
OPINI (Lentera) -Ada pertanyaan penting buat Menteri Keuangan Purbaya Sadewa.
Setelah Purbaya Sadewa menolak membayar utang kereta cepat Whoosh dengan APBN, apakah dia juga melarang APBN digunakan untuk nalangin BUMN yang rugi?
Jawaban Menteri Keuangan dibutuhkan, karena tidak sedikit utang BUMN. Itu pasti menjadi beban negara yang skenareo penyelesaiannya ada di tangan Menteri Keuangan.
Tapi keputusan mengenai pelarangan penggunaan APBN untuk BUMN yang rugi belum secara eksplisit disampaikan oleh Purbaya. Atau Purbaya sedang menyimpan statemen itu didalam laci. Kita tunggu bersama.
Dalam beberapa kesempatan, Purbaya hanya menyoroti pentingnya BUMN untuk meningkatkan pendapatan negara melalui pertumbuhan ekonomi, bukan dengan memberlakukan pajak baru.
Sepertinya tahapan kebijakan beliau berkutat pada pengawasan penggunaan APBN untuk BUMN yang rugi dan mendorong BUMN untuk lebih mandiri dalam mengelola keuangannya.
Mari kita lihat beberapa BUMN di Indonesia yang mengalami kerugian besar: PT. Kereta Cepat Indonesia Cina, PT. Garuda Indonesia (Persero), Krakatau Steel (Persero), dengan angka kerugian yang menakutkan, memberi beban berat keuangan negara.
PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mengalami kerugian pada tahun 2024 mencapai Rp 4,195 triliun dan Rp 1,625 triliun pada paruh pertama tahun 2025,
Ini terjadi karena beban pembayaran utang pokok dan bunga sebesar Rp 120,38 triliun kepada kreditur China.
Kerugian ini diperkirakan akan terus bertambah jika tidak ada langkah-langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya operasional. Sementara Menteri Keuangan telah angkat tangan untuk nalangin utang itu dari APBN.
Kabarnya Danantara telah menginvestasikan dana sebesar Rp150 triliun tahun ini untuk mendukung kebutuhan investasi dan menargetkan setoran dividen Rp165 triliun dalam lima tahun ke depan.
Beberapa BUMN lain juga dilaporkan mengalami kesulitan keuangan, seperti: PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Mengalami kesulitan keuangan dengan utang mencapai US$7,97 miliar per akhir Desember 2024. Danantara dikabarkan akan menyuntikkan dana sebesar US$500 juta untuk membantu Garuda memperbaiki kinerja keuangannya.
Pakar Keuangan dan Investasi, Andri Krisnanto, menyatakan bahwa suntikan modal sebesar US$500 juta dapat menjadi katalisator yang berpotensi mengubah lanskap kinerja maskapai secara proporsional. Dana tersebut dapat digunakan untuk peningkatan efisiensi operasional, pelunasan sebagian pokok utang, dan perbaikan posisi ekuitas negatif.
PT Krakatau Steel (Persero) juga sengsara mengalami kerugian besar karena persaingan ketat dengan baja impor dan biaya produksi yang tinggi.
Krakatau Steel mencatatkan kerugian bersih US$46,91 juta pada tahun 2024, meskipun pendapatan mencapai US$234,76 juta.
Kronologi utang negara
Sejak kemerdekaan, Indonesia telah menanggung beban utang yang cukup berat.
Berdasarkan catatan sejarah, utang luar negeri Indonesia dimulai sejak era kolonial Belanda dengan nilai utang sebesar US$1,13 miliar. Uang itu sebagai ganti rugi perang dan investasi yang dibekukan oleh Belanda di Indonesia.
Pada era Orde Baru, pemerintah menerapkan kebijakan balance budget atau anggaran berimbang untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Namun, rasio utang terhadap PDB sempat mencapai 57,7 persen pada tahun 1998 akibat krisis moneter. Di era reformasi, utang luar negeri terus meningkat untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan program-program sosial.
Pada tahun 2021, rasio utang pemerintah terhadap PDB mencapai 40,49 persen dengan total utang sebesar Rp6.418,5 triliun.
Pemerintah mengklaim bahwa utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek produktif yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Pengelolaan utang luar negeri yang tepat menjadi kunci keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia. Pemerintah perlu menerapkan kebijakan fiskal yang prudent dan transparan untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional (*)
Penulis: M.Rohanudin|Editor: Arifin BH