22 May 2025

Get In Touch

Guru Besar FK UB Soroti Independensi Kolegium Baru dan Sistem Hospital Based

Aksi Terbuka: Suara Keprihatinan Guru Besar FK UB terhadap Masa Depan Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran, Selasa (20/5/2025). (Santi/Lentera)
Aksi Terbuka: Suara Keprihatinan Guru Besar FK UB terhadap Masa Depan Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran, Selasa (20/5/2025). (Santi/Lentera)

MALANG (Lentera) - Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB) menyuarakan kekhawatiran terhadap independensi kolegium baru dan penerapan sistem hospital based, yang dinilai berpotensi menurunkan kualitas penyelenggaraan pendidikan kedokteran di Indonesia.

Pernyataan sikap itu disampaikan langsung oleh jajaran pimpinan FK UB, yakni Dekan FK UB, Prof. dr. Wisnu Barlianto, SpA(K), M.Si.Med, Ph.D, serta Wakil Dekan Bidang Akademik, Prof. dr. Mohammad Saifur Rohman, Sp.JP(K), Ph.D.

Keduanya menyoroti perubahan signifikan dalam mekanisme kerja kolegium, yang diatur oleh UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Perubahan utama adalah kolegium dinilai tidak lagi independen di bawah organisasi profesi, melainkan menjadi bagian dari Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).

"Kolegium yang baru ini dipilih langsung oleh Kemenkes. Padahal menurut Undang-Undang Kesehatan No. 13, kolegium adalah kelompok ahli yang harus diusulkan oleh perhimpunan profesi," ujar Prof. Wisnu, Selasa (20/5/2025).

Ia menambahkan, independensi kolegium sangat penting untuk menjaga kualitas pendidikan dan standar kompetensi lulusan kedokteran.

Isu lain yang disoroti adalah penerapan sistem hospital based dalam pendidikan kedokteran. Sistem ini mengandalkan rumah sakit sebagai pusat utama pendidikan, dengan fakultas kedokteran berperan sebagai pendamping.

Meskipun bertujuan mulia untuk meningkatkan jumlah dokter di Indonesia, implementasinya dinilai belum matang dan bisa menimbulkan masalah baru.

Prof. Wisnu menekankan, tidak semua rumah sakit memiliki kesiapan infrastruktur dan sistem pendidikan yang layak untuk mencetak dokter spesialis yang kompeten. "Kualitas harus tetap dijaga. Kami khawatir bila RS belum siap, maka lulusannya pun tidak akan kompeten," tegasnya.

Selain itu, ia juga mengingatkan potensi tumpang tindih antara program pendidikan yang sudah berjalan di universitas dengan program hospital based baru yang ditetapkan tanpa koordinasi.

Senada, Prof. Saifur menjelaskan, kolegium merupakan salah satu dari tiga pilar utama pendidikan kedokteran selain fakultas kedokteran sebagai pelaksana pendidikan dan rumah sakit sebagai wahana pendidikan.

"Selama ini, kolegium berperan menyusun kurikulum, menetapkan asesmen kecukupan pembukaan program studi spesialis dan subspesialis, serta memastikan rumah sakit memenuhi standar pendidikan," tuturnya.

Namun kini, menurutnya, terdapat kekhawatiran bahwa kewenangan kolegium telah digeser dan menjadi alat pelaksana kebijakan, bukan lagi mitra akademik yang independen.

Prof. Saifur menambahkan, dialog terbuka dan kolaborasi lintas institusi sangat penting untuk menyelesaikan persoalan ini. "Semua pihak harus duduk bersama. Ini bukan soal siapa yang berwenang, tapi bagaimana memastikan kualitas dokter Indonesia tetap terjaga," tegasnya.

Untuk diketahui, dalam pernyataan sikap resminya, para Guru Besar FK UB menyoroti empat poin utama. Pertama, mereka menuntut pemulihan fungsi kolegium sebagai lembaga independen tanpa intervensi non-akademik.

Kedua, mereka mendesak terciptanya kemitraan sejajar antara Kemenkes, Kementerian Pendidikan, kolegium, rumah sakit, dan institusi pendidikan.

Ketiga, mereka menegaskan pentingnya mempertahankan marwah dan kemandirian perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan. Otonomi akademik dan etika keilmuan disebut sebagai pilar penting yang tidak boleh diganggu.

Terakhir, mereka mendukung reformasi tata kelola pendidikan kedokteran yang menjunjung integritas, transparansi, dan keadilan.

Reporter: Santi Wahyu/Editor: Ais

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.