11 November 2025

Get In Touch

Kisah Prof. Abdul Hamid, Peneliti Utama BRIDA Jatim: Dari Anak Buruh Tani Jadi Profesor Riset

Prof. Abdul Hamid
Prof. Abdul Hamid

SURABAYA (Lentera)-Lahir dari keluarga buruh tani di sebuah kampung kecil di Bengkulu, Abdul Hamid tidak pernah membayangkan dirinya kelak akan menyandang gelar Profesor Riset—tingkatan tertinggi dalam jenjang karier peneliti di Indonesia. Namun perjalanan panjang penuh kerja keras, disiplin, dan integritas telah membawanya ke posisi itu.

Prof. Abdul Hamid lahir pada 12 Agustus 1960 di Kampung Muara Aman, Kabupaten Lebong, Bengkulu. Ia merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Ahmad Kiram, seorang buruh tani yang pernah menjadi anggota kepolisian, berhenti bertugas karena syarat pernikahan dengan sang ibu, Rukiyah. Kondisi ekonomi keluarga yang terbatas membuat mereka sering kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Ayah saya sering makan nasi putih dengan garam. Kadang kami hanya bisa makan bubur daun genjer,” kenang Hamid dalam otobiografinya Cinta Orangtua: Jembatan Sukses dalam Kehidupan.

Sejak kecil, Hamid sudah terbiasa bekerja membantu orang tua. Saat masih duduk di sekolah dasar, ia berjualan es lilin, empek-empek, dan kerupuk, bahkan memulung botol bekas. Uang hasil kerja kerasnya digunakan untuk membeli buku dan seragam sekolah. “Ketika dagangan tidak laku dan es mencair, saya menangis,” tulisnya dalam buku itu.

Meski hidup dalam kemiskinan, semangatnya untuk bersekolah tidak pernah padam. Sang ayah selalu menanamkan nilai pentingnya pendidikan. “Saya rela berkalang tanah agar kalian bisa sekolah,” pesan yang terus diingat Hamid hingga kini.

Namun masa remaja Hamid tidak sepenuhnya mulus. Ia mengaku pernah menjadi anak yang nakal dan sering berkelahi di sekolah. Di balik kenakalannya, ia dikenal cerdas dan cepat memahami pelajaran, terutama dalam fisika dan matematika. Bahkan, saat duduk di bangku SMP, ia sudah membantu teman-temannya belajar dengan imbalan uang saku tambahan.

Setelah lulus SMA, Hamid sempat tidak melanjutkan kuliah karena keterbatasan biaya. Titik balik datang ketika ia diterima sebagai penyuluh kehutanan pada 1980, setelah mengikuti pelatihan di Gunung Walat, Sukabumi, dan Bogor. Dari penghasilan kecil itulah ia bertekad melanjutkan pendidikan.

Hamid kemudian kuliah di Universitas Semarak Bengkulu dan menjadi mahasiswa ikatan dinas di Universitas Bengkulu. Setiap hari ia menempuh perjalanan sekitar 90 kilometer menggunakan sepeda motor tua demi kuliah. Ketekunan itu berbuah hasil, pada 1986 ia meraih gelar Insinyur Pertanian dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kehutanan.

“Ketika wisuda, orangtua saya menangis. Mereka bahkan tidak tahu kalau saya kuliah,” ujarnya mengenang.

Dari Birokrat ke Dunia Riset

Karier Hamid di pemerintahan terus menanjak. Ia pernah menjabat Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kediri pada usia 36 tahun, kemudian menjadi Kepala Bakorwil Jember, dan Asisten Gubernur Jawa Timur. Namun di tengah jabatan strategis itu, Hamid merasa panggilan hatinya ada di dunia penelitian.

Ia melanjutkan pendidikan magister di Universitas Gadjah Mada dan program doktor di Universitas Brawijaya, Malang. Tahun 2002, ia menyelesaikan studi doktoralnya di bidang Ilmu Pertanian. Tak lama kemudian, ia memilih beralih dari jabatan struktural menjadi peneliti fungsional.

“Saya lebih nyaman meneliti daripada mengurus anggaran besar. Saya ingin hidup dengan ilmu, bukan kekuasaan,” ujarnya.

Sejak itu, Hamid aktif menulis dan meneliti. Lebih dari 14 artikel ilmiah internasional dan beberapa buku telah ia hasilkan, membahas isu lingkungan, inovasi publik, hingga keberlanjutan wilayah. Karya-karyanya turut berkontribusi dalam pengembangan konsep fitoremediasi dan pengelolaan karbon di Indonesia.

Hamid dikenal memiliki integritas tinggi dalam bekerja. Ketika diangkat menjadi Staf Ahli Gubernur Jawa Timur, sempat muncul tuduhan bahwa ia memperoleh jabatan dengan cara tidak etis. Ia menanggapi dengan tegas melalui sumpah terbuka, “Kalau saya menyuap untuk jabatan ini, tujuh turunan saya tidak akan selamat.”

Sumpah tersebut menjadi simbol keteguhan moralnya dan menegaskan prinsip kejujuran yang selalu ia pegang dalam menjalankan tugas.

Tahun 2024 menjadi puncak perjalanan karier Abdul Hamid. Ia dikukuhkan sebagai Peneliti Utama dengan gelar Profesor Riset melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia. Gelar ini hanya diberikan kepada ilmuwan yang memiliki kontribusi signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi nasional.

Kini, Prof. Abdul Hamid aktif berkiprah di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Jawa Timur, dengan masa tugas yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Di usianya yang ke-65, ia masih rutin menulis, membimbing peneliti muda, dan mendorong riset lingkungan berkelanjutan.

Hamid adalah salah satu staf Gubernur Jatim dari  pejabat struktural yang dapat  meraih gelar Profesor. "Semoga staf lainnya juga segera menyusul," katanya.

Cinta dan Doa Orangtua 

Bagi Hamid, seluruh keberhasilan yang diraihnya tidak lepas dari peran dan doa orang tua. “Kesuksesan saya bukan hasil kerja keras semata, tapi doa ayah dan ibu yang tidak pernah putus,” ucapnya.

Ia menilai kemiskinan bukanlah penghalang, melainkan fondasi pembentuk karakter dan ketangguhan. Melalui kisah hidupnya, Hamid berharap generasi muda Indonesia memahami bahwa keberhasilan ditentukan oleh kemauan untuk berjuang, bukan oleh latar belakang keluarga.

“Saya lahir dari keluarga miskin, tapi saya tidak mau mati dalam kemiskinan ilmu,” tulisnya menutup kisah hidupnya.(*)

Editor:Widyawati

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.