
SURABAYA (Lentera) -Kali ini Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bertindak sangat responsif.
Puan Maharani buru-buru membantah kabar kenaikan gaji anggota dewan yang mencapai Rp 3 juta per hari.
Puan bilang, gaji DPR tidak naik. Hanya ada kompensasi uang rumah karena saat ini anggota DPR tidak lagi mendapat fasilitas rumah jabatan dari negara.
"Enggak ada kenaikan. Hanya kompensasi uang rumah. Jadi itu saja," ujar Puan.
“Hanya kompensasi uang rumah. Jadi itu saja."
Kalimat Puan ini mengirimkan pesan “Rp 3 juta per hari” itu angka kecil, cuma sedikit.
Andai bisa, rakyat ingin berteriak membantah bahwa pendapatan rakyat sudah meningkat sehingga mampu memberikan tunjangan Rp 3 juta per hari sebagai kompensasi uang rumah bagi wakil rakyat.
Sejatinya bisa dipahami bila rakyat kecil yang sedang sensi mudah tersinggung. Telinga rakyat sakit.
Mereka melihat kenaikan gaji itu seperti menyepelekan kesusahan sebagian kecil rakyat (baca: rakyat kecil) yang mulai kesulitan mendapat uang untuk sekadar beli beras.
Di mana benang merahnya?
Rakyat khawatir kenaikan gaji ini akan melebarkan jarak emosional dan kesejahteraan antara rakyat dengan wakil mereka.
Pada saat rakyat yang diwakili termehek-mehek mendapatkan uang, wakil rakyat yang mewakili sedang sibuk menghitung tambahan gaji yang terus membengkak.
Perasaan wong cilik yang menyatakan ‘Indonesia Gelap’ kini seolah terkonfirmasi kebenarannya.
Padahal sebelumnya seorang petinggi negeri ini membantah: "Lho (rakyat) aja kali yang gelap." Ternyata hati wakil rakyat yang gelap.
Rakyat di daerah kini mencemaskan nasib program efisiensi.
Bukan hanya karena bertabrakan dengan guyuran gaji dan bonus wakil rakyat. Tapi tentang banyaknya rencana program daerah yang dipangkas pemerintah pusat.
Misalnya, dana transfer daerah yang dipangkas tanpa ampun. Rakyat daerah cemas pemerintahnya bakal menggenjot pajak. Jalan keluar paling instan.
Tapi syukurlah, rakyat Indonesia sudah terbiasa kecewa. Mereka akan segera berhenti berharap dan meratap.
Sejak masih memilih para wakilnya rakyat sudah tahu bahwa ada jarak sedalam sumur tua antara dirinya dengan orang yang merasa mewakilinya.
Para wakil rakyat melihat mereka tak lebih dari sederet angka. Kebutuhan mereka selesai begitu penghitungan suara usai.
Saya jadi teringat pesan guru sejarah di sekolah dasar. Kata Pak Guru: “Kemakmuran maksimal yang dinikmati wakil rakyat tidak akan bertahan lama kalau tidak dibarengi kemakmuran maksimal bagi yakyat.”
Pernyataan penutup ini dari saya: Soal ini mengajarkan satu hal penting: Rakyat terlalu berharga untuk diabaikan. Perasaan terlukanya terlalu dalam untuk dibiarkan. Rakyat mesti dihormati (*)
Penulis: Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik|Editor: Arifin BH