08 December 2025

Get In Touch

Perjuangan Emma Stone Jadi Botak di Film Bugonia

Aksi botak massal di penayangan perdana film Emma Stone, ‘Bugonia’ (Dok. Universal Pictures)
Aksi botak massal di penayangan perdana film Emma Stone, ‘Bugonia’ (Dok. Universal Pictures)

KOLOM (Lentera) Ada yang berbeda dari penampilan Emma Stone dalam film terbarunya berjudul Bugonia. Kali ini, dia memangkas rambutnya secara total alias botak tak bersisa untuk menyelami karakter Michelle Fuller, seorang CEO perusahaan yang diculik dan disekap di ruang bawah tanah.

Ini bukan kali pertama Stone terlibat dalam film yang disutradarai Yorgos Lanthimos. Sebelumnya, dia pernah berakting dalam film The Favourite (2018), Poor Things (2023), dan Kinds of Kindness (2024).

”Saat aku tahu kita akan melakukan ini, aku bilang ke Yorgos, ’kami juga harus mencukur rambutmu, ini bentuk solidaritas kami’. Dan, dia menjawab, ’ok’,” ucap Stone dalam video di balik layar yang dibagikan secara ekslusif kepada People.

Stone turun langsung untuk mencukur rambut Lanthimos. Meski terasa mengasyikkan, rupanya ini tidak sedramatis pengalamannya. Di sisi lain, menjadi botak rupanya mengingatkannya kepada sosok ibunda yang mengalami efek kerontokan rambut akibat proses kemoterapi kanker payudara.

Dalam semua filmnya, Stone selalu luwes menyesuaikan dengan karakter yang sedang ia perankan. Dia bisa menjadi humoris, romantis, bahkan serius. Ia juga selalu tampil total. Bahkan, selama proses syuting Bugonia, kepala Stone harus dicukur setiap tiga hari sekali supaya tetap konsisten botaknya.

Meski demikian, di awal, dia sempat ragu dengan rambutnya yang harus dipangkas habis. Seiring waktu, perempuan kelahiran 6 November 1988 ini mulai menyukai dan menerima dirinya dengan gaya yang tak biasa. Ia tetap terlihat memikat!

”Jadi, itu sebenarnya salah satu pengalaman terbaik dalam hidupku. Sangat membebaskan. Kan, cuma rambut. Aku pikir rambutku sudah lebih panjang sekarang, but it’s just hair!” ucap aktris yang pernah mengantongi dua Piala Oscar untuk perannya dalam film La La Land (2016) dan Poor Things (2023).

Perjuangan tak mudah

Dalam wawancara yang dilansir Mashable Indonesia dari Entertainment Weekly, aktris peraih Oscar itu menceritakan bagaimana dirinya harus benar-benar diam saat adegan mencukur rambut dilakukan secara nyata di lokasi syuting.

“Tetap diam. Itu saja. Saya terus bermeditasi dalam hati: tetap diam, tetap diam,” ujar Stone.

Ia mengaku adegan tersebut dilakukan hanya satu kali pengambilan tanpa kesempatan ulang, sehingga ia harus fokus sepenuhnya agar tidak mengacaukan hasilnya.

“Saya sangat takut kalau tiba-tiba membuka mata atau bergerak sedikit. Karena di adegan itu saya sedang tidak sadar, jadi saya berpikir, anggap saja sedang mati, benar-benar diam,” katanya.

Bugonia menampilkan kisah absurd dengan sentuhan komedi hitam khas Lanthimos. Stone berperan sebagai Michelle Fuller, seorang CEO kuat yang diculik oleh Teddy, diperankan oleh Jesse Plemons, seorang penganut teori konspirasi yang percaya bahwa Fuller sebenarnya makhluk luar angkasa bernama Andromedan yang dikirim ke Bumi untuk menghancurkannya.

Bersama sepupunya, Don, Teddy menyergap Fuller di rumah mewahnya, membuatnya pingsan dengan obat bius, lalu mencukurnya karena yakin rambutnya merupakan alat komunikasi dengan kapal induk alien.

Proses pengambilan gambar yang hanya bisa dilakukan sekali membuat suasana di lokasi sangat menegangkan. Lanthimos menjelaskan bahwa keputusan mencukur rambut Stone memang sudah tertulis dalam naskah sejak awal, dan sang aktris tidak keberatan melakukannya.

Mencukur rambut bukan satu-satunya tantangan yang harus dihadapi Stone selama proses produksi Bugonia. Dalam film tersebut, karakternya juga mengalami perlakuan aneh dari sang penculik, yang berusaha menghilangkan 'kekuatan alien'-nya dengan mengoleskan krim tebal ke seluruh tubuhnya setiap hari.

Banyak cobaan

Stone menjelaskan bahwa proses itu cukup rumit karena harus melalui banyak percobaan. “Itu merupakan campuran berbagai jenis krim, dan kami melakukan banyak uji coba karena harus melewati beberapa lapisan kulit,” jelasnya.

“Ternyata suhu kulit manusia sekitar 37 derajat Celsius, dan itu adalah titik leleh untuk banyak krim. Jadi membuatnya bertahan seharian itu cukup sulit. Porinya menyerap krim, lalu teksturnya menipis. Jadi kami memakai berbagai kombinasi, tergantung hari, mulai dari alas dasar, pelembap, dan lain-lain. Tapi itu uji coba yang menyenangkan.”

Stone memuji perancang tata rambut dan rias film tersebut, Torsten Witte, yang menurutnya melakukan pekerjaan luar biasa.

“Torsten benar-benar melakukan pekerjaan Tuhan,” ujarnya sambil tertawa. Aktris berusia 36 tahun itu menambahkan bahwa ia harus mengenakan krim itu setiap hari selama berbulan-bulan. “Sampai akhirnya berubah menjadi darah,” katanya menggoda. “Ya, itu antara krim atau darah.”

Meski menghadapi berbagai proses fisik yang melelahkan, Stone mengaku tertarik sejak awal dengan kompleksitas karakter Michelle Fuller. Ia menilai, karakter tersebut punya sisi manusiawi yang kuat di balik keangkuhan dan kesempurnaannya.

“Rasanya seperti (Teddy dan Michelle) sama-sama pahlawan bagi diri mereka sendiri, yang berusaha menyelamatkan dunia dengan cara yang benar-benar berbeda, dari latar belakang dan pandangan hidup yang kontras,” jelas Stone.

“Ada ketegangan di antara mereka, tapi sebenarnya mereka bisa saling belajar banyak hal, kalau saja mereka mau mendengarkan satu sama lain, atau kalau situasinya tidak melibatkan penculikan," ujarnya.

Bagi Stone, memerankan sosok CEO yang dingin namun rapuh di balik penampilannya menjadi pengalaman berharga.

“Saya menemukan karakternya sangat menarik karena dia seperti orang yang selalu tampak tenang, seolah semuanya baik-baik saja, tapi sebenarnya hanya kumpulan kata-kata kosong,” ujarnya.

“Saya selalu tertarik mendengar orang-orang di puncak perusahaan yang berbicara dengan pola tertentu, seperti, ‘Kita harus mengatakan hal-hal ini secara spesifik.’ Dan bagaimana dia menggunakan taktik itu untuk bernegosiasi dengan Teddy di ruang bawah tanah yang menegangkan itu, saya pikir itu sangat lucu, menyedihkan, dan entah kenapa terasa begitu nyata.”

Dengan adegan ekstrem, perubahan fisik besar, serta tekanan emosional yang tinggi, Bugonia menjadi salah satu proyek paling menantang sekaligus memukau bagi Emma Stone.

Film ini menunjukkan dedikasi dan keberanian sang aktris untuk terus bereksperimen di bawah arahan Yorgos Lanthimos, sutradara yang dikenal dengan gaya nyelenehnya dan visi sinematik yang unik (*)

Arifin BH, Pemimpin Redaksi

Share:
Lentera Today.
Lentera Today.