
SURABAYA (Lentera) – Kekhawatiran terhadap masa depan kupu-kupu semakin mencuat di kalangan akademisi. Studi yang diterbitkan di jurnal Science mencatat, dalam rentang waktu 20 tahun (2000–2020), populasi kupu-kupu di Amerika mengalami penurunan sebesar 22 persen. Kondisi serupa juga mengancam sejumlah spesies kupu-kupu di Indonesia.
Dikutip dari laman IPB University pada Selasa (29/4/2025), “Penurunan populasi ini berkorelasi erat dengan kualitas lingkungan, terutama ketersediaan food plant (tanaman pakan) dan host plant (tanaman inang) bagi serangga bersayap indah ini,” ujar Prof Noor Farikhah Haneda, Guru Besar IPB University dari Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan (Fahutan) dalam mengungkapkan fenomena ini yang disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan.
Ia menambahkan polusi dan perubahan iklim turut memperparah situasi. “Faktor-faktor seperti penurunan kualitas udara, lingkungan, ketersediaan makanan, dan hilangnya habitat menjadi penyebab utama tren penurunan ini,” tegasnya.
Menurut Prof Noor, kupu-kupu sangat bergantung pada kondisi habitatnya. “Kupu-kupu cenderung menjadikan hutan sebagai habitat utama. Namun, mereka juga mencari makan dan beraktivitas di area terbuka yang terpapar sinar matahari, termasuk pemukiman,” jelasnya.
Dalam menghadapi ancaman ini, Prof Noor menekankan pentingnya solusi berbasis lingkungan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Solusi Jangka Pendek:
1. Penyediaan cairan madu di area tertentu, seperti di Kampus IPB (sekitar Faperta dan GWW), untuk menyediakan sumber makanan cepat bagi kupu-kupu.
2. Penanaman tanaman berbunga di lokasi strategis, misalnya di taman kota, halaman kampus, area perumahan, atau ruang terbuka yang mudah dijangkau kupu-kupu.
3. Peningkatan kesadaran masyarakat, melalui kampanye kecil tentang pentingnya kupu-kupu dan ajakan untuk menanam tanaman berbunga di lingkungan sekitar.
4. Pemeliharaan habitat yang masih ada, dengan melindungi kawasan hijau yang tersisa agar tidak semakin berkurang.
Solusi Jangka Panjang:
1. Menanam tanaman berbunga secara berkelanjutan, membangun taman kupu-kupu dan memperbanyak tanaman inang serta pakan nektar di area publik dan privat.
2. Penguatan dan penegakan regulasi tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH), mewajibkan kawasan industri, pabrik, dan pemukiman baru menyediakan minimal 30 persen RTH sesuai UU No. 26 Tahun 2007.
3. Pembangunan hutan kota dan koridor hijau, dengan menyediakan kawasan hutan kota minimal 10 persen dari luas kota untuk habitat alami kupu-kupu.
4. Pengelolaan pembangunan berbasis lingkungan, merancang kawasan industri dan pemukiman dengan memperhitungkan pelestarian lingkungan, misalnya dengan buffer zone berupa taman hijau.
5. Penelitian dan monitoring populasi kupu-kupu, mengadakan studi rutin untuk memantau populasi dan kesehatan habitat kupu-kupu sehingga strategi konservasi dapat dievaluasi dan diperbarui.
6. Pendidikan lingkungan sejak dini, dengan memasukkan materi tentang pentingnya polinator, termasuk kupu-kupu, ke dalam kurikulum pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Ia juga mengingatkan bahwa regulasi sebenarnya telah mendukung upaya konservasi ruang hijau. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa minimal 30 persen wilayah kota harus dialokasikan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH). Aturan ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 serta Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2022 tentang penyediaan dan pemanfaatan RTH. Selain itu, PP No. 63 Tahun 2002 menetapkan bahwa keberadaan hutan kota harus mencakup minimal 10 persen dari total luas wilayah kota.
Menutup pernyataannya, Prof Noor menyerukan pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian alam. “Perlunya kebijakan yang bijak dan terintegrasi antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan demi menjaga keanekaragaman hayati, termasuk keberlangsungan hidup kupu-kupu,” tutupnya.
Penulis: Novi-Mg3/Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber