
JAKARTA (Lentera) - Peralihan empat pulau yang awalnya masuk wilayah Aceh menjadi wilayah administrasi Sumatera Utara muncul dugaan terkait dengan kandungan minyak dan gas bumi (migas).
Anggota DPR RI, Muslim Ayub, mengatakan ada rencana investasi besar dari Uni Emirat Arab (UEA) di empat pulau tersebut yaitu Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek.
Namun, Anggota DPR asal Aceh ini tidak merinci angka investasinya. "Karena apapun namanya, ini tanda petik ya. Ini gasnya banyak di situ tuh. Itu miliaran, bukan, triliunan tuh. Dan itu Dubai sudah mau investasi di sana," kata Muslim, dikutip CNNIndonesia, Rabu (11/6/2025).
Muslim tak mengungkap asal data sumber gas alam yang dia klaim ada di wilayah pulau-pulau tersebut. "Ini adanya tanda petik. Orang-orang yang berkompeten, lah. Yang ingin menguasai empat pulau ini untuk kepentingan-kepentingan bisnis," imbuhnya.
Muslim menolak keputusan Menteri dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang memindahkan wilayah administrasi empat pulau tersebut ke Sumut. Menurut dia, Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek sejak 1992 telah diputuskan masuk wilayah Aceh.
Muslim mengingatkan agar Mendagri Tito tak mengambil langkah gegabah. Dia khawatir keputusan itu bisa memicu ketegangan masyarakat Aceh, apalagi di tengah polemik Tambang Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Menurut Muslim, Aceh selama ini seperti daerah termarjinalkan. Dia tak ingin keputusan Tito yang mengalihkan empat pulau ke wilayah Sumut, justru membuat masyarakat semakin marah.
"Jadi sumbangsih Aceh terhadap Indonesia ini sudah terlalu besar. Jangan disakiti lagi. Pak Tito jangan gegabah," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, meminta masalah empat pulau itu harus diselesaikan dengan baik. Posisi pemerintah pusat diminta mencarikan jalan keluar atas persoalan yang menimpa dua provinsi di pulau Sumatera itu.
Dia meminta pemeirntah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menuntaskan persoalan sengketa empat pulau antar dua provinsi dengan elegan dan didasarkan pada aspek yuridis dan sosiologis.
“Kami meminta Kementerian Dalam Negeri menuntaskan persoalan sengketa empat pulau dengan cara elegan dengan semangat harmoni,” kata Khozin di sela-sela kegiatan reses di Jember, Jawa Timur, Rabu (11/6/2025).
Anggota DPR dapil Jatim IV (Jember dan Lumajang) ini menyebutkan persoalan ini dapat diselesaikan dengan berpijak pada aspek yuridis dan sosiologis sebagai pemandu penyelesaian persoalan sengketa wilayah. “Persoalan ini dimulai pada tahun 2008 atas temuan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang menemukan empat pula tersebut masuk wilayah Sumatera Utara,” ujar Khozin.
Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi melibatkan lintas sektoral seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan Pusat Hidro Oseanografi TNI AL, dan Badan Informasi Geospasial (BIG).
Pengasuh PondoK Pesantren Mahasiswi Al-Khozini, Jember ini menyebutkan, sejak saat itu, persoalan empat pulau itu terus berlanjut melalui mekanisme yang berlangsung di pemerintahan, seperti upaya yang dilakukan pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) kepada pemerintah pusat terkait keberadaan empat pulau tersebut.
“Hingga pada tahap terbitnya Keputusan Mendagri No 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau Tahun 2021 yang diteken pada 14 Februari 2022,” kata Khozin.
Khozin juga menyebut dalam Revisi Kepmendagri No 100.1.1.6117 Tahun 2022 yang juga menyatakan tentang empat pulau tersebut masuk wilayah Provinsi Sumatera Utara. “Termasuk yang terbaru melalui Kepmendagri No 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengukuhkan empat pulau tersebut menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Utara,” tambah Khozin.
Menurut Khozin mestinya persoalan tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme musyawarah mufakat sebagai jalan keluar dengan mempertimbangkan pelbagai aspek di antaranya aspek sosiologis dan faktor efektivitas pengelolalan.
“Saya dengar informasi ada tradisi larangan mencari ikan di hari Jumat di empat pulau tersebut. Sanksi diatur dalam qanun Aceh. Ini kan mencerminkan sosial budaya di Aceh. Ini aspek sosiologis dan budaya yang juga harus dilihat dengan bijak,” ingat Khozin. (*)
Editor : Lutfiyu Handi