
JAKARTA (Lentera)-Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) menyerahkan barang bukti ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi kuota haji 2024. Barang bukti yang diserahkan berupa Surat Keputusan (SK) Menteri Agama (Menag) Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan 2024.
Keputusan itu ditandatangani oleh Menteri Agama saat itu, Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut pada 15 Januari 2024.
"Kami sebagai salah satu pelapor dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024, telah menyampaikan copy pdf dari Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, kepada wartawan Senin (11/8/2025).
Boyamin menuturkan, dokumen itu menjadi dasar dalam pembagian kuota tambahan untuk haji reguler dan khusus. Dalam keputusan itu, dari 20 ribu tambahan kuota haji 2024, dibagi menjadi 10 ribu untuk haji reguler dan 10 ribu untuk haji khusus.
Padahal, hal tersebut bertentangan dengan Pasal 64 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Dalam aturan, sebenarnya kuota haji khusus hanya boleh ditetapkan sebesar 8 persen dari total kuota haji Indonesia.
"Surat keputusan ini sangat penting karena diduga menjadi dasar pembagian kuota tambahan haji khusus yang pelaksanaannya tidak sesuai ketentuan sehingga mengarah dugaan korupsi," ucap Boyamin.
Terlebih, lanjut Boyamin, pengaturan kuota haji seharusnya dituangkan dalam Peraturan Menteri Agama.
"Jadi jelas pelanggaran jika pengaturan kuota haji hanya berbentuk Surat Keputusan Menteri Agama yang tidak perlu ditayang dalam lembaran negara dan tidak perlu persetujuan Menkumham," tambahnya.
Boyamin menduga, keputusan tersebut juga disusun secara tergesa-gesa oleh 4 orang, yakni AR alias Gus AD selaku stafsus Menag; FL selaku pejabat eselon I di Kemenag; NS selaku pejabat eselon II di Kemenag; dan HD selaku pegawai setingkat eselon IV di Kemenag.
Selain masalah pembagian kuota itu, Boyamin menambahkan, dalam perkara ini juga terjadi adanya pungutan liar kepada calon jemaah haji khusus dari kuota tambahan itu. Tiap jemaah disebut mengalami pungli hingga Rp 75 juta.
"Dugaan penyimpangan lain adalah dugaan mark up (pemahalan) dari katering makanan dan penginapan hotel yang nilai kerugiannya belum bisa ditentukan dan menjadi tugas DPR untuk menyelidikinya," jelas dia.
Dengan temuan-temuan tersebut, Boyamin meminta agar KPK melakukan penelusuran aliran uang.
"Untuk melacak aliran uang dan dalam rangka memaksimalkan uang pengganti serta untuk efek jera maka wajib bagi KPK untuk menerapkan ketentuan tindak pidana pencucian uang," ucapnya.
Dalam kasus ini, KPK telah meningkatkannya ke tahap penyidikan. Meski begitu, masih belum ada sosok yang ditetapkan sebagai tersangka.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan perkara ini bermula pada 2023, saat pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Pemerintah Arab Saudi. Di sana, Indonesia mendapat kuota tambahan sebanyak 20 ribu.
Diduga ada pembagian kuota yang tidak sesuai dengan aturan. Asep menyebut bahwa seharusnya pembagian kuota itu seharusnya 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, yang terjadi, kuota dibagi 50%-50%.
Dalam penyelidikan perkara ini, KPK sudah meminta keterangan sejumlah pihak. Termasuk mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut pada 7 Agustus 2025.
Namun, dia tidak banyak memberikan komentar mengenai kuota haji tersebut."Ya, Alhamdulillah saya berterima kasih akhirnya saya mendapatkan kesempatan, mendapatkan kesempatan untuk mengklarifikasi segala hal terutama yang terkait dengan pembagian kuota tambahan pada proses haji tahun 2024 yang lalu," kata Gus Yaqut usai diklarifikasi KPK.
Sementara juru bicara Gus Yaqut, Anna Hasbie, menjelaskan proses pembagian kuota haji tersebut telah dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurutnya, pembagian ini juga telah melalui proses penelaahan yang panjang.
KPK kini tengah membidik sosok yang memberikan perintah terkait pembagian kuota haji tersebut. Termasuk pihak-pihak yang menerima keuntungan dalam perkara itu. Hal itu lewat pencarian alat bukti berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor yang bakal dikenakan kepada tersangka.
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber