
JAKARTA (Lentera)- Kejaksaan Agung (Kejagung) masih belum menahan staf khusus Mendikbudristek 2019-2024 Nadiem Makarim, Jurist Tan meskipun telah menetapkan menjadi tersangka. Sebab, hingga saat ini Jurist berada di luar negeri dan telah mangkir dari pemeriksaan sebanyak tiga kali.
Dengan begitu, Kejaksaan telah memasukan Jurist kedalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejagung dan bekerja sama dengan instansi terkait untuk memulangkan Jurist ke Indonesia.
“Langkah apa yang sudah dilakukan? Kami pertama sudah melakukan DPO dan tentu kami bekerja sama dengan pihak terkait agar yang bersangkutan bisa hadir, bisa pulang di tanah air,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, dalam konferensi pers di kantornya, Selasa (15/7/2025).
Qohar menyebut, penyidik juga telah memanggil Jurist sebanyak tiga kali untuk diperiksa sebagai saksi namun dirinya tak kunjung memenuhi panggilan penyidik.
Bahkan, lanjut dia, Jurist melalui kuasa hukumnnya sempat meminta Kejaksaan untuk agar keterangan Jurist diberikan melalui pemeriksaan tertulis. Namun, dirinya menegaskan bahwa Kejaksaan menolak permintaan tersebut sebab tidak diatur dalam sistem hukum Indonesia.
“Sehingga keterangannya yang dikirim ke kita ke penyidik secara tertulis nanti mungkin dapat digunakan sebagai alat bukti surat,” tegasnya.
Dalam perkara ini, Jaksa telah menetapkan empat tersangka. Mereka yakni, staf khusus Mendikbudristek 2019-2024 Nadiem Makarim, Jurist Tan; Konsultan Stafsus Mendikbudristek Jurist Tan, Ibrahim Arief.
Selain itu, Kejaksaan juga menetapkan dua pejabat di Kemendikbudristek sebagai tersangka. Mereka yakni, Direktur SMP Kemendikbudristek Mulatsyah; dan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih.
Kendati begitu, Kejaksaan baru menahan dua tersangka yakni Mulatsyah dan Sri Wahyuningsih. Sebab, kata Qohar, Ibrahim ditetapkan menjadi tahanan kota akibat penyakit jantung yang diderita. Sementara Jurist, hingga saat ini belum ditahan dan diperiksa sebab berada di luar negeri.
Jaksa menilai pengadaan Chromebook dengan anggaran Rp9,3 triliun tersebut dilakukan secara melawan hukum, hingga akhirnya menimbulkan kerugian negara sebesar Rp1,9 triliun.
Qohar menyebut, pengadaan 1,2 juta unit laptop tersebut diarahkan secara sepihak agar menggunakan sistem operasi Chrome OS. Hingga akhirnya terbukti bahwa penggunaan Chrome OS tak optimal bagi hurudan siswa di daerah 3T, yakni terdepan; tertinggal; dan terluar.
Editor:Widyawati/Berbagai Sumber