24 August 2025

Get In Touch

US Open 2025, Setelah Dua Dekade Absen Petenis Indonesia Janice Tjen Ukir Sejarah

Petenis putri Indonesia, Janice Tjen menjadi jawaban setelah dua dekade Indonesia absen dalam turnamen grand slam. (foto:ist/dok.Ant)
Petenis putri Indonesia, Janice Tjen menjadi jawaban setelah dua dekade Indonesia absen dalam turnamen grand slam. (foto:ist/dok.Ant)

NEW YORK (Lentera) - Sudah dua dekade lamanya, Indonesia absen menempatkan tunggal putri di panggung turnamen tenis grand slam US Open 2025.

Sejak Angelique Widjaja terakhir kali tampil di babak utama ajang Grand Slam lapangan keras di New York itu pada 2004, kiprah petenis putri Indonesia hanya sebatas jejak sejarah.

Namun, waktu akhirnya menjawab dan penantian panjang itu bernama Janice Tjen.

Pada, Selasa (19/8/2025) waktu setempat atau Rabu (20/8/2025) pagi WIB, Janice menandai debutnya di ajang Grand Slam dengan kemenangan meyakinkan di babak pertama kualifikasi US Open 2025 seperti diberitakan Antara, Rabu (20/8/2025).

Berlaga di lapangan keras USTA Billie Jean King Tennis Center, New York, Janice tampil gemilang, mengalahkan petenis tuan rumah sekaligus unggulan ke-22, Varvara Lepchenko, dengan skor dominan 6-3, 6-1.

Dalam pertandingan berdurasi hanya satu jam satu menit, Janice mencatatkan statistik luar biasa: hanya satu kali melakukan unforced error dan mencetak 60 total poin kemenangan jauh mengungguli Lepchenko yang hanya meraih 41 poin dan melakukan tiga kesalahan sendiri.

Penampilan gemilang itu adalah sebuah pernyataan tegas, dari petenis berusia 23 tahun itu: Indonesia kembali hadir di panggung dunia.

Janice Tjen bukan nama asing bagi pecinta tenis Indonesia, tapi pencapaiannya tahun ini menjadikan Ia sorotan utama. Perjalanan menuju US Open tidak datang tiba-tiba. Ia meniti jalan panjang, penuh perhitungan dan kerja keras, dari level terendah hingga kini mencicipi kompetisi tertinggi.

Usai menamatkan kuliahnya di University of Pepperdine, AS dan bermain di sistem liga mahasiswa NCAA yang terkenal ketat, Janice mulai fokus penuh ke dunia profesional.

"NCAA itu persaingannya berat, banyak pemain di peringkat 300-400 besar dunia. Tapi pengalaman di sana penting banget buat transisi ke profesional," ujar Janice.

Liga mahasiswa yang ramai, suportif, dan penuh tekanan membentuk mentalnya. Namun di balik itu, ia juga harus menyesuaikan diri dengan dunia pro yang jauh lebih menuntut, terutama secara fisik.

Sebab, di NCAA pertandingan hanya berlangsung pada akhir pekan. Sementara, di profesional ia bertanding hampir setiap hari.

Setelah menyelesaikan pendidikan, Janice langsung terjun ke turnamen-turnamen ITF untuk menambah jam terbang. Setelah melakoni sekira lima turnamen profesional, ia turun di PON Aceh-Sumatera Utara 2024 yang menjadi debut pertamanya di ajang nasional.

PON jelas berbeda dari ITF, bukan dari segi level, tapi dari segi perasaan di balik itu. Bagi Janice, ada ekspektasi yang harus dipenuhi, meningkat ia menjadi bagian dari kontingen Jawa Timur.

Ia tampil tanpa kehilangan satu set pun selama PON. Menariknya, sebelum mengikuti PON 2025, Janice telah lebih dulu terpilih memperkuat tim Indonesia di Asian Games Hangzhou 2023 dengan merebut medali perunggu di nomor ganda putri bersama Aldila Sutjiadi.

Setelah PON, fokus Janice sepenuhnya beralih ke dunia profesional. Dalam waktu singkat, ia berhasil mengoleksi enam gelar ITF, sebuah pencapaian yang mencerminkan konsistensi dan kesiapan mentalnya.

Performa Janice mulai menanjak drastis sejak Mei 2025. Ia meraih dua gelar ITF W35 di Korea Selatan, sebelum mencetak empat gelar tunggal beruntun dan tiga gelar ganda sepanjang Juni, menjadikan ia satu dari sedikit petenis yang dinobatkan sebagai ITF Player of the Month dua bulan berturut-turut.

Puncaknya, ia menorehkan 42 set kemenangan beruntun, sebuah rekor yang menjadi bukti konsistensinya.

"Jujur, waktu itu aku enggak terlalu mikir angka. Fokusnya cuma gimana caranya main bagus hari ini, kasih hasil terbaik," ujar Janice.

Di balik kesuksesannya, ada cerita lain yang tak kalah menarik. Sebagian besar musim ini, Janice bertanding tanpa pelatih tetap. Ia baru memiliki pelatih saat tur ke Korea Selatan pada Mei. Namun, saat itu pelatih belum full menemani. Ia meminta bantuan dua petenis putri Indonesia Beatrice Gumulya dan Jessica Rompies untuk mendampingi dirinya.

Kini, dengan aturan WTA yang membolehkan coaching selama pertandingan, keberadaan pelatih menjadi lebih penting. Sebab, menurut Janice, saat pertandingan ia sering kali tidak sadar dengan hal-hal kecil, sehingga pelatih dapat memberi insight yang membuat permainan menjadi berbeda.

Berkat kesuksesannya itu Janice berhasil masuk Top 200 dan mendapatkan tiket untuk mengikuti babak kualifikasi US Open. Sebagai upaya adaptasi lapangan dan udara di Negeri Paman Sam, ia mengikuti W100 Evansville, W75 Lexington, dan W100 Landisville.

Janice menjadi runner up dalam ITF W75 Lexington dan ITF W100 Landisville di Pennsylvania dua pekan beruntun pada awal bulan ini, Lewat rentetan kemenangan itu, ia melangkah ke US Open dengan berada di peringkat ke-147 WTA.

Bukan tidak mungkin apa yang terjadi pada Emma Raducanu di US Open 2021 bisa terjadi kepada Janice. Ia menyebut kesuksesan petenis Inggris itu sebagai penyemangat. Bahwa, siapa saja yang berjuang keras dapat meraih gelar, bahkan jika ia berasal dari peringkat bawah dan harus mengawali langkah dari babak kualifikasi.

Tidak hanya itu, ia juga berharap langkahnya menuju Grand Slam juga dapat diikuti oleh juniornya di Tanah Air. Janice juga menjadi tunggal putri pertama Indonesia sejak Sandy Gumulya yang melangkahkan kaki di babak kualifikasi Grand Slam pada Australian Open 2008. Namun, kakak dari petenis Beatrice itu terhenti pada babak pertama kualifikasi turnamen major awal tahun tersebut.

Sayangnya, petenis putri Indonesia menghadapi tantangan lebih berat dibanding petenis putra, mengingat dua tahun terakhir ini hampir tidak ada turnamen profesional putri di Indonesia, sehingga, petenis putri harus berburu poin dan pengalaman keluar negeri. Padahal, secara data lebih banyak petenis putri yang berhasil menjejakkan kaki di Grand Slam.

Pada 1971, dua perempuan Indonesia melangkah di rumput Wimbledon. Mereka adalah Lita Liem Sugiarto dan Lany Kaligis.

Sekira dua puluh tahun berselang dari pencapaian Lita dan Lany, Indonesia kembali menebar harum. Kali ini lewat Nany Rahayu Basuki, atau yang lebih familiar dengan sapaan akrab Yayuk Basuki.

Perjalanan Janice untuk masuk ke undian utama US Open masih panjang, harus menang dua kali lagi. Namun, apa yang telah ia capai saat ini sudah menjadikannya bagian dari sejarah.

Ia bukan hanya mematahkan rekor dua dekade, tapi Ia membuktikan bahwa mimpi anak Jakarta yang bertanding di liga mahasiswa bisa menjelma menjadi bintang di panggung Grand Slam. Janice Tjen adalah jawaban dari penantian panjang Indonesia. Penantian dua dekade itu akhirnya menemukan namanya.

 

Editor: Arief Sukaputra

 

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.