23 May 2025

Get In Touch

Kasih Ibu Sepanjang Masa, Bakti Fatimah Seluas Samudra

Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas Deka Kurniawan memberi motivasi pada jamaah haji lansia dan disabilitas Junaina M Tayyib di Madinah (Ant)
Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas Deka Kurniawan memberi motivasi pada jamaah haji lansia dan disabilitas Junaina M Tayyib di Madinah (Ant)

MADINAH (Lentera) -Betapa bahagia Fatimah Zahro (50) saat mendapati dirinya dipanggil berhaji tahun ini. Ia telah menunggu 13 tahun lamanya.

Kebahagiaannya terasa makin sempurna saat ia mendapati ibundanya, Junaina M Toyyib (78), yang menurut jadwal sebenarnya baru dapat berangkat tahun depan, bisa turut bersamanya berhaji tahun 2025.

Fatimah merasa harus berangkat dengan Junaina, karena sejak 2016, mata ibunya buta lantaran komplikasi penyakit diabetes melitus yang dideritanya. Junaina juga lumpuh dan tak lagi bisa berjalan karena kerusakan saraf (neuropatic diabetic) di kakinya.

Penyakit gula juga menyebabkan luka di kaki Junaina tak kunjung sembuh. Jadilah dia menjadi penyandang disabilitas ganda. Ia lumpuh, buta sekaligus lansia.

Selama proses administrasi haji di Tanah Air, semuanya tampak berjalan normal. Junaina, Fatimah Zahro dan suaminya menyelesaikan proses administrasi dengan lancar. Mereka semua juga lolos syarat istithaah dari otoritas kesehatan Indonesia, sehingga ketiganya bisa melunasi biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) dan bisa diberangkatkan berhaji.

Tiga orang sekeluarga asal Jember Jawa Timur itu pun terbang ke Tanah Suci melalui embarkasi Surabaya. Mereka tercatat pada kloter 31 Surabaya yang mendarat di Bandara Muhammad bin Abdul Aziz Madinah.

Fatimah sangat menyadari, melakukan perjalanan haji bersama ummi-nya yang lumpuh, buta dan lansia akan menjadi perjalanan yang tidak mudah.

Sebagai jamaah lansia dengan disabilitas ganda, Junaina memang sangat membutuhkan pendamping, dan Fatimah Zahrolah pendamping Junaina. Fatimah pun memantapkan diri untuk menjadi pendamping terbaik bagi ibunya.

"Aku akan menjadi mata dan kaki tangan ummi selama di Tanah Suci," kata Fatimah, yang sehari-hari menjadi pengasuh sebuah madrasah di Jember dengan suara bergetar. Ia berjanji akan menjaga ummi-nya kemana pun ia pergi, ia tak akan berpisah dan meninggalkan Junaina.

Madinah yang saat ini sangat terik tetap menjadi tempat yang nyaman bagi anak-emak itu untuk menunaikan arbain, shalat fardu berturut-turut 40 kali tanpa terputus. "Ummi sangat bersemangat shalat di Masjid Nabawi, ia selalu pingin berada di shaf terdepan," katanya.

Qodarrullah, ketentuan takdir Allah menguji kebersamaan Fatimah dan Junaina. Karena mereka berselisih bulan saat mendaftar haji 13 tahun lalu, pada saat proses pembagian syarikah, perusahaan penyelenggara haji yang mengurus mereka di Arab Saudi, Fatimah dan Junaini mendapat syarikah yang berbeda.

Akibatnya, ketika hendak berangkat ke kota Makkah, untuk memulai rangkaian ibadah haji, mereka tak tercantum dalam manifes bus yang sama.

Mobilisasi jamaah haji dari Madinah ke Makkah, baru-baru ini, memang sedikit terkendala. Sebabnya macam-macam, bisa karena soal kartu nusuk, berbeda syarikah, maupun administrasi manifes keberangkatan bus.

Akibatnya juga bisa beragam, salah satunya adalah jamaah yang berada dalam satu kloter bisa terpisah akomodasi hotel maupun transportasinya saat di Tanah Suci. Suami dan istri yang terbang satu kloter bisa saja akhirnya terpisah hotel dan transportasinya.

Kondisi itu juga menimpa Fatimah Zahro dan Junaina. Fatimah dan suaminya terdaftar dalam satu manifes bus, bus nomor 6. Sedangkan Junaina tercerai dari rombongan, karena namanya tercantum di manifes bus nomor 10. Fatimah bersikeras agar ibunya dapat turut bersamanya, karena ia tahu ibunya yang lansia dan penyandang disabilitas ganda itu tak mungkin terlepas dan tanpa pendampingan darinya.

Akhirnya, demi berjuang agar tidak tercerai dari ibunya, ia memilih keluar dari bus dan tinggal bersama ibunya, sedangkan suaminya tetap melanjutkan pergi ke Makkah, turut bersama rombongannya yang berangkat pada Selasa (20/5) pagi menuju Tanah Suci.

“Saya langsung menolak. Saya tidak bisa tinggalkan ibu,” ujar Fatimah. “Ibu saya tidak bisa melihat. Ia harus ditemani, apalagi ini perjalanan panjang menuju Makkah.”

Sejenak, suasana menjadi genting. Aturan syarikah memang tak mengenal pengecualian. Namun Fatimah teguh untuk tetap bersama ummi tercintanya, dan memilih ditinggal rombongannya ke Makkah.

Petugas layanan lansia dan disabilitas sektor dua Madinah, Siti Maria Ulfa, bergerak cepat membantu Fatimah. Mereka bernegosiasi dengan pihak syarikah, mencabut nama Fatimah dan ibunya dari manifes.

“Saya bahagia sekali. Alhamdulillah, saya tetap bisa mendampingi ibu saya. Ummi tak bisa berjalan jauh, tak bisa melihat dunia. Tapi ia punya semangat luar biasa untuk berhaji. Saya tak akan biarkan ia sendirian,” kata Fatimah menahan air mata.

Siti Maria Ulfa lalu menyusun skema pemberangkatan mandiri untuk Fatimah dan ibunya, satu skema yang sebenarnya tidak ada dalam sistem pemberangkatan jamaah yang akan memulai haji ke Mekkah.

"Saya harus sekuat tenaga membantu mereka. Saya punya ibu, dan saya belum bisa sepenuhnya berbakti padanya. Karena itu saya harus bantu mbak Fatimah dan ibu Junaina," katanya.

Siti Maria lantas mengevakuasi Fatimah dan Junaina ke kantor sektor dua yang berada di Hotel Abraj Tabah Tower Madinah, dan melakukan koordinasi dengan petugas Kantor Urusan Haji Indonesia Daerah Kerja (Daker) Madinah untuk secepatnya membantu memberangkatkan mereka.

Di saat yang sama, ia juga terus menenangkan dan meyakinkan dua perempuan ibu beranak itu dan menjanjikan bahwa pasti mereka akan segera ke Makkah . "Pasti nanti akan diberangkatkan," katanya.

Sebagai petugas haji yang telah disumpah untuk melayani jamaah, Siti Maria merasa harus sepenuh hati membantu Fatimah dan Junaina . "Kita petugas kan sudah berjanji akan melayani jamaah. Jadi itu harus kita kerjakan, bagaimanapun sulitnya kondisi jamaah kita," katanya.

Wakil Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) Deka Kurniawan menyebut apa yang dilakukan petugas haji layanan lansia dan disabilitas Siti Maria Ulfa dan Fatimah Zahro, sebagai teladan kemanusiaan yang tak ternilai.

“Ini bukan soal administrasi. Ini soal hati. Jamaah lansia dan disabilitas bisa mengalami stres berat kalau tidak bersama pendampingnya. Karena itu saya memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas inisiatif dan keberanian petugas, ” ungkap Deka, dikutip Antara, Jumat (23/5/2025).

Menurut Deka, langkah tersebut sangat penting, terutama bagi jamaah dengan disabilitas mental atau lansia dengan demensia.

Kasus Fatimah-Junaina memang bukan satu-satunya kasus terpisahnya keluarga pada musim haji 2025. Sejak sistem syarikah diberlakukan, puluhan bahkan ratusan jamaah sempat terpisah dari kelompoknya. Tapi kini, satu per satu mereka berhasil dipersatukan kembali. Termasuk rombongan terakhir yang diberangkatkan dari Diyar Taibah, Madinah, dengan 13 bus coaster.

Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Indonesia juga telah bernegosiasi dengan Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi, agar di sisa waktu musim haji ini dapat menerapkan aturan penyelenggaraan haji yang lebih lentur dan lebih manusiawi dan mendukung reunifikasi jamaah yang terpisah dengan keluarga dan pendampingnya.

PPIH berharap kebijakan reunifikasi ini juga dapat dilanjutkan saat jamaah berada di Makkah dan bersiap menghadapi puncak ibadah di Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Dengan napas yang lebih panjang, Fatimah kini tengah menjalani rangkaian ibadah di Makkah bersama ibunya. Ia tahu, perjuangannya belum usai. Tapi satu hal pasti, cinta dan baktinya telah memenangkan kebersamaannya bersama ummi tercinta.

Fatimah berjanji akan makin banyak memanjatkan doa di tempat-tempat mustajab, agar ia dan ibunya menjadi haji yang mabrur, ia tetap menjadi anak yang berbakti dan ibunya diberi kesehatan dan pulang ke Tanah Air dengan selamat (*)

Editor: Arifin BH

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.