
JAKARTA (Lentera) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan akan menunda pelaksanaan kebijakan co-payment asuransi yang rencananya akan diterapkan pada 1 Januari 2026 mendatang. Co-payment merupakan skema pembayaran sebagian biaya layanan kesehatan oleh pemegang polis asuransi atau pasien, selain dari yang ditanggung oleh perusahaan asuransi.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun sebagai kesimpulan rekomendasi dalam Rapat Kerja antara DPR dan OJK. Ia menyebutkan, OJK akan menunda pelaksanaan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan sampai diberlakukannya POJK.
Selain itu, Komisi XI akan melaksanakan partisipasi dalam rangka menyerap aspirasi dari pihak yang berkepentingan tentang pengaturan Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
"Dalam meaningful participation, kami akan mendengarkan," kata Misbakhun di DPR RI, dikutip Selasa (1/7/2025).
Menanggapi hal itu, Ketua OJK Mahendra Siregar menyanggupi dan memahami kesimpulan yang diberikan Komisi XI DPR RI tersebut. Katanya, kebijakan ini perlu dilakukan agar lebih efektif.
"Kami dapat menyepakati dengan pemahaman tadi. Karena memang hal ini perlu kita lakukan seefektif mungkin," sebutnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ogi Prastomiyono juga mengamini hal tersebut.
"Kami ikuti dong, itu kan saran dari Komisi XI yang mengawasi kita," katanya, saat ditemui di DPR.
Ia menyebut, SEOJK Nomor 7/SEOJK.5/2025 ini dibentuk untuk memberikan proteksi kepada masyarakat serta para pelaku usaha di Indonesia demi tercapainya tujuan pembangunan. Selain itu, Ogi juga menyebut alasan lainnya adalah untuk menanggulangi inflasi kesehatan yang di tahun 2025 mencapai 13,6%.
"Klaim ratio sudah memasuki 100%, jadi tahun lalu kenaikkan rata-rata premi asuransi kesehatan mencapai lebih dari 40%. Jadi sudah cukup tinggi premi yang dibayarkan. Jadi ini langkah untuk memperbaiki ekosistem asuransi kesehatan," jelasnya.
Dalam Surat Edaran Nomor 7/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan, OJK menilai mekanisme co-payment atau deductible akan mendorong peningkatan kesadaran pemegang polis atau tertanggung dalam memanfaatkan layanan medis yang ditawarkan oleh fasilitas kesehatan.
OJK mengatur produk asuransi kesehatan harus menerapkan pembagian risiko (co-payment) yang ditanggung oleh pemegang polis, tertanggung, atau peserta paling sedikit 10% dengan batas maksimum Rp300.000 untuk rawat jalan per pengajuan klaim dan Rp3 juta untuk rawat inap per pengajuan klaim.
Di sisi lain, OJK juga mengatur bahwa perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah dan unit syariah pada perusahaan asuransi dapat menerapkan batas maksimum yang lebih tinggi sepanjang disepakati antara perusahaan dengan pemegang polis, tertanggung atau peserta serta telah dinyatakan dalam polis asuransi.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber