
SURABAYA (Lentera) – Ketua Komisi D DPRD Jawa Timur, Abdul Halim, menyoroti rencana mengaktifkan kembali rel kereta api di Pulau Madura. Menurutnya, hal tersebut masih perlu dikaji lebih mendalam sebelum direalisasikan. Ia menilai, kondisi sosial dan tata ruang di wilayah tersebut telah banyak berubah sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda dibandingkan daerah lain di Jawa Timur.
Menurut Halim, reaktivasi jalur kereta merupakan bagian dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan di Jawa Timur. Dalam kebijakan tersebut, sejumlah daerah masuk prioritas reaktivasi rel, seperti Lamongan, Mojokerto, dan Bojonegoro.
“Sebenarnya Madura juga termasuk dalam rencana itu. Tapi saya sampaikan kepada Pak Kadis Perhubungan, kalau untuk Madura perlu kajian yang lebih mendalam. Kondisi sosial di sana berbeda dengan daerah lain,” ungkap Halim, Selasa (14/10/2025).
Politisi asal Madura itu menilai sebagian besar lahan bekas rel peninggalan kolonial telah beralih fungsi menjadi permukiman dan kawasan usaha. Ia mengingatkan bahwa pemaksaan reaktivasi tanpa memperhitungkan perubahan tersebut berpotensi memicu persoalan sosial baru.
“Banyak lintasan lama yang sekarang sudah menjadi rumah warga dan area produktif lain. Kalau dipaksakan, dampak sosialnya harus diperhitungkan matang,” tegasnya.
Halim menilai kebutuhan utama masyarakat Madura saat ini bukan pada transportasi rel, melainkan peningkatan kualitas infrastruktur jalan nasional. Menurutnya, upaya mengurai kemacetan dan memperlancar distribusi logistik dapat dilakukan dengan memperlebar serta memperbaiki jalur utama di utara, tengah, dan selatan Madura, termasuk rencana pembangunan jalan tol dari Bangkalan hingga Sumenep.
“Kalau jalan nasional di Madura diperlebar dan diperbagus, itu akan jadi solusi kemacetan. Bahkan, ke depan sebaiknya dipikirkan tol dari Bangkalan ke Sumenep,” jelasnya.
Selain kondisi jalan, Politisi Gerindra tersebut juga menyoroti persoalan pasar tumpah yang banyak ditemukan di sejumlah titik utama di Madura, seperti Tanah Merah, Galis, Belega, hingga Pamekasan dan Sumenep. Aktivitas pasar di tepi jalan ini turut memperparah kemacetan dan menghambat kelancaran arus kendaraan.
“Banyak pasar tumpah di sepanjang jalur utama. Jadi, reaktivasi kereta belum tentu menjawab kebutuhan masyarakat Madura saat ini,” ujarnya.
Di sisi lain, Komisi D DPRD Jawa Timur bersama Dinas Perhubungan kini tengah menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Transportasi Publik Terintegrasi. Regulasi tersebut diharapkan menjadi payung hukum bagi berbagai proyek transportasi di Jawa Timur, termasuk Trans Jatim.
“Sekarang sedang berjalan tim analisis dan penyusun naskah akademik. Sesuai arahan Kemendagri, pembahasan Raperda ini harus selesai sebelum akhir November 2025,” ungkapnya.
Halim optimistis, keberadaan payung hukum tersebut akan memperkuat arah dan efektivitas pengembangan transportasi publik di Jawa Timur.
“Kita optimistis bisa selesai tepat waktu agar seluruh program transportasi publik, termasuk Trans Jatim, memiliki dasar hukum yang kuat,” pungkasnya.
Reporter: Pradhita|Editor: Arifin BH