
JAKARTA (Lentera) -Di tengah pusaran rivalitas geopolitik antara Amerika Serikat dan China di Indo-Pasifik, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto gencar memodernisasi alat utama sistem persenjataan atau alutsista.
Sebuah pendekatan tak biasa pun dipilih, meracik kekuatan pertahanan dari beragam sumber, mulai dari jet tempur Rafale Perancis, pesawat nirawak Turki, hingga kapal perang Italia. Manuver ”gado-gado” ini memosisikan Indonesia sebagai middle power yang aktif bermanuver di antara dua karang kekuatan besar.
Manuver ini, di satu sisi, dipandang sebagai langkah cerdas yang mencerminkan politik luar negeri bebas aktif dan memberikan fleksibilitas strategis. Di sisi lain, narasumber diskusi virtual yang digelar Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII), Jumat (12/9/2025), mengungkap adanya fondasi kebijakan yang rapuh dan potensi ”pekerjaan rumah” jangka panjang yang mahal dan rumit.
Menurut pengamat pertahanan dari AIHII, Angga Nurdin Rachmat, strategi multi-pemasok merupakan pengejawantahan dari politik bebas aktif, di mana Indonesia dapat membeli alutsista dari negara mana pun tanpa terkunci dalam satu blok kekuatan. Tujuannya agar Indonesia tidak menghadapi potensi ancaman dari alutsista blok Barat dengan alutsista dari blok yang sama, tetapi dengan kualitas lebih rendah.
”Maka, hadapilah dengan Sukhoi 27 buatan Rusia, atau hadapilah dengan KF-21 punya Korea,” papar Angga. Dengan kata lain, diversifikasi sebagai fondasi daya gentar (deterrence force).
Selain itu, langkah tersebut sejalan dengan posisi Indonesia yang tidak memihak, selalu melihat peluang dari berbagai sisi untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya.
Dengan membeli dari negara-negara seperti Turki, Perancis, dan Korea Selatan, Indonesia tidak hanya mendiversifikasi alutsista, tetapi juga memperkuat kemitraan pertahanan di luar poros kekuatan tradisional.
Tidak berbanding lurus
Meski manuver diplomasinya terlihat aktif, fondasi strategis di baliknya menuai sorotan tajam. Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mario Surya Ramadhan mengungkapkan, argumen utama bahwa tingginya aktivitas diplomasi pertahanan Prabowo tidak serta-merta berbanding lurus dengan peningkatan kapasitas dan kapabilitas pertahanan Indonesia.
Salah satu penyebabnya, menurut Mario, adalah tidak adanya strategi pertahanan yang jelas dan termutakhir. Dokumen Buku Putih Pertahanan terakhir dirilis pada tahun 2015 sehingga publik pun mempertanyakan dasar strategis dari setiap pembelian alutsista bernilai triliunan rupiah tersebut.
Bahkan, konsep baru optimum essential force yang diusung sebagai pengganti minimum essential force (MEF) hingga kini maknanya masih belum terdefinisikan dengan jelas. Ironisnya, target MEF itu tidak tercapai, hanya berkisar di angka 65-70 persen.
Keraguan ini diperparah dengan temuan adanya kecenderungan one man show dari Presiden Prabowo dalam diplomasi pertahanan dan belum adanya sinergi yang padu antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri. Hal ini berisiko membuat langkah-langkah diplomasi menjadi sporadis dan kurang terintegrasi dalam sebuah grand strategy yang solid.
Prioritas
Pengamat dari AIHII lainnya, Nur Azizah, mempertanyakan kondisi global saat ini di tengah fokus pada pengadaan alutsista canggih. Ia mengkritik kecenderungan global yang didominasi oleh para pemimpin ”sangat maskulin”, yang mendorong negara-negara untuk menari dalam irama perlombaan senjata yang sangat mahal. Ia mengingatkan agar Indonesia tidak terjebak menjadi sekadar konsumen.
”Problem keamanan yang dihadapi apa? Threat yang dihadapi apa? Kalau misalnya di Indonesia nomor satu mestinya adalah pengangguran, kemudian adalah perekonomian,” tuturnya, sebagaimana dikutip Kompas, Minggu (14/9/2025).
Begitu pula dengan pendapat pengajar dari Universitas Soedirman, Musa Al Hasyim. Menurut dia, pertahanan negara akan rapuh jika stabilitas domestik terabaikan. Ia menekankan bahwa ketimpangan ekonomi dan sosial dapat memicu persoalan yang mengancam pertahanan dari dalam.
”Kita melihat global, tapi kalau domestiknya hancur, itu ya bisa menghancurkan semua hal,” ujar Musa.
Tantangan kebijakan "gado-gado" pengadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista) adalah kerumitan teknis dan logistik di tingkat operasional. Tanpa interoperabilitas yang baik, alutsista tidak akan bisa berfungsi optimal saat dibutuhkan (*)
Editor: Arifin BH