Gara-Gara Utang Rp15 Juta, Dua Keluarga di Magetan Berseteru Soal Tanah Warisan hingga ke Pengadilan
MAGETAN (Lentera) -Utang Rp15 juta puluhan tahun silam kini menyeret dua keluarga di Magetan ke meja hijau. Perselisihan lama antara keluarga almarhum Agli dan keluarga almarhum Heri yang dulu hanya urusan pinjam-meminjam uang, kini berubah menjadi sengketa kepemilikan tanah bernilai ratusan juta rupiah.
Awalnya, akhir 1990-an. Agli meminjam uang sebesar Rp15 juta kepada sahabatnya, Heri. Sebagai jaminan, dibuatlah surat kuasa yang memberi wewenang Heri untuk mengurus sebagian tanah milik Agli. Namun, sebelum utang itu sempat dilunasi, Agli meninggal dunia pada 1997.
Bertahun-tahun berlalu, hubungan dua keluarga itu memburuk. Dari niat membantu, kini berubah menjadi perebutan hak atas tanah yang sama-sama mereka klaim sebagai milik sah.
Keluarga Agli mengaku sudah berulang kali berusaha melunasi utang mendiang ayahnya. Tapi hasilnya nihil.
“Kami datang membawa uang, mulai Rp15 juta, Rp30 juta, sampai Rp50 juta. Tapi selalu ditolak. Terakhir malah diminta Rp125 juta. Ya jelas kami tidak sanggup,” tutur Ari Kristianti, anak almarhum Agli, usai sidang di Pengadilan Negeri (PN) Magetan, Rabu (5/11/2025).
Tak lama setelah itu, keluarga Ari mendapati kabar mengejutkan—tanah yang mereka tempati selama puluhan tahun sudah beralih nama.
Kuasa hukum penggugat, Darsi, SH, menilai peralihan tanah tersebut cacat hukum. Pasalnya, Akta Jual Beli (AJB) baru dibuat pada tahun 2000, tiga tahun setelah pemberi kuasa meninggal dunia.
“Kuasa otomatis gugur begitu pemberinya meninggal. Tapi akta jual beli tetap dibuat tanpa melibatkan ahli waris. Ini jelas melanggar hukum,” tegas Darsi.
Pihak penggugat membawa bukti berupa surat kuasa notaris, AJB tahun 2000, dan buku tanah. Dari situ terungkap, kepemilikan tanah sempat berpindah beberapa kali, meski dasar hukumnya sudah tidak sah.
Saksi juga menyebut, sejak tahun 2000 hingga kini, tanah dan rumah tersebut masih ditempati keluarga Agli tanpa pernah diganggu pihak lain.
Darsi juga menuding adanya kelalaian dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang membuat akta tanpa memastikan status pemberi kuasa.
“PPAT mengaku tidak tahu kalau Pak Agli sudah meninggal. Tapi bukankah mereka wajib memeriksa? Kalau diberitahu, semestinya akta tidak bisa dibuat,” ucapnya.
Kuasa hukum tergugat, Gunadi, SH, membantah semua tuduhan tersebut. Menurutnya, kliennya—Elizabeth, Paulus Hermawan, dan Yuliana—memperoleh tanah itu secara sah sebagai ahli waris almarhum Heri.
“Klien kami memegang sertifikat asli dari BPN. Sertifikat tidak akan terbit kalau syarat administrasinya tidak lengkap,” tegas Gunadi.
Majelis hakim PN Magetan akan menilai bukti dan keterangan saksi sebelum memutuskan sah atau tidaknya akta jual beli yang menjadi akar sengketa.
Bagi keluarga Agli, tanah itu bukan sekadar persoalan hukum, tapi warisan sejarah keluarga.
“Yang kami perjuangkan bukan cuma tanah, tapi nama baik bapak kami,” kata Ari lirih.
Reporter: Wiwiet Eko Prasetyo|Editor: Arifin BH





