
SURABAYA (Lentera) - PBNU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengecam dan meminta pembuatt konten di media sosial 'hari pertama masuk neraka' dihukum.
Video AI dengan judul 'Hari Pertama masuk neraka cek' menampilkan seorang pria sedang berada di dalam 'sungai' yang seolah-olah seperti aliran api. Pria tersebut berada di 'sungai api' dengan latar kobaran api.
Video kedua 'AI, hari kedua di negara cek part1', menampilkan seorang pria mengenakan baju putih sedang membuat vlog dengan latar belakang kobaran api. Dalam video itu juga menampilkan pria lainnya mengenakan baju compang-camping, juga dengan latar kobaran api.
Gambar selanjutnya menampilkan pria yang mengaku berenang di aliran lava. Di belakang pria tersebut tampak sekelompok orang berenang di 'lava'.
"Liburan dulu guys, nyobain mandi lava, ternyata seru juga, panasnya mantul," kata pria dalam video itu.
Ketua PBNU, Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur), meminta konten kreator tak membuat konten yang merendahkan surga dan neraka. "Tidak boleh membuat konten yang melecehkan atau menertawakan surga dan neraka, bahkan jika konten itu menunjukkan ketidakpercayaan atau merendahkan terhadap adanya neraka itu hukumnya murtad dan dosa besar," kata Gus Fahrur, dikutip detiknews, Selasa (10/6/2025).
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa surga dan neraka diyakini oleh semua pemeluk agama. Menurutnya, mempercayai adanya surga dan negara merupakan bagian dari keimanan umat beragama.
"Percaya surga dan neraka adalah bagian dari keimanan yang diajarkan semua agama dan diyakini semua pemeluknya," ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan MUI, Utang Ranuwijaya, mengatakan konten tersebut diduga menodai agama.
Utang Ranuwijaya mengkritik keras video AI tersebut. Utang menyebut konten YouTube itu termasuk perbuatan menyesatkan dan menodai agama.
"Isi cerita dalam video itu merupakan upaya pendangkalan akidah Islam, dengan terlalu menyederhanakan gambaran api neraka, sehingga mereka bisa bercandaria ketika berada di neraka. Dari sisi ajaran Islam, ini bisa termasuk kategori perbuatan yang menyesatkan umat dan menodai ajaran agama," kata Utang dikutip detiknews, Sabtu (7/6/2025).
Dia menyebutkan dalam bahwa sebuah hadis menggambarkan api neraka itu 70 kali panasnya api dunia. Bahkan ada dalil yang menyebut jauh lebih panas dari itu, dengan bermacam-macam jenis api neraka, dari mulai neraka jahannam sebagai neraka yang paling berat sampai neraka yang paling ringan menurut ukuran akhirat.
"Kehidupan akhirat di neraka, sebagaimana yang tergambar dalam video itu bisa mendegradasi kesakralan dan kedalaman akidah, yakni keimanan kepada yang gaib. Jika ini dibiarkan, secara pelan-pelan akan merusak akidah umat, khususnya generasi muda yang kadar imannya kurang kuat atau bahkan lemah atau sangat lemah," imbuhnya.
Utang menekankan bahwa kemuliaan agama harus dijaga. Dia menegaskan agama tidak boleh menjadi bahan bercandaan. Menodai agama adalah perbuatan yang dilarang. Hal itu, kata dia, sudah ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan.
"Menodai agama adalah perbuatan yang dilarang, baik menurut ajaran agama itu sendiri maupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelakunya bisa dikenai UU ITE, UU PNPS No 1 Tahun 1965 dan KUHP pasal 156a," jelasnya.
Kemudian, Utang meminta agar pembuat konten men-take down video AI tentang neraka itu. Dia juga meminta aparat penegak hukum melakukan penindakan.
"Kepada pihak pembuat video hendaknya segera menarik tayangan itu (men-take down) dari peredaran. Kedua, kepada pihak berwajib hendaknya memproses secara hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku," tutur Utang.
Utang juga mengimbau umat Islam untuk tidak menonton konten tersebut. Sebab, kata dia, video AI terkait neraka itu merusak akidah.
"Ketiga, kepada umat Islam hendaknya meninggalkan tontonan-tontonan seperti itu, karena tayangan video itu sangat tidak bermutu bahkan merusak akidah Islam. Video itu disamping sangat merendahkan nilai akidah, menyesatkan dan melakukan pelecehan terhadap ajaran Islam yang terkait dengan akidah," pungkasnya. (*)
Editor : Lutfiyu Handi