BPJS) diberhentikan semuanya, termasuk kegiatan yang untuk adminduknya (administrasi kependudukannya) akan kita bekukan semuanya. Karena kan itu membahayakan warga semuanya, baru bisa aktif lagi ketika dia (pasien) mau berobat lagi, lalu mau sanksi apa yang akan kita berikan lagi? Kalau tidak mau berobat, kemudian menular ke warga lainnya kan jadi bahaya,” kata Eri, Senin (28/4/2025).
Eri menjelaskan, sanksi ini diberlakukan berdasarkan Peraturan Wali Kota (Perwali) Nomor 117 Tahun 2024 tentang Penanggulangan TBC di Kota Surabaya. Tujuan diterapkannya perwali tersebut adalah untuk meningkatkan upaya percepatan eliminasi TBC di Kota Surabaya tahun 2030.
"Selain itu, aturan ini juga untuk memastikan masyarakat mendapatkan hak sehat melalui fasilitasi skrining TBC, baik di fasyankes dan mandiri, serta memastikan terduga penderita TBC mendapatkan pelayanan sesuai standar dan menurunkan angka drop out atau putus berobat," tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya, Nanik Sukristina mengatakan, berdasarkan perwali nomor 117 tahun 2024 pasal 26 dan 29, pasien penderita TBC Sensitif Obat (SO) dan TBC Resisten Obat (RO) yang mangkir selama satu minggu tanpa konfirmasi dan terdapat indikasi drop out atau menolak pengobatan, rumahnya akan ditempel stiker “Mangkir Pengobatan”.
Dalam penerapannya, Pemkot Surabaya akan membentuk tim Hexahelix, yang terdiri dari unsur kecamatan, kelurahan, puskesmas, Bhabinkamtibmas, Babinsa, RT/RW, tokoh agama, tokoh masyarakat, Satgas TBC, Kader Surabaya Hebat (KSH), hingga peer educator.
”Mekanisme yang dilakukan dengan intervensi berupa satu kali kunjungan rumah oleh puskesmas dan dua kali kunjungan rumah oleh Tim Hexahelix wilayah, untuk memberikan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) sanksi administratif. Jika sudah dilakukan intervensi sebanyak tiga kali dan tetap tidak ada perubahan, maka dilakukan pemasangan stiker “Mangkir Pengobatan” di rumah pasien,” jelas Nanik.
Setelah itu, pemkot juga akan melakukan penonaktifan NIK dan BPJS. Penonaktifan NIK dan BPJS ini dilakukan, jika penderita TBC SO dan TBC RO menolak untuk ditempel stiker “Menolak Pengobatan” dan tidak mau menandatangani surat pernyataan ketika menolak pengobatan.
“Pasien TBC yang telah melakukan penandatanganan penolakan pengobatan, dilakukan pemasangan stiker menolak dan pasien TBC yang menolak melakukan penandatanganan tersebut, maka akan dibuatkan berita acara penolakan dan pasien menandatangani surat pernyataan menolak pengobatan TBC. Jika tidak kembali melakukan pengobatan, maka akan masuk ke alur penonaktifan KK dan BPJS Kesehatan,” ungkapnya.
Nanik menerangkan, jika pasien TBC SO dan TBC RO sudah kembali melakukan pengobatan, puskesmas bersama Tim Hexahelix akan melakukan proses pengaktifan kembali KK dan BPJS Kesehatan pasien. Pengaktifan BPJS Kesehatan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan kondisi pasien dalam keadaan sehat atau sakit.
Pemkot tidak hanya menerapkan aturan tersebut pada warga Surabaya, akan tetapi juga berlaku bagi warga pindah datang dari luar kota. Berdasarkan Perwali nomor 117 Pasal 1 ayat 19, Pasal 9, dan 25 huruf f, pemohon pindah masuk dari luar Kota Surabaya wajib melakukan skrining TBC di puskesmas wilayah.
“Nah, setelah pengajuan pindah masuk diterima melalui aplikasi Klampid New Generation, dilanjutkan dengan skrining TBC di puskesmas wilayah. Kemudian, hasil skrining dari puskesmas itu jadi persyaratan untuk pengambilan KTP. Lalu, apabila hasil skrining mengarah ke tanda dan gejala TBC, maka segera dilakukan tatalaksana TBC sesuai standar di fasyankes,” ujarnya.
Di sisi lain, Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) Surabaya, Eddy Christijanto menyampaikan, jika ada pasien penderita TBC yang tidak mau mengikuti pengobatan yang dilakukan Pemkot Surabaya, maka pembuatan KTP atau NIK beserta BPJS Kesehatannya akan dinonaktifkan.
“Sehingga mereka tidak bisa melakukan pengobatan ke unit-unit faskes, akan tetapi kalau mereka mau mengikuti pengobatan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya sampai sembuh, maka mereka tidak ada konsekuensi itu,” kata Eddy.
Bagi penduduk yang pindah dari luar kota ke Surabaya, lanjut Eddy, setelah mengurus KK dan sebelum diterbitkannya KTP, maka orang tersebut wajib mengikuti skrining TBC yang dilakukan oleh Dinkes Surabaya. Setelah hasil skrining tersebut keluar dan dinyatakan tidak ada indikasi terjangkit TBC, maka bisa segera dilakukan pencetakan KTP oleh Dispendukcapil.
”Misalnya, dari hasil skrining itu ada tanda gejala TBC, dan mereka (pemohon) mau melakukan pengobatan, juga akan kita terbitkan (KTP). Tapi ketika hasil skrining mereka ternyata mengidap TBC, tapi tidak melakukan atau tidak bersedia untuk mengikuti program pengobatan pemkot, maka KTP tidak kita terbitkan,” tegasnya.
Eddy menambahkan, hasil dari skrining TBC yang sudah diterima oleh pemohon nantinya dilampirkan ketika akan mengurus permohonan pencetakan KTP.
“Jadi (penonaktifan KTP) ini by system, karena kewenangan TBC ini ada di dinkes termasuk puskesmas, nanti puskesmas itu yang memberikan laporan data kependudukan pasien ke kita dan nantinya akan terekam di data kita,” pungkasnya.
Reporter: Amanah|Editor: Arifin BH