Armuji Sidak Dugaan Pembangunan Perumahan Tak Sesuai Prosedur Sempat Memanas, Akhirnya Capai Kesepahaman

SURABAYA (Lentera) -Wakil Wali Kota Surabaya Armuji melakukan sidak ke pihak pengembang Alana Regency Gunung Sari Indah atas kasus dugaan pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan prosedur, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan di sekitar permukiman.
Sebelumnya, perwakilan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sidoarjo, Rangga menyampaikan, ada tiga pelanggaran yang dilakukan pihak pengembang.
Pelanggaran itu yakni tidak memiliki izin analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), tidak menyediakan sumur resapan, dan mengancam masyarakat yang menghalangi proses pembangunan.
“Kita sudah pernah lapor ke RW, lurah, camat, kedinasan, bahkan Polda tapi sampai sekarang enggak ada titik temu. Para warga itu enggak minta kompensasi tapi kalau mau bangun perumahan di situ ya harus sesuai prosedur,” kata Rangga kepada Armuji di Rumah Aspirasi, Selasa (15/7/2025).
Menindaklanjuti laporan tersebut, akhirnya Armuji mendatangi lokasi pembangunan ditemani Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM), Camat Karangpilang, dan Lurah Kedurus.
Rangga mengatakan, berdasarkan inspeksi DLH, terungkap bahwa pihak perumahan hanya mengantongi izin upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) padahal seharusnya memiliki izin amdal.
“Kalau misalkan izinnya UKL-UPL ternyata setelah diinspeksi berubah menjadi amdal, harusnya berhenti dulu untuk sementara waktu, hingga proses,” kata Rangga.
Namun, hal tersebut dibantah oleh Direktur Utama PT Tumerus Jaya Propertindo (Alana Group) Ferdy Wijaya.
Ia mengatakan, dalam proses pembelian lahan perumahan tersebut, tidak tertulis harus mengantongi izin amdal sebagai persyaratan perizinan pembangunan.
“Kalau berdasarkan surat perjanjian beli disini Pak, tidak tertulis bahwa kami harus memenuhi izin amdal karena sudah ada UKL-UPL dan PBG (persetujuan pembangunan gedung) sebagai persyaratan. Kalau sekiranya memang tertulis ya pasti akan kami urus,” kata Ferdy.
Maka dari itu, pihak pengembang dapat melanjutkan pembangunan perumahan.
Selain itu, Rangga mempertanyakan kewajiban pengembang membangun sumur resapan berdasarkan aturan DSDABM.
Dalam aturan tersebut, pihak pengembang wajib membuat kolam tampung (long storage) untuk tempat serapan air hujan, persyaratan bangunan gedung, serta izin lingkungan.
Kolam tampung tersebut nantinya dibangun di dalam persil dengan volume minimal 1.200 meter kubik.
Ada juga pembuatan lubang manhole di saluran drainase dalam kawasan kolam tampung dengan jarak lebih kurang 6 meter.
“Jadi, intinya sebenarnya silakan bangun, Pak. Kita tidak menghalang-halangi, tapi lakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Kita tinggal di sini puluhan tahun, nanti kalau misalkan sudah serah terima kunci kepada orang-orang, malah konflik sosialnya makin bertambah,” paparnya, mengutip Kompas, Rabu (16/7/2025).
Namun, lagi-lagi Ferdy membenarkan tuntutan tersebut dengan menjelaskan bahwa dia berpacu pada Surat Keterangan Rencana Kota (SKRK) Surabaya.
“Jadi dalam SKRK sudah jelas, untuk rumah sekian, RTH (ruang terbuka hijau) sekian, jalan sekian," kata dia.
“Misalnya ada sisa lahan RTH itu 300 meter, lalu saya disuruh membuat kolam tampung 1.271 meter kubik, mau gak mau saya harus langgar karena ada jalan atau RTH yang harus kita ubah, sedangkan kita ini selalu dipantau Polda,” ucap Ferdy.
Ia mengatakan, apabila terdapat peruntukan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) yang diubah, pihaknya berisiko dikenai sanksi pidana sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011, Pasal 162 S.
“Intinya saya sebagai developer harus taat hukum. Jangan sampai saya taat perda, tapi melanggar undang-undang yang (statusnya) lebih tinggi. Undang-undang itu jauh lebih tinggi daripada Perda,” tuturnya.
Meskipun begitu, para warga RW 8 juga meminta agar pihak pengembang memperbaiki struktur saluran air agar tidak menyebabkan banjir di rumah penduduk.
“Masalahnya saluran air ini dibuang ke barat, pak. Jadinya yang terdampak RW 8. Saluran airnya debitnya kecil tolong dilebarkan,” kata salah seorang warga.
Sementara itu, Cak Ji menyarankan agar pihak pengembang bersama lurah langsung menyalurkan air ke waduk terdekat, tanpa melewati pemukiman.
“Langsung aja dijeblosno ke waduk situ pak, jadi gak perlu diplayuno nak warga (disalurkan ke warga),” ucap Cak Ji.
Selanjutnya, Rangga meminta pihak pengembang agar berhenti mengancam-ancam warga, baik secara langsung maupun melalui pesan teks daring.
“Ini tadi sebelum kunjungan, pak Derdy ngeshare di WhatsApp grup ‘Saya mengundang Bapak Ibu warga GSI yang mempermasalahkan pembangunan perumahan Alana GSI untuk didengar alasannya kenapa ingin menghalang-halangi’. Kata ‘menghalang-halangi’ itu siapa? Kita gak menghalang-halangi kok,” kata Rangga.
Cak Ji pun menegaskan kepada Ferdy agar tidak kembali mengancam karena para warga hanya meminta penjelasan terkait aturan-aturan tersebut. B
“Sampeyan (Anda) juga gak punya kewenangan untuk mengeluarkan chat seperti itu. Kemarin mas Rangga datang ke tempat saya hanya ingin menanyakan bukan menghalang-halangi,” kata Cak Ji.
Para warga juga meminta adanya kenaikan jumlah kompensasi atas kerugian debu dan kebisingan selama proses pembangunan yang berdampak pada permukiman.
Tak hanya itu, salah seorang warga mengaku banyak pihak pembeli yang seringkali memarkirkan kendaraan di depan pagar rumahnya sehingga mengganggu akses jalan.
“Wes sekarang sampeyan (Ferdy) terkait keluhan debu dan kebisingan harus ditambahi kompensasinya. Terus satpamnya juga ditambah biar bisa mengatur kendaraan yang parkir,” ujar Cak Ji.
Ia juga meminta agar pihak lurah selalu mengomunikasikan segala aturan dan informasi yang telah disampaikan pihak pengembang kepada RT, RW, dan warga.
“Saya juga minta agar Pak Lurah, sampeyan kalau ada aturan atau informasi yang sudah disampaikan Pak Ferdy itu juga diteruskan ke RT dan RW biar warganya itu tahu dan tidak kebingungan,” katanya.
Meskipun mediasi sempat berlangsung tegang dan memanas, kedua belah pihak mencapai kesepahaman (*)
Editor: Arifin BH